Pertama, klausul 1.3.1. Aceh berhak memperoleh dana melalui hutang luar negeri. Aceh berhak untuk menetapkan tingkat suku bunga yang berbeda dengan yang ditetapkan oleh Bank Sentral Republik Indonesia (Bank Indonesia). Kesepakatan tersebut merupakan wujud dari keinginan Pemerintah Pusat dengan GAM untuk mempercepat pembangunan cepat infrastruktur fisik pasca Aceh konflik yang begitu lama. Pasal 186 UUPA menjelaskan bahwa Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota dapat memperoleh pinjaman luar negeri dengan persetujuan Menteri Keuangan dan setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri. Ketentuan ini sangat bertolak belakang dengan apa yang diamanahkan oleh MoU Helsinki, klausul 1.3.1 tidak mewajibkan harus ada persetujuan Menteri Keuangan, dan pertimbangan Menteri Dalam Negeri. Secara teori, kebijakan pemerintah pusat yang tertuang pasal a quo menyilangi prinsip desentralisasi asimteris. Konsepsi pembentukan Pemerintah Aceh seharusnya tidak dalam bentuk pengikatan abadi kepada Pemerintah Pusat tetapi lebih fokus kepada kemandirian Pemerintah Aceh dalam pengelolaan hutang luar negeri. Karena pola pengelolaan hutang luar negeri akan dipertanggungjawabkan secara langsung kepada Presiden sebagai kepala pemerintahan dan secara teknis mendapat persetujuan dari DPRA sekaligus pertimbangan dari Wali Nanggroe Aceh serta Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh.
Kedua, klausul 1.3.2. hak ekonomi Aceh adalah menetapkan dan memungut pajak daerah untuk membiayai kegiatan-kegiatan internal resmi dan berhak juga melakukan perdagangan dan bisnis secara internal dan internasional serta menarik investasi dan wisatawan asing secara langsung ke Aceh. Salah satu sumber pendapatan asli daerah adalah pajak daerah, teks MoU Helsinki ‘menetapkan dan memungut’ menjadi kata kunci untuk pengaturan pajak di Pemerintah Aceh. Akan tetapi dalam Pasal 180 UUPA bahwa pengelolaan sumber PAD Aceh dan PAD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a (pajak daerah) dan huruf b (retribusi daerah) dilakukan dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Sedangkan definisi kata ‘menetapkan’ adalah dengan menentukan secara sendiri oleh Pemerintah Aceh dan DPRA dalam ihwal pajak daerah dan bukan berpedoman kepada peraturan perundang-undangan dalam artian pengaturan nasional mengenai pajak. Selayaknya dalam pasal a quo bahwa penetapan pajak itu secara pengaturannya berbeda dengan pajak nasional walaupun memang Qanun Aceh Nomor 11 tentang Perubahan atas Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pajak Daerah sudah dibentuk akan tetapi subtansi pemungutannya hampir sama dengan pajak daerah lain.
Ketiga, klausul 1.3.3. bahwa Aceh akan memiliki kewenangan atas sumber daya alam yang hidup di laut teritorial di sekitar Aceh. Frasa ‘memiliki kewenangan atas sumber daya alam’ merupakan konsekuensi atas kesepakatan bersama antara Pemerintah Indonesia dengan GAM. Kemudian klausul 1.3.3. diadopsi oleh Pasal 160 ayat (1) Pemerintah dan Pemerintah Aceh melakukan pengelolaan bersama sumber daya alam minyak dan gas bumi yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh. Jika ditelaah arti kewenangan adalah kekuasaan membuat keputusan memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain. Apabila diklasifikasikan sumber-sumber kewenangan itu ada tiga sumber atribusi yaitu pemberian wewenang pada badan atau lembaga/pejabat Negara tertentu baik oleh UUD maupun pembentuk undang-undang. Contohnya atribusi kekuasaan Presiden dan DPR untuk membuat undang-undang. Kewenangan delegasi adalah penyerahan atau pelimpahan kewenangan dari badan/lembaga pejabat tata usaha negara lain dengan konsekuensi tanggung jawab beralih pada penerima delegasi. Misalnya pelaksana persetujuan DPRD tentang persetujuan calon wakil kepada daerah. Yang terakhir kewenangan mandate yaitu pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab masih dipegang oleh si pemberi mandat. Seperti, tanggung jawab memberi keputusan-keputusan oleh menteri dimandatkan kepada bawahannya. Bahwa Pasal 160 UUPA tidak menjelaskan kewenangan apa sebenarnya dalam pengelolaan sumber daya alam minyak dan gas bumi di Aceh. Bahkan dalam MoU Helsinki kewenangan atas sumber daya alam minyak dan gas hanya diperuntukan untuk Aceh tanpa mengikutsertakan Pemerintah Pusat. Seharusnya pengelolaan itu hanya mutlak oleh Pemerintah Aceh selaku penerima hak, fungsi Pemerintah Pusat hanya sebagai monitoring semata. Tetapi fakta yuridis lain kontra kerja sama saja harus ada kesepakatan bersama oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian ESDM.
