SEJAK dulu kala hingga sekarang, banyak putra daerah asal Aceh yang sukses setelah merantau ke Jakarta sebagai pengusaha, politisi, akademisi dan pejabat negara. Mereka adalah tokoh Aceh yang telah menasional dan dikenal publik.
Tersebutlah misalnya, Bustanil Arifin yang bertahun-tahun dipercaya Presiden RI (waktu itu Soeharto) sebagai kepala Bulog. Ada pula Sofyan Djalil yang sampai saat ini menjabat sebagai menteri di sejumlah kabinet dengan beberapa presiden.
Di dunia politik ada Ismail Hasan Metareum yang pernah menjadi ketua umum Partai Persatuan Pembangunan, Usman Hasan (politikus dan diplomat), Daud Beureuh (aktivis dan pejuang), Ismail Suni (akademisi-ahli hukum tata negara), Prof Teuku Jacob (antropolog dari UGM), BM Diah (tokoh pers), Ferry Mursyidan Baldan (politisi) dan masih banyak lagi.
Di DPR, pastinya sejak dulu kala hingga sekarang, Aceh punya wakil rakyat yang mumpuni, seperti Nasir Djamil yang kebetulan menjabat sebagai ketua Forum Bersama (Forbes) Anggota DPRD/DPD-RI. Mereka begitu cemerlang di kancah nasional. Namun, mengapa daerah (kampung halaman mereka) di Aceh, masih tertinggal dibandingkan daerah-daerah lain?
Bahkan, Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh belum lama ini merilis data terbaru mengenai kemiskinan di Sumatera. Aceh disebut masih menempati posisi sebagai provinsi paling miskin di Sumatera dan nomor enam se-Indonesia. Per September 2019, jumlah penduduk miskin di Aceh mencapai 810.000 orang atau 15,01%.
Namun, menurut Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, Wahyudin, angka kemiskinan tersebut berkurang sebanyak 9 ribu orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2019 yang jumlahnya 819 ribu orang atau 15,32%.
Terlepas sudah berkurang atau statis, yang pasti status “termiskin” masih tersandang pada provinsi Serambi Mekah tersebut. Ini realita yang tidak bisa dibantah.
Sungguh ironis, padahal kurang apa dedikasi dan loyalitas Aceh buat Indonesia? Sejarah mencatat, masyarakat Aceh-lah yang patungan untuk membeli pesawat pertama Indonesia saat Bung Karno mengakhiri kunjungannya di Aceh pada tanggal 20 Juni 1948.
Mengusir Belanda
Dana yang terkumpul untuk pembelian pesawat jenis Dakota itu berjumlah 120.000 dolar Singapura ditambah dengan 20 kg emas. Emas itu dipakai oleh Soekarno untuk mempercantik Monumen Nasional (Monas). Dana tersebut dihimpun oleh Panitia Dana Dakota (Dakota Found) di Aceh yang dipimpin HM Djoened Joesof dan Said Muhammad Alhabsyi.
Di masa kolonial, rakyat Aceh juga sangat gigih mengusir Belanda. Pada masa itu kondisi alat perang Indonesia sangat memprihatinkan. Lagi-lagi Aceh memberikan bantuan untuk Indonesia berupa kapal laut.
Di bidang komunikasi dan informasi pada masa perjuangan, rakyat Aceh punya stasiun radio Rimba Raya yang setiap hari mengabarkan berita-berita perjuangan yang menginspirasi rakyat Aceh untuk melawan penjajah demi kemerdekaan RI.
Dalam soal keislaman di Nusantara, Aceh punya andil sangat besar. Dari Aceh-lah, Islam tersebar ke wilayah-wilayah lain di Indonesia.
Sebagaimana diungkapkan intelektual Islam, Azyumardi Azra, Aceh adalah pusat intelektualisme Islam, tidak hanya di Indonesia, tapi di Asia Tenggara. Azyumardi bahkan menyebut bumi Serambi Mekah menjadi salah satu pusat studi Islam paling tua di Nusantara, yang menelurkan tokoh-tokoh intelektual muslim dan membentuk tradisi Islam di Nusantara.
Peran ulama
“Peran para ulama dalam membentuk pemahaman keislaman, tradisi keislaman, praktik keislaman di Nusantara ini besar sekali,” papar Azyumardi sebagaimana dikutip Media Indonesia (10/2).
Lihatlah Taman Nasional Gunung Leuser yang kaya dengan flaura dan fauna. Datanglah ke Pulau Weh, sangat mungkin kita akan berdecak kagum, “jangan-jangan suasana di sorga seperti ini.”
Fakta-fakta tentang Aceh masa lalu sungguh kontradiktif dengan Aceh masa sekarang. Kejayaan Aceh yang begitu membanggakan di masa silam seolah tak berbekas di masa sekarang jika kemiskinan dan kesejahteraan dijadikan indikator.
Lebih miris, sebab masih ada sebagian masyarakat Aceh di bagian utara yang menganggap bahwa sampai sekarang konflik peninggalan masa lalu belum selesai. Di sana masih ada milisi-milisi yang siap bertempur jika situasi memungkinkan. Sungguh sangat ironis.
Tradisi sayam (ritual memaafkan) masyarakat Aceh pasca pertumpahan darah juga sudah tiada, atau setidaknya tidak lagi diupayakan untuk dihidupkan. Pun demikian dengan tradisi bercerita yang lazimnya dilakukan para perantau asal Aceh saat pulang kampung tidak lagi terdengar.
Kenduri kebangsaan
Dilatarbelakangi kenyataan-kenyataan itu, sungguh sangat mulia jika ada sejumlah tokoh Aceh yang telah menggapai sukses di Jakarta berusaha menghidupkan kembali keacehan, keislaman dan keindonesiaan lewat acara kenduri kebangsaan.
Informasi yang sebagian sudah tersebar di media, acara itu akan digelar di Bireuen sebagai wujud kepedulian Yayasan Sukma dan Forbes Anggota DPR dan DPD akan masa depan Aceh.
Kabarnya, kenduri ala masyarakat Aceh itu akan dihadiri Presiden Joko Widodo pada 22 Februari mendatang.
Seperti tradisi luhur yang pernah dilakukan masyarakat Aceh pada masa silam, dalam acara itu, panitia akan memotong sedikitnya 20 ekor sapi untuk disantap bersama. Selain itu, urun rembuk demi masa depan keacehan, keislaman dan keindonesiaan juga akan digelar di Sekolah Sukma Bangsa Bireuen dengan menghadirkan para pakar di bidangnya masing-masing.
Kita, khususnya masyarakat Aceh, tentu tidak menghendaki kenduri kebangsaan sekadar basa-basi atau cuma hura-hura, setelah itu lupa dan sang Serambi Mekah tetap punya rapor merah sebagai provinsi termiskin se-Sumatera. Atau lebih parah masyarakat Aceh punya mental menyerah seperti syair lagu yang dinyanyikan pedangdut, Hamdan ATT, “aku merasa orang termiskin di dunia.”
Gawat kalau itu yang terjadi. Masak sih, ketika keinginan untuk mencintai dan dicintai sudah bergejolak harus ditolak hanya karena (merasa) miskin.[]