BAGI Ibnu, obat mujarab bagi Aceh saat ini adalah keikhlasan. Perang hanya melahirkan luka dan dendam tak berujung.
Ia tak menyalahkan orang-orang seperti sahabat ayahnya tersebut yang masih terluka. Karena pemerintah di tanah Jawa sendiri masih memainkan politik tarik ulur dengan Aceh.
Dari sejarah yang dipelajarinya, masa damai di Aceh itu hanya bertahan sekitar 20 tahun. Kemudian konflik kembali berulang.
Penyebabnya cuma satu. Pemerintah di tanah Jawa tak benar-benar tulus dalam merealisasi apa yang dijanjikan dengan pejuang Aceh. Dari masa Daud Beureueh hingga Hasan Tiro.
Padahal, penduduk negeri ini telah memberikan apapun untuk negara ini sejak lepas dari Belanda dan Jepang. Bahkan bisa dibilang, Aceh adalah ibu dari Indonesia. Dari daerah ini, Indonesia kemudian ada. Saat tanah Jawa bermesra-mesraan dengan para kompeni, pejuang Aceh justru mengangkat rencong.
Bahkan, demi Indonesia, perang saudara terbesar terjadi di Aceh. Perang cumbok antara kaum Teungku dan Teuku meletus di daerah Pidie. Akibat perang ini, banyak darah mengalir di Aceh. Keluarga Teuku tercerai berai dan kebanyakan angkat kaki dari Aceh demi keselamatan nyawa mereka.
Saat itu, kaum Teuku ingin mempertahankan kekuasaan Belanda di Aceh. Sementara para Teungku mendatangkan Jepang.
Kekuasaan Jepang sendiri saat itu sedang kritis. Mereka kemudian mempersiapkan kelahiran Indonesia.
Beberapa tahun pasca kemerdekaan Indonesia, kaum Teungku justru balik menentang. Dari sinilah akhirnya lahir pemberontakan DI/TII yang berakhir dengan Ikrar Lamteh, serta berlanjut dengan AM hingga GAM yang berakhir dengan MoU Helsinki. Kedua perjanjian ini sendiri menimbulkan pro kontra di kalangan para pejuang itu sendiri.
Menurut Ibnu, semua ini tak akan berakhir jika tidak ada keikhlasan dari pemegang mandat negeri ini.
“Ya tuhan, lindungi negeri ini. Jangan biarkan darah kembali mengalir di tanah aulia ini,” gumam Ibnu dalam hati.
“Jangan biarkan yatim piatu baru lahir di tanah suci ini. Cukup aku dan ribuan anak lainnya menderita karena konflik ini. Jangan biarkan dendam ini menjadi warisan kami di masa depan.”
Ibnu mengambil sepeda motornya dan bergerak ke Darussalam.
Ia memiliki tugas kuliah yang harus diselesaikannya. Ia tak ingin mendapat nilai buruk pada mata kuliah tersebut sehingga harus memperpanjang semester agar bisa lulus. Ia tak ingin beasiswanya terputus dan akhirnya memulai sesuatu dari nol kembali.
Sekitar 10 menit perjalanan, ia akhirnya tiba di kampus. Ia memarkirkan sepeda motornya di depan RKU tiga.
“Bang Ibnu,” seru seorang gadis dari kejauhan.
Ibnu kenal dengan pemilik suara itu. Ia yang selalu menantinya di kampus. Ada beragam alasan yang digunakan. Gadis itu terang-terangan menyatakan perasaan suka kepadanya sejak dua tahun lalu. Tapi Ibnu sendiri selalu menolak dengan kalimat yang halus. Anehnya, sang gadis tadi tak juga menjauhinya.
Belakangan ini, gadis itu justeru lebih sering menemuinya di kampus. Ia seperti memiliki banyak mata-mata.
“Bang Ibnu sombong sekali sekarang. Pesan kita tak dibalasnya. Telepon tak diangkat,” ujar sang gadis lagi.
Pernyataan sang gadis membuat Ibnu mengerut kening. Ibnu baru sadar bahwa ia mematikan telepon selama pertemuan dengan sahabat almarhum ayahnya tadi.
“Oh maaf, Riska. Handphone habis baterai dari tadi pagi,” ujarnya beralasan.
Sang gadis tersenyum. Ia sepertinya percaya dengan alasannya tersebut. Senyum gadis itu sangat menawan. Aroma mawar menebar di sekelilingnya. Gadis itu terlihat sangat cantik dengan gamis panjang yang dikenakannya. Ibnu tak habis pikir jika gadis secantik itu bisa jatuh hati kepada dirinya.
[Bersambung]