IBNU tersentak. Kata ‘Thoyib’ membangunnya dari lamunan. Ibnu mencoba tersenyum. Ia memang memiliki nama keren di Warkop tempatnya numpang jualan burger itu. Di sana ia dipanggil dengan sebutan Bang Thoyib.
Panggilan Bang Thayib disematkan padanya karena ia jarang pulang kampung. Toh, ia kini memang tak memiliki kampung halaman. Konflik telah merampas seluruh kehidupannya. Ia telah kehilangan segalanya.
Ibnu mencoba tersenyum ke arah pelanggannya tadi.
“Tunggu sebentar ya. Saya buati dulu,” ujarnya kemudian.
Tangan Ibnu kemudian bergerak cekatan. Ia mengambil roti serta mentega. Dalam sekejab, burger telur yang menjadi menu andalannya pun siap. Ia kemudian mengantarnya ke meja yang memesan tadi. Lelaki muda yang duduk di sana pun tersenyum melihat pesanannya tiba.
“Makasih Bang. Mantap nie bau-nya,” ujar lelaki muda tadi.
Mendengar hal itu, Ibnu tersenyum. Ia senang jika pengunjung Warkop menyukai burger bikinannya itu. “Cepat di makan. Kok makan malam-malam? Entar sakit,” tanya Ibnu kemudian.
Lelaki muda tadi membalas dengan senyuman. “Biasa Bang. Lupa makan tadi. Lagi kejar dealine skripsi. Orangtua di kampung sudah kasih dealine juga untuk segera selesai. Kalau tidak, kiriman di kampung putus,” ujar dia.
Penjelasan lelaki muda ini membuat Ibnu tersenyum. Ia senang melihat lelaki muda itu semangat menyelesaikan tugas akhir kuliah. Ia adalah pelanggan setia di Warkop ini. Mereka sudah saling mengenal satu sama lain.
“Bang Ibnu kapan berangkat ke Australia? Beasiswa S2-nya udah dapat-kan?” tanya balik lelaki muda tadi. Ia biasa disapa Diki. Ibnu tak tahu nama lengkapnya.
“Jadi dong. Kalau beasiswa blom. Lagi cari-cari nie. Doain ya dapat beasiswa. Dealine keberangkatannya 6 bulan lagi,” jawabnya.
Diki mengangguk senang.
“Semangat bang. Pasti dapat.”
“Iya. Kalau gak dapat beasiswa pun, Abang tetap berangkat. Nanti bisa cari kerja sambilan juga di sana. Jadi buruh pemetik cherry. Lumayan kan dapat 20 dollar Australia setengah hari,” ujar Ibnu.
Penjelasan Ibnu membuat Diki terkesima. Pria muda itu tersenyum girang.
“Bang Ibnu keren. Sudah berpikir sampai ke situ. Tapi Diki yakin kalau Bang Ibnu bakal dapat beasiswa. Diki bakal rindu nie dengan burger buatan Bang Ibnu,” kata pria muda berkacamata itu.
“Kau selesaikan studi cepat. Kita sama-sama berangkat ke Australia. Nanti aku masak burger tiap hari di sana,” balas Ibnu sambil tersenyum.
“Susah bang. Baru proposal skripsi. Aku beda sama abang. Aku otak udang,” ujar lelaki muda itu merendah.
Mendengar hal ini, Ibnu lagi lagi tersenyum. Hampir tiga tahun ia membuka rak burger di Warkop itu, dan ia berkenalan dengan banyak pelanggan. Namun Diki sedikit berbeda dengan mayoritas pelanggan burgernya yang lain. Lelaki muda itu menyenangkan serta mudah akrab. Ia mudah diajak bicara dan tak gengsian.
“Abang izin beres beres rak dulu ya. Mau tutup. Besok harus bangun pagi. Rumah orang belum selesai dicat. Mau ditempati,” ujarnya. Diki membalas dengan anggukan.
Apa yang dikatakan Ibnu memang benar adanya. Demi rencananya berangkat studi ke Australia, ia harus melakoni beberapa pekerjaan sekaligus dalam satu hari. Pagi kerja serabutan seperti mengecat rumah serta aktivitas tukang lainnya serta sore hingga malam menjadi penjual burger.
Ia juga menerima panggilan pemasangan kabel listrik serta mencuci sepeda motor di akhir pekan.
Ibnu tak pernah risih dengan semua aktivitas yang dilakoninya. Kerasnya hidup yang sudah dilaluinya, membuat ia tahan banting. Pesan almarhum ayahnya membuat ia tegar dalam menjalani hidup.
“Nak. Kami berperang itu bukan karena hobi. Ada sejarah yang harus kami luruskan. Kelak ketika akhir dari perjuangan ini selesai. Ayah ingin kembali ke ladang. Ayah tak pernah mengharapkan pangkat dan jabatan.”
“Dua abangmu syahid. Itu sudah jalan hidupnya. Jika pun suatu saat, ayah nantinya syahid dalam perang ini, kau jangan sekali-kali memegang senjata seperti kami. Sekolah lah yang tinggi. Aceh butuh banyak pemikir.”
“Aceh tak pernah kekurangan tentara di medan perang. Satu dua syahid, seribu akan berganti. Tapi tidak demikian dengan pemikir. Maka jadilah bagian dari yang sedikit tadi.”
[Bersambung]
Penulis adalah Musa AM. Kesamaan nama, tempat dan alur dalam cerita ini, hanyalah kebetulan belaka.