TAHUN 2019 sudah berakhir dua hari lalu. Ada banyak catatan yang semestinya menjadi bahan evalusi bagi Aceh untuk berbenah diri. Salah satunya adalah tak tuntasnya persoalan bendera Aceh di tahun ini.
Padahal sebagaimana yang diketahui, pemerintah Aceh semasa kepemimpinan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf telah melembar-Aceh-kan qanun bendera Aceh sejak 2013.
DPR Aceh sejak saat itu mengklaim bahwa Qanun Bendera Aceh telah sah secara hukum. “Tinggal menunggu komitmen dari eksekutif untuk mengibarkan bendera tersebut di seluruh Aceh. Secara hukum sudah sah.”
Bahasa ini sudah sering kita dengar. Namun enam tahun lebih sejak qanun tersebut disahkan, komitmen eksekutif untuk mengeksekusi aturan yang sudah disepakati bersama dalam bentuk qanun Aceh tersebut tak kunjung terwujud.
Malah, setiap pengibaran bendera Aceh, aparat kepolisian dan TNI pasti mencoba menurunkan bendera tersebut. Sementara di sisi lain, baik SBY maupun Jokowi, sama-sama tak pernah membatalkan qanun bendera Aceh yang menjadi produk hukum dijalankan serta ditaati.
Rakyat Aceh memerlukan kepastian atas produk hukum yang disahkan di Aceh. Kalau memang bendera Aceh sudah sah, seharusnya legislative dan eksekutif sama-sama mengibarkan bendera tersebut.
Atau sebaliknya, jika memang kebijakan politik dari pemerintah pusat menegaskan bahwa bendera Aceh tersebut dilarang, maka pemerintah pusat bisa membatalkan qanun tadi sehingga tak lagi menimbulkan keraguan di tengah-tengah masyarakat Aceh.
Di luar hal tadi, bendera Aceh hingga 2019 berlalu, ternyata masih gagal berkibar layaknya bendera lain. Kondisi ini kian membuat masyarakat Aceh pesimis bahwa pusat akan menunaikan komitmennya yang ditandatangani di Helsinki pada 2005.
Sementara Pemerintah Aceh, baik eksekutif maupun legislative, sejatinya perlu duduk ulang untuk mencari solusi bersama terkait bendera Aceh.
“Bek meuputa-puta ata sot sot. Rakyat perlu bukti, bukan cuma janji.”
Semoga di 2020 ini ada kejelasan soal semua kewenangan Aceh yang masih tersendat di Pusat, termasuk soal bendera Aceh serta sejumlah kewenangan lainnya. Karena politik ‘tarik ulur’ hanya menciptakan kondisi di Aceh kian keruh. Demikian juga dengan Pemerintah Aceh yang harusnya benar benar bekerja untuk membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang terbaik Aceh. Bukan hanya menjual ‘kecap’ saat pemilu dan pilkada.