RISKA mulai rajin mengunjungi perpustakaan dan ke bantaran Sungai Lamnyong, tiap sore harinya.
Seperti agenda rutin, Riska memang bertemu dengan Ibnu di dua lokasi tadi. Tapi hingga berminggu-minggu lamanya, mereka tetap belum bisa berkenalan serta saling menyapa.
Ada saja rintangan yang menghadang. Seperti kemunculan sejumlah mahasiswi yang membuat Ibnu risih serta kemudian meninggalkan Perpus, hingga beberapa pria paruh baya yang selalu menantinya di halaman depan perpustakaan. Tak jelas siapa para lelaki tadi. Tapi Ibnu terus menerus bersikap cuek kepada mereka.
Dari pengamatan Riska, lelaki itu ternyata cukup misterius. Ia tipe penyendiri dan membaca buku-buku klasik yang peminatnya rata-rata berumur 45 tahun ke atas. Lelaki itu juga bersikap dingin dengan semua wanita.
“Yang pasti ia bukan gay dan sangat-sangat normal,” gumam Riska mengambil kesimpulan awal hasil intelijennya selama ini.
Apalagi jika merujuk pada keterangan Raina, Ibnu merupakan alumni dari salah satu dayah moderen setingkat SMA di Bireuen.
“Ia tentu orang yang menjunjung tinggi normal-normal dalam beragama. Atas dasar ini, ia mungkin menolak berpacaran, dan itu membuat sejumlah wanita patah hati serta memberi image negative kepada Ibnu,” pikir Riska. Ia kian yakin dengan analisanya itu. Pasalnya, selama di Ngawi, analisanya juga selalu tepat.
Yang belum diketahui oleh Riska adalah sosok sejumlah pria paruh baya yang selalu menanti Ibnu di depan perpustakaan.
Mereka terbilang cukup misterius. Para tetua itu selalu menyapa Ibnu dengan bahasa Aceh yang kurang dimengerti oleh Riska.
Mereka seperti memiliki keterikatan dengan Ibnu atau mungkin juga saudara jauh. Tapi Ibnu justru bersikap cuek.
Semua hasil investigasi Riska ini dilaporkan ke Raina. Riska menyerah menguntit Ibnu. Tapi Raina tetap memenuhi janjinya untuk mentraktir Riska untuk makan minum setiap akhir pekan tiba.
+++
Satu tahun berlalu.
Riska tetap aktif mengunjungi perpustakaan Unsyiah dan bantaran sungai Lamnyong.
Belakangan ini, Riska mulai terbiasa menggunakan sepeda motor untuk ke kampus. Ini karena jadwal kuliah antara dirinya dengan Raina sedikit berbeda. Raina lebih padat jadwal di pagi hari. Sementara Riska dari siang hingga sore harinya.
Saat sore hari tiba, ia lebih banyak menghabiskan waktu di bantaran sungai Lamnyong.
Seolah takdir, hari ini tiba-tiba ia kembali bertemu dengan sosok laki-laki yang dipantaunya selama ini. Sosok yang dipandanginya dari kejauhan tetapi tak berani didekatinya. Yang dikenalnya sejak awal proses perkuliahan dimulai tapi belum sekalipun ia berani menyapanya.
Hari itu, Ibnu masih seperti kebiasaanya di bantaran sungai Lamnyong. Ibnu rebahan di atas rumput dan tidur di sana hingga sejam lebih.
“Ayo Riska. Ini kesempatanmu untuk berkenalan dengannya. Sekali tatapan, ia akan jatuh hati padamu.”
Suara itu seolah-olah berbisik di telinganya. Tapi Riska belum juga memiliki keberanian untuk mendekati.
“Kau hanya butuh satu tatapan. Ayolah, kuatkan tekat bajamu.” Suara itu kembali terdengar samar-samar di telinga. Entah siapa yang berbisik.
Riska memandang lurus kedepan. Pandangannya mengarah ke Ibnu yang sedang tertidur pulas di rerumputan tepi jembatan Lamnyong. Entah kenapa, keberanian Riska tiba-tiba muncul. Ia tiba-tiba memperoleh ide gila.
Riska mencopot busi sepeda motor miliknya. Busi tadi kemudian digesek ke tanah berulangkali. Ia kemudian memasang ulang tapi kali ini sedikit lebih longgar. Tujuannya, agar sepeda motornya tak menyala saat dihidupkan.
Riska mengetes ulang triknya tadi, dan ternyata memang mogok. Ia tersenyum dan kemudian mendorong sepeda motor sejauh 15 meter.
Riska berhenti di depan Ibnu. Ia menatap Ibnu dari arah dekat. Sangat dekat. Lelaki itu terlihat sedang terbuai dengan lamunan yang indah.
“Cukup ganteng,” gumam Riska.
[Bersambung]