SAYA memanggilnya Razak. Saya mengenal dan pernah bersama saat perang berkecamuk di Aceh. Dia bersama Marzuki (hilang sampai kini) adalah alumnus salah satu STM di Bireun punya kemampuan khusus.
Karena kemampuan itulah Razak dan Zuki mendapat undangan melanjutkan pendidikan Teknik di UGM. Selesai kuliah, Razak dan Zuki mendapat undangan kerja di perusahaan Nyanmar Jepang. Namun, jiwa keduanya berkecamuk melihat penindasan yang terjadi di Aceh kala itu. Gelora jiwa itu tak terbendung sehingga tawaran perusahaan Jepang dan ijazah itu semua ditinggalkan, dan diapun bergabung dengan Gerakan Aceh Merdeka ( GAM).
Suatu waktu di belantara rimba perbatasan Pidie dan Aceh Rayeuk, kami berhenti dan duduk sejenak di atas sebuah bukit. Mata kami memandang jauh ke lembah.
“Sal, seandainya Wali (Hasan Tiro) melihat kondisi (menunjuk badan saya yang kurus kering) dan kerja kita, sungguh dia akan menangis,” ujarnya kala itu.
“Keinginan Wali itu, hidup kita dan anak-anak Aceh bisa standar dengan negara-negara maju di belahan dunia lain” Kata Razak, saya mengangguk.
“Jika Aceh merdeka nanti, saya dan Zuki berkeinginan mendirikan industri senjata seperti Pindad.”
“Kalau Aceh merdeka, kamu pingin apa Sal?” tanya Razak kepadaku.
“Sejenak merdeka itu diumumkan aku hanya ingin minum kopi sampai mabuk,” jawabku.
Sebentar kami tertawa.
“Aku punya usul Razak. Nama perusahaan senjata itu, Guns Aceh Sumatera Industries.”
” Ya ya.. bereh. Kita tempel nama itu di senjata jika sudah produksi, ” sahut Razak.
Keadaan hening. kami larut dalam hayalan masing-masing. “Yuk kita jalan lagi,” ajak Razak. Kamipun bergegas pergi.
Sebulan kemudian kami berpisah, Razak kembali ke Bireun dan melanjutkan kerja di sana. Sementara saya dan Zuki bertahan di Aceh Rayeuk.
Pada awal masa damai Aceh, kami bertemu di salah satu acara perkawinan keluarga Zuki.
“Saya tidak puas akhir perjuangan seperti ini,” kata Razak. Itulah moment terakhir bercakap dengan Razak dan tidak pernah lagi bertemu serta komunikasi hingga hari ini, sampai suatu hari, saya baca kabar di koran, Razak lagi kerja dan berhasil memproduksi Wel Kapal laut di Bireun.
“Alhamdulillah semoga berhasil,” doaku waktu itu.
Tahun berikutnya, saat saya ketemu salah satu keluarga di Bireun dan bertanya kabar Razak.
“Dia buron mabes Polri.”
” Kenapa bisa,” tanyaku.
“Jiwanya tidak tenang dan tidak puas dengan kondisi Aceh seperti ini,” sahut saudara itu.
Tadi malam dari seorang teman, saya mendapat kabar terjadi kontak tembak di Pidie Jaya, salah satu korban Abu Razak. Teman tersebut bercerita bahwa Abu Razak itu salah satu keluarga istrinya.
“Sayang sekali padahal dia orang cerdas tapi memilih jalan lain, seharusnya sudah bisa hidup enak dan bekerja di perusahaan Jepang sekarang,” kata temanku.
Anganku melayang. “Itu Razak yang di Bireun?”tanyaku.
“Iya,” sahutnya.
“Ayo kita lihat jenazahnya,” ajakku.
“Jenazah belum bisa dijenguk Bang, masih dalam pengawalan polisi di RSU Sigli.”
Semalaman saya mencari informasi tentang Razak dan menemukan sebuah video di Youtube dengan judul “Sekilas tentang Abu Razak.” Dalam video itu sesosok laki dengan baju putih di depan sekitar sepuluh pasukan bersenjata AK membaca maklumat perang kerajaan Aceh Darussalam.
Perawakan Razak berbeda dengan Razak yang ku kenal dulu. “Ini bukan Razak, ” bisikku.
Tapi ketika maklumat perang dibaca, maka dari suaranya aku pastikan dan yakin bahwa itu Razak.
Saya melihat Razak adalah sosok setia, teguh dan total dalam perjuangan pembebasan Aceh. Bagi dia merdeka itu harus diperjuangkan sampai mati. Dan dia membuktikan itu. Dan kematian itu bentuk pertanggungjawab kepada kawan-kawan seperjungan yang telah mendahului. Walau kemudian saya melihat dalam video itu Razak memilih jalan lain dan berbeda. Mungkin ini akibat kekecewaan Razak pada akhir perjuangan ini.
“Innalillahi wainna ilaihi raji’un. Selamat jalan sahabat, saya menyakini engkau sudah puas dan tenang di alam sana. Semoga engkau bertemu dan bercerita banyak hal dengan Zuki dalam di mensi lain.”
Tulisan sahabat Karib di Gampong Pisang, Jumat 20 September 2019. Diposting seseorang dalam grup WA Forum Semangat 98 Aceh. Penulis diketahui bernama Faisal Rizal. Redaksi atjehwatch.com hanya memperbaiki ejaan yang salah dan tanda kutib.