PRIA muda ini berpostur sedang. Perawakan wajahnya keras dan tubuhnya kekar. Ia sedang menikmati segelas kopi Arabica Nira saat ditemui atjehwatch.com di Morden Café, Kota Banda Aceh, Selasa malam 1 Oktober 2019.
Namanya Yosimin Yikwa. Tapi ia biasa disapa dengan panggilan Yos. Pria muda ini berasal Desa Mulugame, Kecamatan Tagime, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua.
Saat ditemui atjehwatch.com, Yos sedang ngopi bersama alumni PKN FKIP Unsyiah. Hadir juga disana Maimun bin Lukman, Sekretaris Jurusan PKN FKIP Unsyiah. Ada juga beberapa mantan aktivis Aceh lainnya yang kemudian bergabung dalam satu meja.
“Saya sudah sejak 2016 di Aceh dan belum pernah pulang kampong (Papua-red),” ujar Yos di awal-awal perkenalan.
Daerah asal Yos, tak hanya jauh dari Aceh, tapi juga Wamena yang menjadi pusat kota Jayawijaya.
“Dari Wamena ke jalan raya dekat tempat tinggal saya, itu sekitar enam jam perjalanan dengan menggunakan bus. Sampai di sana, harus jalan kaki sekitar 3 jam perjalanan. Tak bisa menggunakan sepeda motor karena kondisi jalan yang berlumpur dan berbukit,” kata Yos sambil tertawa.
“Di sana (Desa Mulugame-red) tak ada sinyal handphone dan listrik. Kehidupan juga masih alami,” ujarnya lagi.
Tapi melintasi bukit lumpur adalah hal yang biasa dilakoni Yosimin sejak kecil. Ia harus menempuh puluhan kilometer jarak untuk mendapatkan pendidikan.
“Saya SD di YPPGI Tagime. Itu jaraknya sekitar 3 jam perjalanan jalan kaki dari rumah. Bangun harus pagi-pagi. Di jalan, kadang-kadang bertemu binatang hutan, seperti anjing liar dan lainnya.”
Pengalaman ini terus dilakoni Yos selama 6 tahun lamanya. Kadang, menurutnya, ia pernah berpikir untuk berhenti, tapi orangtua terus memotivasinya untuk terus belajar dan menggapai cita-cita tinggi. Karena mereka sadar bahwa hanya pendidikan yang mampu mengubah kehidupannya kedepan.
“Saya SMP juga di Tagime. Itu pusat kecamatan istilahnya. SMP Negeri I Tagime. Itu juga masih jalan kaki dari rumah ke sekolah.”
Saat SMA, tantangan yang dihadapi Yos jauh lebih besar, ini karena ia harus belajar ke SMA Negeri Bolakme. Sekolah ini terletak di kecamatan tetangga dan jarak tempuh lebih jauh dari sebelumnya.
“Kelas 1 SMA hingga pertengahan kelas 2, saya masih jalan kaki tiap hari. Sekitar 4 jam perjalanan jalan kaki. Saya kadang baru bisa masuk di pertengahan pelajaran. Tapi guru-guru sudah paham,” ujar Yos dengan logat Papua ketat lagi sambil tersenyum.
Di sekolah tadi, kata Yos, hanya ada 4 guru honorer yang mengajar. Sedangkan muridnya hanya berjumlah puluhan orang. Ke 4 guru tadi, berbagi materi untuk mengajar sejumlah pelajaran kepada siswa.
Di pertengahan kelas 2 juga, Yos dibebankan tanggungjawab sebagai ketua OSIS. Keadaan ini membuatnya serba salah. Ini karena ia harus menempuh jarak yang jauh untuk ke sekolah, tapi di sisi lain ada tanggungjawab yang besar kepadanya di sekolah.
“Saat itu ada kawan. Namanya Yadinus Yikwa yang mengajak saya tinggal di rumahnya, tak jauh dari gedung sekolah. Saat itu, saya pulang ke rumah ambil baju dan mulai tinggal bersama Yadi. Ia sendiri di rumah. Orangtuanya mengajar di sekolah jauh.”
Tinggal bersama Yadi, memberi kemudahan bagi Yos. Waktu luang yang biasanya dihabiskan untuk berjalan kaki, ia gunakan untuk berbakti di sekolah dan belajar. Pada saat yang bersamaan, SMA Negeri Bolakme, kedatangan kepala sekolah baru bernama Opi Wenda. Sosok ini yang selalu memotivasinya untuk belajar.
“Saya bantu kepala sekolah, termasuk mengunci pagar saat siswa sudah pulang. Ia berempati melihat saya. Dia yang mengisi formulir beasiswa afirmasi saya,” kenang anak ke 2 dari 5 bersaudara ini.
Pengisian beasiswa sendiri, kata Yos, memiliki cerita menarik tersendiri. Ini karena semua form beasiswa diisi oleh sang kepala sekolah, termasuk memilih jurusan PKN dan Universitas Syiah Kuala.
“Saya baru tahu saat diajaknya ke Wamena. Ia bilang, Yos, nanti satu bulan kedepan, sekitar tanggal berapa, saya lupa, kamu harus ada di Wamena. Saya iyakan. Kemudian pada hari yang ditentukan, ia telepon lagi. Saat itu saya sudah punya telepon genggam sederhana. Ia minta saya ke dinas (kabupaten-red).”
