Banda Aceh-Iklas dalam melayani anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) benar-benar apik dilakoni Esti Wulansari dan Saprina Siregar. Keduanya dipertemukan dan dipersatukan karena sama-sama peduli dan pegiat pendidikan bagi ABK.
Sebelum keduanya berkolaborasi, telah berdiri lembaga penitipan anak bernama Kasya Day Care Center (KDCC). Inisiatornya adalah Shadia Marhaban, aktivis dan politisi Aceh. Sejak Esti, panggilan akrab ibu dari Meutuwah Rindu Merdeka (15 tahun) dan Muhammad Asa Damai (9 tahun) ini bergabung, KDCC mengalami kemajuan dan berubah menjadi sebuah sekolah.
Pada akhirnya KDCC terus berkembang sehingga perempuan asal Jakarta ini bersama rekan lain pada 31 Mei 2009 mendirikan dan sekaligus sebagai ketua Yayasan Kasya Meutuah Mandiri (YKMM).
Sedangkan Saprina bergabung beberapa bulan kemudian dan ditunjuk sebagai Kepala Sekolah Pendidikan Usia Dini (PAUD) Inklusi Kasya. Yayasan dan sekolah ini sampai kini masih menempati rumah sewa beralamat di Jalan M. Tuha Desa Ceurih Kecamatan Ulee Kareng, Banda Aceh.
“Kasya berdiri sejak 11 tahun lalu. Sedih bila diceritakan kisah perjuangan kami,” kata Esti.
“Kisah miris itu mesti ditanggung bersama. Untuk sewa rumah yang dijadikan kantor dan ruang sekolah plus biaya operasional keduanya harus menggadaikan BPKP motor, termasuk kerelaan beberapa guru rela berkorban dalam hal yang sama,” sambung Ina, panggilan akrab isteri dari Safwani Zainun ini.
Selain PAUD, YKMM juga menawarkan jasa Tempat Penitipan Anak (TPA), kelompok bermain, Taman Kanak-kanak dan SD. Direncanakan jenjang SMP juga akan menyusul.
Siswa ABK yang mendominasi adalah penyintas autis, speech delay (terlambat bicara), down syndrome (kelainan genetik). Walau peruntukan bagi ABK ternyata beberapa siswa normal juga berminat menjadi siswa di sini. Mungkin ketertarikan tersebut disebabkan adanya “kelas bakat,” yang menjadi salah satu program unggulan.
Sejak 5 Mei 2019 lalu lembaga pendidikan non formal ini menerapkan konsep Kasya Flexi Aceh.
“Kasya berasal dari Kasih Sayang. Sedangkan flexi mengacu makna dari kata fleksibel. Karena kami menerapkan kurikulum unik mengedepankan kasih sayang dengan sistem belajar fleksibel berbasis fitrah, minat dan bakat yang disesuaikan menurut kebutuhan dan kemampuan anak,” jelas Esti, isteri dari Muhammad Taufik Abda ini.
Terlihat pakaian siswa di sini tidak seragam. “Bagi kami anak adalah individu merdeka di mana ia berhak memilih. Termasuk dalam memilih pakaian yang nyaman dan aman untuk ia kenakan, asalkan hak berpakaiannya juga tidak berbenturan dengan norma sosial, yakni tetap sopan,” ucap Esti.
Keseragaman terlihat saat tiba makan bersama. “Kami menyediakan snack dan menu makan siang yang sama, sehat, bebas dari zat pewarna ataupun zat adiktif lain seperti MSG yang sangat berbahaya bagi proses tumbuh kembang anak,” ungkap Ina, ibu dari Hanif Briliant Tamma Rousydiy (21 tahun) dan Risyad Ridha Rousydiy (15 tahun) ini.
Saat snack time, self cafetaria (STSC) merupakan pembelajaran dengan pengawasan guru, siswa berupaya melayani dirinya sendiri. Tujuan mendidik anak bahwa makan itu bukan hanya bertujuan kenyang melainkan anak agar paham tentang kemandirian, pengetahuan akan makanan, paham aturan dan adab saat makan.
Teman-teman kecil (baca: anak –anak) di PAUD Kasya dan Kasya Flexi merasa lebih merdeka dan demokratis dalam menentukan proses bermain, belajar, berteman dan berkasih sayang, tanpa sedikitpun memandang adanya perbedaan.
Banyak keunggulan lain yayasan dan sekolah kerja sama dari kedua perempuan hebat ini. Wajar beberapa prestasi berhasil diukir. Diantaranya, Juara 3 kategori pengelola KB/TPA/SPS GPK PAUD dan Dikmas Nasional, 2018.
Maka tak salah bila Kasya mungkin satu-satunya sekolah usia dini di Banda Aceh yang menerapkan metode inklusi sebenarnya.
“Di mana kami menerima anak dari berbagai kondisi dan latar belakang baik sosial, budaya, ekonomi, dan lain-lain,” kata Esti. NA. RIYA ISON