Ada yang aneh dengan kebijakan politik di Aceh belakangan ini. Beberapa bulan lalu, seruan persatuan Aceh bergema dari ruang serbaguna Setda Aceh.
Pertemuan bupati walikota se Aceh dengan Forbes DPD DPR RI asal Aceh, sepakat untuk menguatkan persatuan Aceh di atas segalanya. Demikian juga hasil pertemuan antara pimpinan DPRK se-Aceh dan DPR Aceh dengan Forbes di ruang paripurna DPR Aceh.
Kedua pertemuan ini menguatkan satu hal. Bahwa ada banyak kewenangan Aceh yang saat ini masih digantung pemerintah pusat di Jakarta. Sedangkan Aceh saat ini kehilangan bargaining di mata pemerintah pusat.
Maka jalan satu-satunya adalah menguatkan persatuan Aceh di atas segala-galanya. Kepentingan Aceh berada di atas kepentingan partai politik.
Demikian kira-kira poin penting yang jadi perbincangan politik di warung-warung serta kedai kopi di pelosok Aceh.
“Nyan dewan dan eksekutif ka jaga teugeut. Kasadar bahwa selamanya meukloh sama-sama droe hanya merugikan Aceh.”
Demikian kira-kira bahasa serta argument yang muncul dari warga Aceh pasca adanya kedua pertemuan tadi. Ada harapan baru dari kedua lembaga tertinggi tersebut untuk bekerja demi Aceh tanpa adanya sekat partai politik.
Meusaboh demi Aceh yang jroh.
Namun harapan tersebut ternyata hanya pemanis saja. Hanya dua bulan berselang, eksekutif dan legislative Aceh kembali berseteru. Persoalan ‘tumpok’ alat kelengkapan dewan di DPR Aceh ternyata menjadi penyebabnya.
Anehnya, persoalan ini ternyata tak mampu diselesaikan secara internal Aceh. Dari kabar yang berhembus, para kepala SKPA bahkan dilarang menghadiri panggilan resmi dari legislative (DPR Aceh-red) selaku mitra kerja terkait APBA 2020 yang sarat masalah dan tak berpihak rakyat.
Dari pihak pimpinan eksekutif, berdasarkan informasi yang berkembang, menganggap AKD yang dimenangkan oleh Koalisi Aceh Bermartabat (KAB) jilid 2 masih illegal. Sementara DPR Aceh sendiri minim terobosan dan hanya berpangku tangan menunggu konflik selesai.
Kedua pihak kemudian menebarkan logika-logika hukum sesat demi membenarkan langkah politik yang ditempuh.
Yang paling aneh, eksekutif kemudian malah menyurati Mendagri di Jakarta untuk menjadi Ratu Adil atas persoalan internal Aceh. Sang ratu adil kemudian memanggil kedua belah pihak untuk menggelar pertemuan di Jakarta beberapa hari lalu. Jawaban Kemendagri justru memperpanjang kegaduhan politik di Aceh. Kemendagri tak bisa mengintervensi persoalan AKD di DPR Aceh.
Intinya, kegaduhan politik di Aceh kini justru jadi sorotan Jakarta. Ini tentu sebuah kemunduran politik local Aceh di mata pemerintahan pusat di Jakarta. Dimana, harusnya persatuan Aceh menjadi bargaining agar semua tuntutan kewenangan yang dijanjikan sesuai MoU Helsinki dapat direalisasi. Namun sekarang justru mempertontonkan konflik internal.
Politik Aceh kini mengalami kemunduran. Dulu Aceh dan Jakarta adalah pihak yang saling berhadapan. Juru adil atau penengahnya adalah lembaga internasional sehingga melahirkan MoU di Helsinki.
Kini, sesama Aceh justru berseteru akibat jatah ‘tumpok’ tak merata. Dan juru adilnya adalah Jakarta.
“Ureung Aceh meudawa, cok peunutoh bak Jawa.” Kalimat itu kini jadi obrolan di Warkop Aceh.