Deah Mamplam merupakan salah satu gampong di kecamatan Leupung, Aceh Besar. Jarak gampong ini dari pusat ibukota Jantho sekitar 68 km dan bertetangga langsung dengan PT Semen Bangun andalas. Sebelum tsunami, gampong Deah Mamplam berada dipinggir pantai, namun disebabkan gampong ini hancur oleh luluh lantak tsunami maka atas pertimbangannya banyak pihak gampong Deah Mamplam relokasi ke kawasan Glee Judah. Pegunungan Glee Judah ini bersambung dengan pegunungan bukit barisan dimana beberapa lokasi sudah dibebaskan oleh PT SBA karena memiliki bebatuan yang dapat diolah menjadi salah satu bahan pembuatan semen (limestone).
Lokasi baru di kawasan“glee Judah” tidak memiliki sumber air karena umumnya kawasan ini berbatuan, maka sumber air “dari mata ie” gua riting dan krueng Sarah, dan beberapa sumber lainnya memiliki jarak yang lumayan jauh yaitu 2-3 km dari perumahan.
Berdasarkan sensus penduduk 2015, jumlah penduduk gampong Deah Mamplam sekitar 208 KK, 736 jiwa. Namun demikian, rumah yang dibangun setelah tsunami adalah 280 unit, dibangun oleh bantuan masyarakat Brunei Darussalam dan Badan Rehabilitasi Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias. Banyak rumah kosong yang tidak ditempati, “pemiliknya berada diluar kota untuk bekerja, namun setiap tahun mereka pulang, biasanya saat hari raya,”kata Mujai, salah seorang tokoh gampong gampong ini.
Membangun kembali Deah Mamplam
Awalnya gampong Deah mamplam terletak bukan dikawasan Glee Judah, namun sekitar 1 Km dari kawasan Glee Judah tersebut. Perkampungan Deah Mamplam sudah ada sejak zaman hindu, namun semasa raja Iskandar Muda didirikan sebuah dayah, yang diberi nama “Dayah Mamplam”, karena memang banyaknya tumbuh pohon mangga dikawasan tersebut. Selanjutnya, saat disepakati menjadi sebuah gampong diawal tahun 1900, jauh hari sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, masyarakat sepakat menamakan nama gampong adalah Deah mamplam. Maka terpilihlah geuchik pertama bernama Abdullah, memimpin gampong Deah mamplam 1920-1926.
Penulis melakukan kunjungan ke gampong ini dalam rangka memenuhi undangan ketua pengurus BUMG, Mujailani, untuk melihat usaha yang sedang dikembangkan mereka, yaitu peternakan penggemukan sapi. Namun, dalam diskusi dilokasi peternakan, Mujailani menghubungi geuchik Yusni (2018-2023) dan melakukan banyak diskusi tentang perkembangan gampong ini sejak awal berdirinya, kehancuran oleh tsunami, juga permasalahan kekinian dimana masyarakat mengeluhkan tidak tersedianya air bersih.
Permasalahan air bersih sebenarnya, penulis sudah mendapatkan informasi saat melakukan kunjungan bersama tim pansus DPRK Aceh Besar ke gampong ini, jumat 17 januari 2020. Menurut Yusni, geuchik Deah Mamplam, sejak relokasi ke Glee Judah, ”kami terkendala oleh air, itu kebutuhan utama. Sebenarnya kami memiliki sumber air yang cukup, yaitu gua riting dan krueng sarah, dan beberapa sumber lainnya. Sumber air ini sudah dimanfaatkan turun temurun. Kami berharap pemkab Aceh Besar dan PT SBA yang berada dikawasan perkampungan kami dapat mencarikan solusinya, karena selain bisa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, kami juga bisa memanfaatkan bagi aktifitas ekonomi seperti berternak, bercocok tanam dan mengembangkan usaha industri rumah tangga, dan sebagainya”.
