ISLAM itu, untuk seluruh umat manusia, bukan hanya untuk umat Islam – tak perduli apa suku atau bangsanya. Islam, masalah muncul, terutama pada akhir-akhir ini, karena substansinya ada yang bukan saja berbeda bahkan bertolak belakang dengan kepercayaan agama lain.
Salah satu adalah persoalan patung atau berhala dalam kaitannya dengan masalah Tauhid atau ke-Esaan Allah yang di dalam Islam sangat jelas. Dalam perspektif sejarah Islam, ada tiga peristiwa besar yang berkaitan dengan patung atau berhala.
Pertama kisah Nabi Ibrahim dengan dialognya yang sangat rasional (dalam pandangan saya melampaui dialog dalam ‘apologia socrates’), sehingga tak mampu dijawab oleh Sang Penguasa – kecuali memerintahkan untuk membakar Nabi Ibrahim alaihi salam.
Dan semua kita tahu bagaimana ceritanya, Nabi Allah Ibrahim alaihi salam selamat, karena bukan saja api itu tidak dirasakan panas, bahkan tidak bisa membakarnya, sehingga akhirnya selamatlah beliau.
Yang kedua dalam peristiwa Fathu Makkah, dimana kemudian Rasulullah memerintahkan menyingkirkan semua patung atau berhala itu dari sekitar Ka’bah dari menghancurkannya.
Yang ketiga sebagaimana diriwayatkan Rasulullah SAW berkaitan dengan rahmat, doa dan harapan, dimana umat Islam diingatkan dan diajarkan sesuai dengan ajaran tauhid untuk menjauhkan diri dari patung, tidak menjadikannya hiasan di rumah apalagi dijadikan benda keramat dan lain sebagainya.
Banyak hal yang menjadi penyebabnya, selain kemungkinan bisa terjebak syirik, juga menghalangi malaikat mendatangi rumah tersebut serta menghalangi doa itu diangkat kehadirat Allah SWT, sehingga penghuninya jauh dari rahmat Allah SWT.
Dari tiga peristiwa tersebut, bisa kita lihat: Pertama bahwa apa yang dilakukan Ustadz Abdul Somad (UAS), bukanlah sebuah pelanggaran hokum dilihat dari sejarah dan preseden dakwah yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim alaihi salam, dan Nabi Muhammad SAW sebagai rasul-rasul Allah SWT. Dalam peristiwa Rasul Allah Ibrahim alaihi salam, Raja Namrudz jelas bukanlah seorang muslim, begitu juga dalam peristiwa Fathul Makkah, suku Quraisy di Makkah waktu itu juga belum beragama Islam. Hal ini menunjukkan tentang ajaran Tauhid ini adalah untuk semua manusia.
Kedua, bahwa Islam diturunkan untuk semua manusia, sehingga semua manusia adalah objek dari dakwahnya, termasuk semua manusia Indonesia, jadi bukan umat Islam saja.
Ketiga, apa yang dilakukan oleh UAS sebagaimana dikatakannya adalah merupakan bagian dari dakwahnya yang dilakukan ditempat khusu umat Islam, bukan ditempat terbuka (tidak dimaksudkan untuk orang atau kaum lain), hanya dihadiri oleh jamaahnya, dalam rangka menjawab pertanyaan seorang jamaah guna meneguhkan Tauhid para jamaahnya.
Jawaban UAS ini lebih dari cukup untuk menjelaskan tidak ada pelanggaran hokum disana – apalagi bila dilihat dari konsep Islam itu untuk seluruh manusia, tanpa memandang suku dan bangsa. Dengan kata lain, bahwa UAS dalam berdakwah telah memenuhi ketentuan khusus yang berlaku di Indonesia, yakni membatasi diri hanya kepada umat atau jamaahnya saja, tidak dan bukan dimaksud untuk orang atau umat agama lain di Indonesia.
Walau saya yakin UAS sebagai ulama mengetahui bahwa Islam itu adalah rahmat untuk semua manusia, logikanya itu berarti perintah berdakwah itu ditujukan kepada semua manusia Indonesia dan semua manusia dimuka bumi ini.
Namun ia paham dan maklum adanya kondisi khusus yang harus dijaganya dalam berdakwah memelihara iman umatnya di Indonesia. Dan ia melakukan itu membatasi dakwahnya hanya pada jamaahnya.
Tentang teknis dan caranya – mungkin kita cukupkan dengan hadist Rasulullah: “Innama buistu li utamima makarimal akhlak,” dimana kita melihat Insya Allah UAS selalu memelihara akhlaknya.
Dari uraian diatas, jelas dakwah Islam yang dilakukan UAS bukan sebuah dilema, karena itu jangan dijadikan ia sebuah dilema.
Penulis, DR. Maiyasak Johan, Pengacara Senior dan mantan Wakil Ketua Komisi Hukum DPR.
Opini ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi atjehwatch.com