MASJID Rahmat, kawasan Kembang Kuning, Surabaya, mendadak ramai Minggu pagi. Beberapa petinggi Brawijaya terlihat hadir di sana. Mereka datang sebagai bentuk penghormatan kepada keluarga almarhum Sulaiman. Anak perempuannya menikah. Apalagi calon pengantinnya juga dari kesatuan yang sama.
Sementara bagi Praka Dedi sendiri, ini adalah hari yang special. Ia akan menikahi perempuan yang baru dijumpainya selama tiga kali.
Dua kali di Masjid Rahmat dan sekali di Ngawi. Ia dan sang gadis juga tak pernah pacaran. Tapi ia yakin jika sang gadis adalah perempuan yang tepat baginya.
Ia tidak pernah berpikir untuk menikah cepat. Namun ketika jodoh itu datang, ia tidak juga menolaknya.
Hari ini ia akan dinikahi oleh wali sang gadis yang datang dari Jakarta. Mereka adalah warga asal Aceh yang sudah lama menetap di Jakarta.
Keluarga besar dari almarhum ayah Nurul ternyata adalah perantau asal Aceh. Buyut mereka harus meninggalkan Aceh usai meletusnya perang Cumbok. Itu adalah peristiwa berdarah serta catatan hitam dalam sejarah Aceh.
Nurul sendiri terlihat mempesona dengan balutan busana muslimah. Ia terlihat seperti putri bangsawan dari Timur Tengah.
Untuk pernikahan ini, Praka Dedi dan Nurul memang hanya menggunakan busana muslimah. Tak ada adat Jawa dan Aceh. Ini untuk menghindari sengketa terkait adat mana yang harus digunakan selama prosesi pernikahan berlangsung.
Bagi mereka, yang penting pernikahan ini sah secara agama.
“Saya terima nikahnya Nurul Islami dengan mas kawin seperangkat alat salat serta emas tiga puluh gram, dibayar tunai.”
Ucapan itu meluncur dengan cepat dari mulut Praka Dedi. Hanya sekali ucap.
“Sah, sah, sah,” ujar sejumlah orang di sekitarnya.
Praka Dedi menarik nafas panjang. Kekhawatirnya hilang. Ia menarik nafas dalam-dalam serta memandang ke arah istrinya itu. Wanita itu tersenyum mekar ke arahnya. Mulai detik ini, mereka sudah sah menjadi suami istri.
Sejumlah petinggi militer mendatanginya dan memberi salam. Demikian juga dengan para keluarganya dan keluarga sang istri.
Usai aktivitas di masjid sepi, Nurul mendekati Praka Dedi.
“Mas ada bawa sepeda motor?” bisiknya di telinga sang suami.
Praka Dedi mengangguk. “Ada. Mobil juga ada,” ujarnya kemudian.
Nurul tersenyum. “Pakai sepeda motor saja. Yuk pergi,” ujarnya sambil memegang erat tangan Praka Dedi. Ini merupakan kali pertama mereka berpegangan tangan. Jantung Praka Dedi berdetak kencang. Wajah Praka Dedi merona. Demikian juga dengan wajah sang istri.
“Keluarga bagaimana?” ujar Praka Dedi.
Nurul tersenyum. Ibunya yang mendampingi turut menimpali.
“Kami bisa pulang dengan jalan kaki. Rumah Wawaknya tak jauh dari sini,” ujar mertuanya itu.
“Kami juga ke rumah Wawaknya Nurul, kalau begitu. Kalian pergilah. Kalian sudah sah sebagai suami. Jadi nanti kalau sudah puas pacaran, balik ke rumah Wawaknya Nurul ya. Ada yang ayah mau sampaikan,” kata ayah Praka Dedi tiba-tiba.
Praka Dedi mengenggam erat tangan istrinya. Keduanya kemudian ke parkir masjid untuk mengambil sepeda motor di sana.
“Pegang erat ya. Aku khawatir gaun-mu diterbangi angin dan terjatuh,” ujarnya sambil menggoda istri.
Nurul mengangguk tanda setuju. “Tenang aja mas. Kali ini Nurul pegang yang kuat untuk selamanya,” ujar dia tersenyum.
Praka Dedi tersenyum. Hatinya berbunga-bunga. Sang surya saat itu seperti memeluk Kembang Kuning. Sinarnya lembut dan tak seterik biasanya.
“Tenang saja. Aku adalah pria yang beruntung bisa menikahimu. Mulai hari ini, kita akan selalu bersama hingga maut memisahkan,” ujar Praka Dedi.
[Bersambung]