Bagaimana jejak Kekhalifahan Ottoman di Aceh dan Asia Tenggara pada umumnya. Jawaban ini sedikit terungkap melalu tulisan ‘Bertajuk dari Anatolia ke Aceh: Ottoman, Turki dan Asia Tenggara.
Tulisan tersebut merupakan karya Annabel Teh Gallop, seorang kurator yang membidangi kajian Asia Tenggara di British Library. Dia juga menjadi Co-Director mengenai kajian Islam, perdagangan dan politik di wilayah sepanjang Samudra India. Tulisan ini ada di blogs.bl.uk/asian-and-african.
Dalam kajian yang merupakan proyek proyek penelitian yang didanai British Academy bersama BIAA (Institut Arkeologi Inggris di Ankara) dikaji banyak hal. Ini berangkat untuk menyelidiki semua aspek hubungan antara kekuatan Timur Tengah terbesar – yakni kerajaan Ottoman – dan tanah Muslim di kepulauan Melayu di Asia Tenggara selama lima abad terakhir.
Proyek ini memuncak dalam konferensi yang diadakan di Banda Aceh pada tahun 2012, serta pameran fotografi keliling yang diproduksi oleh British Library yang melakukan tur ke Inggris, dengan versi Turki yang melakukan perjalanan ke Istanbul dan Ankara. Sementara hasil kajian versi bahasa Indonesia ditampilkan di berbagai tempat di Aceh dan di Jakarta di Bayt al-Qur’an & Museum Istiqlal.
Sekarang satu dari dua buku yang muncul dari proyek ini baru saja diterbitkan – Dari Anatolia ke Aceh: Ottoman, Turki dan Asia Tenggara. Buku ini diedit oleh Andrew Peacock dan Annabel Teh Gallop – sebagai volume ke-200 dalam seri ‘Prosiding of the British’ Akademi, diterbitkan oleh Oxford University Press.
Dalam kajian itu terlacak bila kontak politik langsung pertama antara wilayah semenanjung Anatolia dan dunia Melayu terjadi pada abad ke-16. Dan catatan Ottoman mengkonfirmasi bahwa para penembak dan pembuat senjata dikirim ke Aceh di Sumatra untuk membantu memerangi dominasi Portugis atas perdagangan lada di Samudera Hindia.
Nah, pada tahun-tahun berikutnya saluran utama untuk kontak antara Melayu dan Ottoman adalah dalam ziarah tahunan haji. Kala itu banyak peziarah Melayu dari Asia Tenggara menghabiskan waktu yang lama belajar di kota-kota suci Makkah dan Madinah, yang berada di bawah kendali Ottoman dari 1517 hingga awal abad ke-20.
Selama era ekspansi kolonial Eropa pada abad ke-19, sekali lagi negara-negara Melayu pun diketahui selalu meminta bantuan kepada Istanbul untuk menghadapi para kolonial barat. Sekarang tampak bahwa tuntutan untuk intervensi dari Asia Tenggara ini bahkan mungkin telah memainkan peran penting dalam pengembangan kebijakan Ottoman (Utsmaniyah) tentang Pan-Islamisme. Di sana negara-negara Melayu menempatkan kaisar Utsmaniyah sebagai Khalifah dan pemimpin umat Islam di seluruh dunia dengan dasar mempromosikan solidaritas Muslim.
Ke-14 makalah dalam buku kajian ini merupakan upaya pertama untuk menyatukan penelitian tentang semua aspek hubungan antara dunia Ottoman dan Asia Tenggara. Sebagian besar berdasarkan pada dokumen yang baru ditemukan di arsip di Istanbul. Buku ini disajikan dalam tiga bagian, yang mencakup hubungan politik dan ekonomi, interaksi di era kolonial, dan pengaruh budaya dan intelektual, dengan pengantar oleh para editor dan survei historiografi oleh Anthony Reid, yang mulai menulis soal ini dalam artikel seminarnya pada tahun 1969: ’Abad ke-16 Turki pengaruh di Indonesia barat ‘(Jurnal Sejarah Asia Tenggara).
Kajian Reid ini dapat dilihat sebagai titik awal untuk penelitian modern tentang topik hubungan Ottoman dengan negara di wilayah Melayu, Asia Tenggara.
Salah satu jejak adanya hubungan tersebut tertuang dalam sebuah manuskrip indah yang menghiasi sampul depan buku (lihat gambar di atas: surat Mawlid shafa Al-anam). Ini menggambarkan dengan baik berbagai interaksi yang didokumentasikan di dalamnya,Manuskrip itu disalin di Makkah oleh seorang kaligrafer Melayu dari komunitas ‘Jawi’ (warga Asia Tenggara yang tinggal di Hijaz/tanah suci).
