“Sebanyak 28 dari 38 kilogram emas yang ada di monumen nasional (Monas) adalah sumbangannya. Namun akhir hidupnya menuai banyak penderitaan. Keturunannya terluntang-luntang. Kuburannya juga tak ada kejelasan hingga kini.”
Ia adalah Teuku Markam. Seorang pengusaha besar yang pernah dimiliki Indonesia dari Alue Capli, Seuneudon, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh.
Dari berbagai sumber diketahui, bahwa Teuku Markam merupakan keturunan Uleebalang yang lahir tahun 1925 di Seuneudon dan Alue Capli, Panton Labu Aceh Utara dan ayahnya bernama Teuku Marhaban. Ia hanya mengenyam pendidikan hingga kelas 4 Sekolah Rakyat (SR).
Saat Teukum Markam berusia 9 tahun, sang ayah Teuku Marhaban meninggal dunia. Sedangkan ibunya telah lebih dulu meninggal. Teuku Markam kemudian diasuh kakaknya Cut Nyak Putroe.
Teuku Markam ketika muda memasuki pendidikan wajib militer di Koeta Radja (Banda Aceh sekarang) dan tamat dengan pangkat letnan satu. Teuku Markam bergabung dengan Tentara Rakyat Indonesia (TRI) dan ikut pertempuran di Tembung, Sumatera Utara bersama-sama dengan Jendral Bejo, Kaharuddin Nasution, Bustanil Arifin.
Selama bertugas di Sumatera Utara, Teuku Markam aktif di berbagai lapangan pertempuran. Teuku Markam kemudian diutus ke Bandung untuk menjadi ajudan Jenderal Gatot Soebroto sampai sosok itu meninggal dunia. Ia mengutus Teuku Markam untuk bertemu dengan Presiden Soekarno, yang kemudian memulai perjalanannya di dunia bisnis.
Tahun 1957, ketika Teuku Markam berpangkat kapten, ia kembali ke Aceh dan mendirikan PT. Karkam. Ia sempat bentrok dengan Teuku Hamzah (Panglima Kodam I/Iskandar Muda). Akibatnya Teuku Markam ditahan dan baru keluar tahun 1958. Pertentangan dengan Teuku Hamzah berhasil didamaikan oleh Sjamaun Gaharu.
Keluar dari tahanan, Teuku Markam kembali ke Jakarta dengan membawa PT Karkam. Perusahaan itu dipercaya oleh Pemerintah RI mengelola rampasan perang untuk dijadikan dana revolusi.
Teuku Markam menggeluti dunia usaha dengan sejumlah aset berupa kapal dan beberapa dok kapal di Palembang, Medan, Jakarta, Makassar, Surabaya. Bisnis Teuku Markam mengimpor mobil Toyota Hardtop dari Jepang, besi beton, plat baja dan mengimpor senjata atas persetujuan Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) dan Presiden.
Hal ini pula yang mengakibatkan Teuku Markam tercatat sebagai salah seorang terkaya di Republik Indonesia saat itu.
Komitmen Teuku Markam adalah mendukung perjuangan RI sepenuhnya termasuk pembebasan Irian Barat serta pemberantasan buta huruf yang dilakukan oleh Soekarno.
Dari bisnis inilah Teuku Markam bisa menyumbang 28 kilogram emas untuk ditempatkan di puncak Monas. Peran Teuku Markam menyukseskan Konferensi Asia Afrika juga terbilang tidak kecil berkat bantuan sejumlah dana.
Ketika Soeharto menjadi Presiden RI, Teuku Markam difitnah sebagai PKI dan dituding sebagai koruptor dan Soekarnoisme.
Pada tahun 1966 Teuku Markam dipenjara tanpa ada proses pengadilan. Pertama-tama ia dimasukkan tahanan Budi Utomo, lalu dipindahkan ke Guntur, selanjutnya berpindah ke penjara Salemba, Jl. Percetakan Negara. Lalu dipindah lagi ke tahanan Cipinang, dan terakhir dipindahkan ke tahanan Nirbaya, tahanan untuk politisi di kawasan Pondok Gede Jakarta Timur. Tahun 1972 ia jatuh sakit dan terpaksa dirawat di RSPAD Gatot Subroto selama kurang lebih dua tahun.
Keluarganya terluntang-luntang. Mereka menghilang dari public serta pindah-pindah. Khawatir ditangkap dengan tuduhan PKI.
Sebahagian ada yang pulang ke Aceh dan menghilangkan ‘tali darah’ dengan Teuku Markam.
Teuku Markam baru bebas tahun 1974. Soeharto, Ketua Presidium Kabinet Ampera I, pada 14 Agustus 1966 mengambil alih aset Teuku Markam berupa perkantoran, tanah dan lain-lain, yang kemudian dikelola PT. PP Berdikari yang didirikan Suhardiman, Bustanil Arifin, Amran Zamzami atas nama pemerintahan RI.
Pada tahun 1974, Soeharto mengeluarkan Keppres N0 31 Tahun 1974 yang isinya antara lain penegasan status harta kekayaan eks PT Karkam/PT Aslam/PT Sinar Pagi yang diambil alih pemerintahan RI tahun 1966 berstatus pinjaman yang nilainya Rp 411.314.924 sebagai modal negara di PT. PP Berdikari.
Setelah keluar dari penjara pada tahun 1974, Teuku Markam mendirikan PT Marjaya dan menggarap proyek-proyek Bank Dunia untuk pembangunan infrastruktur di Aceh dan Jawa Barat. Namun Tapi tidak ada proyek raksasa yang dikerjakan PT Marjaya diresmikan oleh pemerintahan Soeharto. Teuku Markam meninggal tahun 1985 akibat komplikasi penyakit di Jakarta.
Kuburannya sendiri, hingga kini masih menjadi tandatanya besar. Keluarga masih menutup rapat-rapat terkait hal ini. []