SEMINGGU usai pemakaman militer, Praka Dedi masih terbayang dengan sosok wajah wanita cantik yang dilihatnya beberapa hari lalu. Gadis muslimah seakan telah memikat hatinya. Namun ia tidak memiliki data lengkap tentang sang gadis. Ia hanya tahu bahwa sang gadis adalah anak dari seniornya yang gugur karena tugas di Aceh.
“Almarhum ayahnya tertembak di pedalaman Aceh. Satu truk tewas. Ada 24 orang. 12 dari Brawijaya. Ini peristiwa berdarah,” ujar Prada Yustian, juniornya di Brawijaya, beberapa hari lalu.
“Almarhum Mayor Sulaiman memang orang Aceh. Dua tahun lalu pindah ke Brawijaya dan kemudian minta kembali di-BKO-kan ke Aceh. Alasannya karena anak istri di sana. Atas permintaan keluarga, dia dimakamkan di sini.”
“Anehnya juga. Saat yang lain minta pindah dari Aceh. Ia mengajukan diri. Ini mungkin yang namanya takdir. Istrinya orang Ngawi. Keluarganya mungkin masih di Surabaya sambil mengurus kelengkapan adminitrasi akhir untuk almarhum, ” jelas Yustian lagi.
Penjelasan Yustian membuat Dedi cukup kagum dengan sosok Mayor Sulaiman. Sebenarnya dari dulu, ia memang mengagumi setiap anggota militer yang lahir di Aceh serta bertugas di Brawijaya.
Untuk angkatannya, ada beberapa orang yang kelahiran Aceh. Mereka tergolong setia kawan serta juga terbilang nekat.
Prada Mukhlis serta Syuhada misalnya. Keduanya kelahiran Aceh tapi orangtuanya dari suku Jawa. Namun biar begitu, mereka berdua tetap merasa diri Aceh serta bangga dengan status kelahirannya itu.
“Orang Aceh itu sangat setia. Kalau bukan karena Aceh mungkin tak ada Indonesia,” ujar Mukhlis setahun lalu.
“Kata ayahku, saat hati orang Aceh bersama Indonesia, semua terasa mudah. Belanda yang ratusan tahun berkuasa di tanah Jawa, mampu terusir. Kini Aceh memberontak, maka tentu ada yang salah dalam hal ini,” kata Mukhlis.
“Belanda saja angkat tangan sama orang Aceh. Kalau kau sudah makan timphan dan mandi setahun di Aceh, maka alam sudah memberimu darah pejuang. Kau akan bertempur seperti Hanoman dan tak takut mati,” kata Syuhada lagi saat itu.
Entah benar atau tidak, tapi semua orang Aceh yang ditemuinya selama ini, memang mengarah pada asumsi yang dibangun oleh Mukhlis dan Syuhada.
Beberapa preman asal Aceh yang ditemui di Surabaya juga begitu. Mereka tak gampang menyerah meski didatangi dengan pakaian militer.
Demikian juga dengan Ramzi, seorang penjual mie Aceh di dekat Markas Brawijaya. Lelaki itu tidak pernah menundukkan kepalanya kepada jajaran militer yang sering makan di sana. Lelaki itu bahkan sering memarahi anggota militer yang sok berlagak reman di warungnya.
Dedi sendiri adalah petarung jalanan saat SMA. Ia kerap terlibat dalam sejumlah tawuran jalanan. Hal ini juga yang membuatnya mendaftarkan diri sebagai anggota militer. Karena keahliannya memang berkelahi. Namun sejarah hidupnya itu sering dipandang setengah mata, bahkan cenderung dikacangi, oleh Mukhlis dan Syuhada.
Dalam karate dan bela diri, ia hampir seimbang dengan Mukhlis dan Syuhada. Tapi di simulasi perang, ia kalah jauh dengan kedua sosok tadi, meski dalam perpangkatan justru ia lebih cepat dari mereka.
Insting perang Mukhlis dan Syuhada lebih tinggi dari dirinya. Mungkin ini yang disebut oleh Mukhlis bahwa mereka memiliki ‘gen’ tempur yang berbeda.
Mukhlis menyamakan orang Aceh itu seperti bangsa Sparta dan Mongol. Mereka dilahirkan sebagai pejuang.
“Kalau kau di-BKO ke Aceh. Aku yakin hanya bertahan satu Minggu. Sama seperti wortel, kalau tidak busuk ya dimakan kelinci,” ujar Syuhada.
Dedi tahu bahwa pernyataan Mukhlis hanya candaan belaka. Namun dari sejumlah orang Aceh yang ditemuinya sejak bergabung di Brawijaya, membuat pernyataan tadi, ada benarnya.
Kini ia kembali mengenal sosok almarhum Mayor Sulaiman yang minta ditugaskan ke Aceh walau harus kembali tanpa nyawa.
“Seandainya hati orang Aceh tak terluka, mungkin militer di negara ini akan sangat kuat. Entah apa yang dipikir penguasa di negara ini yang selalu membuat kesalahan yang terus berulang-ulang,” gumam Dedi.
Ia penasaran dengan Aceh. Ia ingin di-BKO-kan ke Aceh. Minimal ia bisa makan timphan serta mandi setahun dengan air yang mengalir di Aceh. Agar ia bisa memiliki ‘gen’ Aceh seperti kata Syuhada.
Namun di sisi lain, Dedi sendiri khawatir akan keselamatan jika pindah ke Aceh. Aceh sedang berkonflik. Meski tak muncul di koran, ratusan kantong mayat dibawa pulang selama ini. Ini belum dari sipil serta GPK itu sendiri.
[Bersambung]