“Bang ke kantin yuk. Riska traktir. Ada hal yang mau Riska diskusikan,” ujar Riska.
Ibnu tahu jika apa yang disampaikan Riska tadi adalah alasan agar mereka bisa ngobrol. Namun ia nyaman bercerita dengan gadis itu. Bukan karena gadis itu cantik, tapi ia cukup santun dan menghargai lawan bicaranya.
Sementara jadwal kuliah masih akan berlangsung sekitar satu jam lagi. Masih terlalu lama untuk menunggu di ruang.
Ruang kuliah di depannya itu masih kosong. Hanya beberapa mahasiswa yang terihat duduk di sana. Itu pun mayoritas perempuan.
“Baiklah. Di kantin samping biro aja ya. Di sana lebih nyaman,” ujar Ibnu.
Riska mengangguk. Ia tak sengaja melambai ke arah ruang kuliahnya. Di dalam sana, teman seangkatannya membalas sambil tersenyum. Kini Ibnu paham mengapa Riska tahu betul jadwal kuliahnya. Maka keberadaan Riska yang selalu berpaspasan dengannya selama ini tentu bukan kebetulan belaka.
Ibnu mempercepat langkahnya ke kantin biro Unsyiah. Jaraknya dari RKU 3 yang menjadi ruang kuliah Ibnu hanya sekitar 20 meter.
Di kantin, Ibnu memesan tea hangat. Sementara Riska lebih memilih jus mangga.
Keduanya sempat terdiam beberapa menit. Ibnu ragu-ragu untuk bertanya soal lambaian tangan tadi. Ia khawatir jika nanti Riska salah paham.
“Ris, kamu kenal dengan Raina?” ujar Ibnu kemudian. Kalimat itu akhirnya keluar juga dengan sendirinya.
Riska terdiam. Mimik wajahnya terlihat serba salah. Ada sesuatu yang coba disembunyikan gadis itu.
“Tidak. Tadi Riska coba bertanya soal keberadaan bang Ibnu sama kawan seangkatan abang yang ada di ruangan itu. Kebetulan yang jawab mbak tadi. Makanya menyapa saat hendak pamit,” ujar Riska.
Beruntung ia dapat memberi jawaban yang tepat terkait pertanyaan tadi.
“Siapa sebenarnya gadis tadi bang? Kayaknya spesial saat menyebutkan nama tadi,” kata Riska lagi. Gadis itu ingin mengorek informasi tentang Raina dari Ibnu.
Kini giliran Ibnu berwajah serba salah saat ditanya soal Raina. Lelaki itu mencoba menutupi dengan menyedot minuman di depannya.
“Dia Raina. Cukup pintar dan baik. Kami hanya berteman,” ujar Ibnu.
“Terus?” tanya Riska lagi. Sang gadis yakin jika kata-kata Ibnu bersambung. Pria itu masih menyimpan sejumlah unek-unek soal Raina.
“Tidak ada lagi,” jawab Ibnu.
Jawaban ini membuat Riska sedikit kecewa. Namun sang gadis juga bersyukur jika Ibnu ternyata tak menyimpan perasaan lebih kepada tetangganya itu.
Raina cukup cantik. Tubuhnya yang mungil dan paras ayu bisa membuat lelaki manapun patah hati. Ia juga sangat baik.
“Yakin nie tak ada perasaan lebih pada gadis tadi? Diakan cukup cantik,” ujar Riska. Ia coba Ibnu untuk berkata jujur.
“Cantik itu relatif. Demikian juga soal kaya dan miskin. Itu tak ada hubungannya sama sekali. Dia memang pernah menyatakan perasaannya sama diriku. Itu sudah lama. Di awal-awal kuliah,” ujar Ibnu.
Entah kenapa, Ibnu tiba-tiba begitu terbuka dengan Riska. Sementara Riska sendiri, kini paham terkait beberapa pertanyaan Raina soal Ibnu beberapa tahun lalu. Ternyata Raina benar-benar pernah jatuh hati dengan lelaki di depannya itu. Raina pernah menyatakan perasaannya pada Ibnu, tapi kemungkinan ditolak serta menganggap pria di depannya seorang gay.
“Kenapa tidak pacaran?” ujar Riska kemudian. Ia terlihat ketus dengan kata-katanya sendiri.
“Aku tak mau pacaran. Pacaran itu dosa. Setidaknya itu yang aku pahami. Kalau pun nanti aku menyukai seorang gadis, aku juga tak akan mengikatnya dengan status pacar. Minimal hingga aku datang ke orangtuanya untuk meminang. Tapi itu nanti, saat aku mapan dan memiliki kerja,” ujar Ibnu.
Riska terdiam mendengar kata-kata Ibnu. Pria itu memiliki prinsip yang hampir sama seperti orangtuanya.
“Kenapa tak datang ke orangtua Raina untuk meminang?” tanya Riska lagi. Riska ingin mengorek informasi sedalam mungkin soal Raina dari Ibnu. Ia tak ingin bersaing dengan sahabatnya sendiri. Apalagi jika Ibnu ternyata juga menyukai Raina.
“Dengan keluarga Raina? Itu tak mungkin. Ada jurang pemisah yang jauh dan dalam,” ujar Ibnu kemudian.
“Kau tahu? Hingga hari ini, aku masih trauma dan ketakutan melihat baju tentara. Raina ayahnya seorang tentara,” kata Ibnu lagi setelah terdiam.
Riska terkejut mendengar pengakuan pria di depannya. Gelas jusnya tiba-tiba terbang dan terjatuh ke lantai.
“Tring.” Pecah berkeping-keping.
[Bersambung]