Dalam diskusi dikedai kupi, beberapa masyarakat yang sedang duduk sambil menyeruput kupi Leupung juga menyampaikan, bahwa masyarakat tentunya mempunyai harapan untuk perubahan, gampong kami memiliki visi dan misi yang jelas,”mewujudkan kesejahteraan seluruh masyarakat” dengan mengelola potensi dikawasan gampong kami. Harapan mereka sangat beralasan, potensi sumber daya alam gampong ini sangat kaya, memiliki garis pantai yang panjang, persawahan, perkebunan cengkeh, mangga dan kelapa, serta sumber mata air. Hanya saja, sejauh ini upaya pemanfaatan potensi sumber daya alamnya masih tergolong kurang, padahal dalam beberapa tahun terakhir, gampong juga memiliki dana desa yang bisa dipergunakan untuk modal pengembangan usaha dan bisnis gampong dan masyarakatnya.
Menurut geuchik Yusni,” kita fokus alokasi dana desa pada pembiayaan mesin pompa agar masyarakat dapat terpenuhi ketersediaan air, biaya operasional dan perawatan mesin tinggi”. Penulis berpandangan, menarik juga jika operasionalisasi pompa air dengan menggunakan teknologi solar cell energy supaya biaya untuk membayar listrik PLN bisa ditekan. Apalagi program teknologi tepat guna dibolehkan dalam pengelolaan dana desa, apalagi jikalau ide ini bisa dibantu lagi oleh keberadaan PT SBA, maka semakin meringankan jika langkah ini dilakukan.
Mengembangkan Gampong Saudagar
Berkunjung dan melihat langsung cluster peternakan penggemukan sapi Aceh yang dilakukan oleh BUMG gampong Deah Mamplam, melahirkan beberapa inspirasi baru dalam pengelolaannya kedepan. Awalnya, Mujailani dan anggota kelompok peternak menyampaikan harapannya, bahwa mereka ingin mengembangkan bisnis peternakan sapi Aceh lebih serius, jadi bukan hanya sebatas memelihara secara sambilan, akan tetapi usaha yang sedang kami rintis melalui permodalan dari BUMG dapat dikembangkan secara bisnis yang menguntungkan.
Penulis yang memiliki sedikit pengalaman integrated farming di dusun Blang baro Saree Aceh, berbagi pengalamannya bahwa harapan yang tumbuh dalam kelompok ternak Deah Mamplam sangat mungkin untuk diwujudkan. Langkahnya, menjadikan semua potensi yang ada dilokasi peternakan bernilai rupiah, misalnya hijauan sekitar dan limbah makanan sapi menjadi pakan baru dengan sistem fermentasi, limbah kotoran sapi menjadi bio-gas dan bio-urine, dan selanjutnya memproduksi pupuk kompos. Jadi, cluster peternakan penggemukan sapi Deah Mamplam dapat menjadi unit pengolahan pupuk organik (UPPO). Cluster ini diharapkan dapat mengembangkan rantai produksi pertanian ke tahapan dan produk jadi lainnya.
Penulis berbagi gagasan supaya Deah mamplam dapat dikembangkan menjadi “Gampong Saudagar”, adalah gampong yang mampu mengelola dan mengembangkan potensi sumber daya alam yang dimilikinya menjadi produk, mulai dari budidaya, pengolahan hasil produksi/paska panen, pemasaran dan bahkan mampu membangun sistem keuangan yang dapat mendukung pengembangan bisnis dan investasi di gampong tersebut.
Melihat perkembangan produksi di gampong Deah Mamplam, maka klaster peternakan dan penggemukan sapi menjadi magnet ekonomi gampong yang akan membuka peluang pengembangan usaha dan bisnis di sektor pertanian padi dan perkebunan, sehingga mampu menghasilkan produk-produk lainnya. Fakta lapangan membuktikan bahwa usaha Mujailani dan anggotanya yang didukung penuh oleh pak Yusni, geuchik gampong Deah Mamplam, untuk menjadikan gampong produktif sudah dimulai, seyogianya semua stakeholder terutama Dinas pembangunan masyarakat gampong (DPMG), Dinas Pertanian, PT SBA dan stakeholder lainnya dapat berperan aktif supaya gampong Deah mamplam menjadi model “gampong saudagar”. Ingat ! Perubahan sebuah gampong menjadi produktif ditentukan oleh warga gampong itu sendiri. Amien.
Penulis adalah Juanda Djamal, Ketua fraksi Partai Aceh DPRK Aceh Besar 2019-2024