IBNU membantu Riska memungut pecahan gelas yang berada di dekat meja mereka. Si Abang kantin datang dan kemudian mengambil alih.
“Tidak apa-apa. Biar saya bersihkan. Kalian lanjut saja,” kata pelayan muda itu.
Sementara Riska sendiri terlihat masih shock dengan pengakuan Ibnu soal tentara. Jika lelaki di depannya itu menolak Raina karena memiliki ayah yang berstatus tentara, maka nasib yang sama akan dideritanya jika lelaki itu mengetahui bahwa ayahnya juga seorang tentara republik.
Riska terdiam. Sementara Ibnu juga tak banyak berkata-kata.
“Kenapa bang Ibnu benci dengan tentara?” ujar Riska kemudian. Kalimat itu terdengar datar. Tak lagi seantusias tadi.
Ibnu terdiam. Dia mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk diungkapkan.
“Aku mencoba berdamai dengan masalalu-ku sejak umur 10 tahun. Namun hingga kini semua ingatan di masa lalu masih membekas. Untuk itu, aku tak bisa pura-pura,” ujar Ibnu kemudian.
“Maksudnya?” kata Riska.
“Aku mungkin orang yang tidak beruntung lahir di Aceh saat konflik. Dendam dan ketimpangan social telah membuat orang-orang di daerah kelahiranku memberontak di masa lalu. Ayahku GAM, demikian juga dengan kedua abangku. Pamanku juga GAM,” kata Ibnu.
Ada rasa luka yang sangat dalam ketika lelaki itu bercerita soal masalalu-nya. Tatapannya kosong.
“Abangku yang paling tua tertembak di depan mata. Darahnya mengalir di baju. Abangku kedua diambil dari rumah. Jasadnya entah di mana. Sedangkan ayahku tertembak dalam pertempuran dengan TNI. Pamanku ditemukan dalam goni di sungai Arakundo,” ujar Ibnu lagi.
Riska terdiam mendengar penuturan Ibnu. Ia seperti mendengar cerita horor yang selama ini didapatinya dalam buku-buku.
“Bukankah konflik telah selesai? Aceh kini sudah damai,” ujar Riska kemudian.
Ibnu kembali terdiam. Apa yang dikatakan oleh Riska memang benar. Aceh kini berdamai. Para petinggi GAM kini malah menjadi pemimpin Aceh. Namun itu bukan berarti lukanya di masa lalu selesai.
“Ya. Tapi melupakan apa yang terjadi di masa lalu sangat sulit. Aku bertahun-tahun mencoba melupakan apa yang terjadi. Tapi trauma masalalu tetap masih sulit untuk dilupakan,” ujar Ibnu.
Keduanya kemudian terdiam. Riska seperti kehabisan kata-kata. Ia tidak menyangka jika takdir mempertemukan dirinya dengan lelaki yang memiliki trauma dengan tentara seperti ayah dan almarhum kakeknya.
Ketika ayahnya ditugaskan ke Aceh, beberapa tahun lalu, Riska selalu berdoa agar ayahnya selalu kembali dari medan tempur dengan selamat.
Ia menganggap GAM adalah pembunuh tentara dan orang-orang yang mengusir suku Jawa. Karena GAM pula kakeknya tewas dan ibu serta Si Mbok menanggung luka bertahun-tahun. Namun kini pandangan yang berbeda justru disampaikan oleh lelaki yang ditaksirnya secara diam-diam selama beberapa tahun terakhir.
10 tahun lebih damai Aceh, ternyata persoalan masalalu, belum juga selesai.
Riska bangga memiliki seorang ayah yang selama ini dianggap sebagai patriot bangsa. Tapi kini ia justru dihadapkan pada takdir yang aneh.
“Tapi bukankah tidak semua tentara seperti katamu Mas!” ujar Riska.
Ibnu lagi-lagi terdiam.
“Tidak pernah kau berpikir bahwa banyak juga anak tentara yang mengalami nasib serupa sepertimu di Aceh? Mereka juga korban dari sejarah kelam Aceh masa lalu,” katanya lagi dengan nada tajam.
“Jujur, aku tak pernah membenci tentara republik. Seperti katamu, mereka orang yang menerima perintah. Ada juga banyak anak tentara yang mengalami nasib seperti diriku,” ujar Ibnu.
“Aku hanya belum bisa menghapus ingatan kelam di masa lalu. Cacatan itu sangat kelam dan menghantui hidupku selama ini,” katanya lagi.
[Bersambung]