Manuskrip dihiasi dengan gaya tulisan kaligrafi Ottoman. Isinya merupakan salinan dari puisi ‘Mawlid sharaf al-anam, ‘Kelahiran yang termulia dari umat manusia’, kompilasi doa-doa bakti kepada Nabi secara anonim, dan teks bahasa Arab disertai dengan terjemahan interlinear kecil dalam bahasa Melayu.
Ahli tulis itu bernama Ibrahim al-Khulusi ibn Wudd al-Jawi al-Sambawi,. Ini menisbatkan atau menunjukkan asal usul su penulis tersebut berasal dari pulau Sumbawa yang berada di Indonesia timur.
****
Meskipun ‘kolofon’ (catatan penulis di akhir naskah) memberikan tanggal dalam angka yang bertinta tipis dari 1042 AH (1632/3 AD), ini kemungkinan tahunnya besar keliru. Selain itu banyak faktor yang menunjukkan bahwa naskah itu mungkin disalin pada pertengahan abad ke-19.
Secara kebetulan, naskah tersebut tersimpan di antara dokumen-dokumen di Arsip Perdana Menteri Ottoman (Başbakanlık Osmanlı Arşivi, BOA) di Istanbul yang berkaitan dengan Asia Tenggara. Arsip ini ditemukan dalam perjalanan proyek penelitian sebuah surat berbahasa Arab tahun 1849/50 kepada Hasib Pasha, Gubernur Ottoman dari Hijaz.
Dalam surat itu termaktub ucapan terima kasih kepada Perdana Meneri Ottoman karena telah memfasilitasi perjalanan haji, yang ditandatangani oleh sepuluh ulama Melayu dan Yaman yang kala itu tinggal di Makkah.
Dan di antara para penandatangan surat ini adalah seorang yang bernama ’ Ibrahim bin Wudd al-Jawi ‘, yang pada cap-capannya bertuliskan Ibrahim al- Khulusi ibn Wuddin. Namun bila membandingkan dengan nama ‘Ibrahim’ dalam naskah dan surat itu meninggalkan kesan sedikit keraguan bila surat tersebut ditulis oleh orang yang sama.
Bukti lebih lanjut yang menempatkan ‘Ibrahim’ ini sebagai salah satu master kaligrafer Melayu di Hijaz pada pertengahan abad ke-19 ditemukan dalam surat dalam bahasa Melayu dan Arab yang ditulis di Makah pada tahun 1866. Surat ini ditulis oleh Abdul Rahman bin Muhammad Saman dari Kelantan kepada Sultan Abdul Hamid dari Pontianak yang tinggal pantai barat Kalimantan. Surat ini tersimpan dalam ‘Islamic Arts Museum Malaysia’, 1998.
Dalam surat itu, Abdul Rahman menyatakan bahwa dia datang ke Makkah untuk mempelajari ‘gaya penulisan Istanbul’. Dalam surat itu Rahman tampak pula bila saat itu tengah mempertimbangkan untuk menjadi penerus gurunya, almarhum Syaikh Ibrahim al-Khulusi al-Sanbawi’.
Rahman dalam surat tersebut menulis begini: Gaya penulisan Istanbul’ patik ini … berasal dari orang besar di Makkah. Ini akan menjadi usaha (kerja) yang patik sedang meningkat … seperti al-marhum guru patik tuan Syaikh Ibrahim al -Khulusi al-Sanbawi yang masyhur itu… kepada para pihak tolong meminta semua Muslimin menyurat dengan gaya Istanbul seperti ini.
Bersama sumber-sumber ini kemudian juga menunjukkan bahwa Ibrahim al-Khulusi meninggal di Mekah, sekitar awal 1860-an.
Selanjutnya sang penulis surat juga menulis seperti ini: detail dari sepucuk surat yang ditulis oleh Abdul Rahman dari Kelantan di Makkah pada tahun 1866. Yang memberi nama memang ’almarhum guruku, Syekh Ibrahim al-Khulusi al-Sanbawi’ (guru patik al-marhum Tuan Syaikh Ibrahim al-Khulusi al-Sanbawi yang masyhur).
Ironisnya, manuskrip Ibrahim Al-Khulusi dalam surat ‘Mawlid-Melayu’ dari Ottoman-Malaysia baru terungkap pada tahun 2014. Jadi jelas jauh-jauh hari setelah selesainya proyek penelitian ini, Meski terlambat, namun penemuan seperti ini menimbulkan harapan bahwa, dari waktu ke waktu, semakin banyak bukti baru akan muncul tentang hubungan antara kekhalifahan yang Ottoman dan Asia Tenggara, melintasi Samudra Hindia dari Semenanjung Anatolia hingga Aceh.