Keempat, klausul 1.3.4. bahwa Aceh berhak menguasai 70% hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yang ada saat ini dan di masa mendatang di wilayah Aceh maupun laut territorial sekitar Aceh. Ketentuan ini diadopsi oleh Pasal 181 ayat (1) huruf huruf b UUPA bahwa dana bagi hasil yang bersumber dari hidrokarbon dan sumber daya alam yaitu: 1) Bagian dari kehutanan sebesar 80% (delapan puluh persen); 2) Bagian dari perikanan sebesar 80% (delapan puluh persen); 3) Bagian dari pertambahan umum sebesar 80% (delapan puluh persen); 3) Bagian dari pertambangan panas bumi sebesar 80% (delapan puluh persen); 4) Bagian dari pertambangan minyak sebesar 15% (lima belas persen); dan Bagian dari pertambangan gas bumi sebesar 30% (tiga puluh persen).
Dari ketentuan di atas frasa klausul 1.3.4., 70% hasil dari cadangan hidrokarbon tidak relevan dengan pembagian dari pertambangan minyak sebesar 15% dan bagian dari pertambangan gas bumi sebesar 30%. Hal ini jelas, Pemerintah Pusat lagi-lagi menyimpangi kesepakatan klausul 1.3.4., tersebut, seharunya plot 70% tidak dirubah lagi apa lagi persentase 15% dari penghasil pertambangan minyak sangat meniadakan hak ekonomi rakyat Aceh. Karena kalau dicermati dalam klausul 1.3.4., tersebut diberikan kata ‘menguasai’ diartikan berkuasa atas sesuatu, menguasai juga dapat diartikan memegang kekuasaan atas suatu tertentu. Prinsip menguasai dibatasi sampai 70% atas hidrokarbon yang terkandung dalam minyak dan gas, kehutanan, dan perikanan. Tentu dibagian minyak dan gas bumi wajib ditinjau ulang karena ada hak ekonomi yang direduksi oleh Pemerintah Pusat.
Kelima, klausul 1.3.5., Aceh mempunyai hak ekonomi atas melaksanakan pembangunan dan pengelolaan semua pelabuhan laut dan pelabuhan udara dalam wilayah Aceh. Bahkan ketentuan ini tercatat dan diperintahkan oleh Pasal 254 UUPA ayat (1) Penyerahan kewenangan pengelolaan pelabuhan dan bandar udara umum dari Pemerintah kepada pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dilaksanakan paling lambat awal tahun anggaran 2008. Ayat (2) Pengelolaan pelabuhan dan bandar udara umum yang sudah ada pada saat Undang-Undang ini diungkapkan dikerjasamakan antara badan usaha milik negara, Pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 dilaksanakan paling lambat awal tahun anggaran 2008.