Yos berpikir bahwa pada hari itu ia cuma melihat pengumuman di dinas. Maka berangkatlah ia dengan sepotong pakaian kaos biasa dan beberapa buku dalam tas jinjing miliknya. Sesampai di dinas, ia ternyata dipandangi wajah ketus dari seluruh penerima beasiswa afirmasi di Jayawijaya.
“Mereka siap-siap mau berangkat ke Jayapura. Cuma menunggu saya,” ujar Yos bernostalgia.
Yos diminta menandatangani surat persetujuan orangtua. Keadaan yang serba dadakan membuat Yos kebingungan. Namun surat tersebut akhirnya ditandatangani oleh kerabat orangtuanya yang berada di Wamena. Pada hari yang sama, ia dan rombongan penerima beasiswa dari Jayawijaya terbang ke Jayapura.
Yos sendiri memiliki tabungan sekitar Rp3 juta hasil penjualan ternak di kampong. Uang ini sempat dihabiskan sekitar dua juta untuk mendaftar sekolah di sebuah yayasan di Wamena. Pendaftaran ini sebagai langkah antisipasi jika ia tak lulus program beasiswa afirmasi tadi. Sisa uang sekitar Rp1 juta.
“Teman-teman lain membawa koper lengkap berisi baju dan peralatan lain. Saya cuma baju kaos yang terpakai, sandal jepit dan buku. Mereka tertawa melihat saya yang kebingungan,” kenang Yos.
Yos mengaku baru kali itu pergi ke Jayapura. Sebelumnya ia tak pernah melihat Jayapura dan bermimpi pergi ke Jayapura. Tapi kebingungan dan perjalanan Yos tak terhenti sampai disana.
“Kami diberi arahan selama lebih kurang dua hari di Jayapura. Saya kebingungan saat teman-teman dari seluruh Papua berkumpul. Ini karena bahasa kami berbeda-beda.”
Yos makin terkejut saat mengetahui bahwa Universitas Syiah Kuala itu ternyata berada di Provinsi Aceh, paling barat Indonesia. Dari ujung timur, tiba-tiba harus terbang ke ujung barat.
“Kami ada sekitar 10 orang berkumpul. Ada pendamping dari dinas provinsi. Sebelumnya, ada teman ajak saya beli sepatu dari uang sisa tabungan tadi. Sekitar enam jam perjalanan terbang dengan Garuda dari Papua ke Jakarta.”
“Jayapura saja baru pertama kali pergi dan itu kemarin, kini di Jakarta. Saya tambah bingung. Lihat pesawat banyak dan besar-besar, kemudian hilang. Kota besar, saya tambah kebingungan.”
Perjalanan Yos tak terhenti. Transit beberapa saat di Jakarta, Yos dan rombongan kembali menempuh waktu 2 jam perjalanan ke Aceh. Ia dan rombongan tiba di Aceh malam hari.
“Saya saat itu pusing. Kami dijemput senior asal Papua yang sudah lebih dulu kuliah di Aceh. Kami diantar ke asrama Unsyiah dan tinggal disana lebih kurang seminggu hingga registrasi dan proses belajar dimulai.”
Orangtua Yos sendiri, baru mengetahui dirinya di Aceh, saat ia semester dua atau sekitar 7 bulan kemudian. Sudah tradisi dari ayahnya untuk pergi dari Mulugame ke pusat kota kecamatan, guna menjual ternak babi piaraan mereka. Itu dilakukan sekitar dua atau tiga kali dalam setahun. Ayah Yos menghubungi dirinya melalui handphone kerabat yang menandatangani surat izin tadi.
“Ayah saya terkejut. Ia bilang, baik-baik di sana. Tsunami,” kata Yos sambil meniru perkataan orangtuanya.
Kini, Yos sudah tinggal tiga tahun lebih di Aceh. Ia sudah semester 7 dan memasuki tahap akhir dari pendidikan yang dijalaninya. Yos tidak pernah pulang kampong saat liburan tiba. Selama libur, ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja apa saja demi menambah uang saku.
“Saya sudah ke Takengon dan Bener Meriah, sama kawan. Sangat indah,” ujar Yos.
Aceh, kata Yos, tak seperti gambaran orang di luar. Ia mendapat penerimaan yang luar biasa selama di Aceh.
“Mereka menerima saya dan keyakinan saya. Tak ada (rasis-red) di sini. Ini membuat saya dan kawan-kawan dari Papua nyaman. Kami (mahasiswa asal Papua-red) ada sekitar 90 orang di sini (Aceh-red),” kata Yos.
Yos menghormati keyakinan masyarakat Aceh, termasuk peringatan maulid nabi yang biasanya dirayakan secara meriah di Aceh. Yos bahkan membantu acara tersebut dibidang kepanitiaan di jurusan PKN FKIP Unsyiah.
“Saya suka ada kuah beulangong.”
Setiap Sabtu malam, Yos selalu ke gereja yang ada di Banda Aceh. “Teman-teman Islam selalu mengingatkan saya.”
Pengalaman hidup dan bertemu dengan banyak warga di Aceh membuat Yos bersyukur diberi kesempatan untuk datang ke daerah paling barat nusantara ini. Ia termotivasi untuk belajar dan ingin pulang ke Mulugame dan Tagime suatu saat untuk membantu anak-anak seperti dirinya disana.
Yos mengaku belum berpikir untuk menempuh pendidikan Magister atau S2. “Belum tahu. Belum ada beasiswa,” ujarnya.
Ditanya apakah ia pernah tertaut hatinya dengan gadis Aceh, Yos tertawa lebar. “Gadis Aceh cantik-cantik. Sangat cantik,” ujarnya. []