BANDA ACEH – Bargaining Aceh di mata Pemerintah Pusat dinilai turun drastis usai Aceh damai. Salah satu penyebabnya dinilai karena Aceh tidak lagi memiliki sesuatu daya tawar seperti di masa lalu.
Hal ini disampaikan Fajran Zain, akademisi UIN Ar-Raniry sekaligus mantan aktivis saat Aceh masih berkonflik, dalam diskusi yang digelar oleh Muda Seudang, di Café 3 In 1, Kota Banda Aceh, Selasa 3 Desember 2019.
“Dulu Aceh memiliki GAM. Usai damai, bertransformasi ke politik melalui Parlok. Namun perolehan kursi PA justru turun dari pemilu ke pemilu. Pertama hampir 48 persen, atau 33 kursi, kemudian 29 kursi, dan 18 kursi,” kata Fajran Zain.
“Dulu awal damai, saat ke Jakarta kita disambut Wapres JK, kemudian turun Gamawan Fauji (menteri-red). Kalau sekarang di bawahnya lagi,” ujarnya lagi.
Kondisi ini, kata Fajran Zain, terjadi karena kesalahan dari kita sendiri. Dimana, Aceh tak pernah belajar dari kesalahan yang terjadi. Tak pernah melakukan intropeksi diri sehingga mengulang hal yang sama setiap periode.
“Awal damai, Irwandi-Nazar terpilih melalui jalur independent, kemudian pemilu 2009 PA menguasai mayoritas kursi parlemen. Kemudian di 2012, Doto Zaini-Mualem menguasai eksekutif tertinggi Aceh. Namun pencapaian ini justru tak dibarengi pencapaian realisasi kewenangan Aceh,” ujarnya lagi.
Fajran berharap generasi muda di Aceh memiliki identitas ke-Aceh-an. Menguatkan Parlok selaku bargaining politik Aceh.
Selain Fajran Zain, diskusi yang bertema arah dan generasi Aceh pasca damai ini turut dihadiri Azhar Abdurrahman selaku kombatan dan anggota DPR Aceh, hadir juga mantan rector UIN Ar-Raniry Prof Farid serta Jubir DPA PA Muhammad Saleh. []