Namun hingga saat ini penyerahan kewenangan itu belum dilakukan oleh Pemerintah Pusat, semua pelabuhan udara seperti Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda, Bandara Rembele, Bandara Patiambang Blangkejeren, Bandar Udara Malikussaleh, dan Bandar Udara Alas Leuser, semua dikelola oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini PT. Angkasa Pura II, dan Kementerian Perhubungan RI, tidak satu pun hak pengelolaan diberikan kepada Pemerintah Aceh. Seharusnya hak ekonomi Aceh atas pembangunan dan pengelolaan Bandar udara dan Bandar laut sepenuhnya untuk Pemerintah Aceh. Bahkan diprediksikan peluang yang besar atas pengelolaan dapat menurunkan angka kemiskinan di Aceh. Tetapi implementasi yuridisnya sangat disayangkan, ibaratnya harta karun sudah diberikan tetapi kuncinya tidak diberikan kepada pihak semestinya, dan diberikan kepada pihak lain.
Keenam, klausul 1.3.6., bahwa Aceh akan menikmati perdagangan bebas dengan semua bagian Republik Indonesia tanpa hambatan pajak, tarif ataupun hambatan lainnya. Kewenangan ini tercantum dalam Pasal 167 UUPA bahwa kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas sabang. Artinya kawasan bebas perdagangan sabang dan pelabuhan bebas sabang membebaskan pengenaan bea masuk, pajak tambahan nilai, dan pajak penjualan atas barang mewah. Namun jauh sebelum pembentukan UUPA, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang. Apabila dicermati dan pahami secara letak geografis, letak kawasan sabang yang unik, dan kedudukannya yang tepat pada jalur kapal internasional, menyebabkan kawasan Sabang dan gugusan pulau-pulau disekitarnya dapat menjadi pusat pelayanan lalu lintas kapal internasional, serta dapat dijadikan pintu gerbang bagi arus masuk investasi, barang dan jasa dari luar negeri. Sejatinya kawasan Sabang menjadi peluang yang sangat besar bagi Pemerintah Aceh namun setelah pasca damai pelabuhan Sabang belum optimal. Kendati demikian, sebab musabab kemunduran Sabang belum diketahui secara pasti, namun jika dilihat Pasal 169 UUPA, menyatakan bahwa Pemerintah Pusat bersama Pemerintah Aceh mengembangkan Kawasan Perdagangan Sabang, apakah dengan diikutsertakan pihak Pemerintah Pusat menjadi kendala, hal ini tentu belum pasti.
Ketujuh, klausul 1.3.7., Aceh akan menikmati akses langsung dan tanpa hambatan ke negara-negara asing, melalui laut dan udara. Prinsip ini tidak diakomodir oleh Pemerintah Pusat, bahkan satu frasa pun tidak ada menjelaskan bahwa rakyat Aceh akan menikmati akses langsung dan tanpa hambatan ke negara-negara asing. Kalau dicermati klausul 1.3.7., ini sangat berpotensi untuk kemajuan Aceh di masa mendatang. Karena hubungan Pemerintah Aceh dengan Pemerintah Luar Negeri yang notabenenya daerah otonom sangat terbantu dengan baik. Namun dugaan peneliti, klausul tidak muncul dalam UUPA disebabkan karena ketidakpercayaan Pemerintah Pusat terhadap Aceh. Jika ke depan, ada upaya revisi terhadap UUPA, maka hendaknya klausul ini dimasukkan dalam UUPA sehingga Aceh masa mendatang lebih cepat maju dari daerah lain.
Dari sekian banyak hak ekonomi yang diamanahkan oleh MoU Helsinki dan sebagiannya yang diadopsi oleh UUPA ternyata banyak yang bertabrakan atau bahkan tidak selaras dengan semangat MoU tersebut. Hak sejatinya tidak boleh dicampuri oleh siapapun dan berdiri kokoh sendiri, begitu juga mengenai hak ekonomi Aceh. Hal ini tentu interpretasi dari amanah Pasal 28A sampai Pasal 28J UUD Tahun 1945.
Kesepakatan dalam MoU tersebut merupakan buah dari perjuangan yang begitu banyak jiwa dikorbankan demi perjuangan hak ekonomi tersebut. Tentu hak ekonomi adalah upaya dari perlindungan konstitusi demi Aceh yang bermartabat.
Penulis adalah Muhammad Ridwansyah, M.H. Muhammad Ridwansyah sebagai Ketua DPP Muda Seudang bidang Hukum, HAM dan Keamanan, sekaligus Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Sains Cut Nyak Dhien Langsa dan Peneliti Wain Advisory Indonesia.