RISKA cemberut saat melihat Raina melambai dari kejauhan. Gadis mungil itu memasang wajah tanpa dosa meski molor dari janji hampir satu jam lamanya.
Mereka janji bertemu pukul 14.00 WIB, namun kini sudah pukul 15.14 WIB. Padahal, menunggu merupakan pekerjaan yang sangat membosankan.
Riska kesal dengan kejadian di perpustakaan tadi dan kini juga bertambah gara-gara Raina. Hampir tiga jam lebih ia menungu di kantin dengan tiga gelas jus apel, satu piring mie Aceh dan 5 potong kue kering.
Belum lagi para mahasiswa yang melihat ke arahnya dengan sorotan tajam. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka. Riska mulai risih.
“Hai cantik. Sorry telat. Maaf ya,” ujar Raina.
Riska tetap memasang wajah cemberut. Ia benar-benar kesal.
“Sorry. Sebagai gantinya, aku yang traktir hari ini. Kamu bisa mekan apapun, aku yang bayar,” kata Raina lagi.
Lobi Raina kali ini sedikit membuat cemberut di wajah Riska menghilang. Namun gadis berdarah Jawa-Aceh itu sudah terlanjur kesal.
“Kalau janji jangan ngaret kenapa! Tepat waktu,” ujar Riska.
Raina lagi-lagi memasang wajah polosnya.
“Mbak Rai tahu kan jika aku belum punya teman di kampus?” katanya lagi.
Raina mengangguk. Ia tahu kalau bersalah. Namun ia juga senang bisa menggoda teman dan tetangga barunya itu.
“Ris. Aku ini orang Aceh. Jadi tak tepat waktu sudah menjadi gen-ku,” kata Raina setengah bercanda.
Mendengar pengakuaan itu, Riska kembali memasang wajah cemberut. Walaupun ia tahu jika Raina bercanda.
“Sudah ah. Males berdebat dengan Mbak Raina. Aku selalu kalah,” ujar Riska.
Raina tertawa lepas. Ia puas menggoda Riska. Raina memanggil Si Abang kantin untuk memesan minum.
“Es teh manis,” ujar dia.
Kini giliran Si Abang kantin yang berkerut mendengar pesanan Raina.
“Maksudnya teh hangat,” kata Raina meralat ucapannya. Si Abang mengangguk serta segera ke dapur. Hanya hitungan menit, Si Abang kembali ke meja Raina dengan segelas teh hangat.
Si Abang kemudian beralih pandang ke Riska. “Adek mau pesan lagi?” katanya sambil memungut gelas-gelas kosong di atas meja dua dara itu.
Riska menggeleng. Si Abang kemudian mundur ke dapur. Raina tersenyum melihat wajah Riska yang masih cemberut.
“Jangan kesal lagi dong. Kan sudah minta maaf. Janji aku yang traktir hari ini,” kata Raina lagi.
Riska mencoba menarik nafas panjang dan kemudian dilepasnya kembali. Ini dilakukan hingga tiga kali.
“Ini hari terburukku sejak datang ke Aceh. Dari tadi pagi ada aja yang buat kesal,” ujar Riska pelan. Raina justru tersenyum.
“Coba ceritain. Aku sepertinya melewati banyak cerita hari ini,” ujarnya.
“Pertama, tadi pagi ada orang yang soknya minta ampun. Kedua, tue lihat para lelaki pandangi Riska dengan tatapan aneh. Jadi takutkan. Terakhir, mbak Raina molor,” ujar Riska dengan nada berat.
Alis Raina melengkung mendengar pengakuan Riska. Ia kemudian menyorot seisi kantin. Apa yang disampaikan Riska ternyata memang benar. Para mahasiswa berulang kali terlihat curi-curi pandang ke arah mereka. Tapi Raina tahu jawaban dari keadaan ini.
“Wajar dong Ris. Cowok mana yang tidak salah tingkah dan mencuri perhatianmu. Mereka kan lelaki normal yang tertarik dengan gadis sepertimu,” ujar Raina sambil memegang wajah cantik Riska.
Jawaban Raina tak membuat kerutan di wajah Riska menghilang.
“Ada tue tadi. Di Perpus. Sok-nya minta ampun,” ujar Riska kemudian.
Perkataan Riska kali ini membuat Raina terdiam. Namun beberapa detik kemudian, tawanya justru pecah. Tawa lepas Raina membuat seisi kantin melihat mereka. []
[Bersambung]