JAKARTA – Senator DPD RI asal Aceh, HM. Fadhil Rahmi, meminta Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo serta kementerian setempat, untuk bersuara terkait aksi kekerasan yang menimpa umat muslim di India.
Pasalnya, pasca kerusuhan yang terjadi di India, Indonesia dinilai tak menunjukan sikapnya terkait pelanggaran di sana.
“Saya meminta Indonesia mengambil peran dan bersuara untuk menghentikan kerusuhan di India,” ujar HM Fadhil Rahmi, Sabtu 29 Februari 2020.
“Selaku wakil dari mayoritas muslim di Aceh, saya juga mengecam aksi kekerasan yang menimpa saudara seagama kami di India. Ini pelanggaran HAM yang nyata-nyata sedang berlangsung di India, dunia dan lembaga HAM diam. Tidak ada satu aturan dan ayat suci dari agama manapun yang memperbolehkan pembantaian terjadi,” kata pria yang akrab disapa Syech Fadhil.
“Ini jelas-jelas prilaku teroris. Dan itu tak dibenarkan oleh satu pun agama di dunia,” kata senator asal Aceh ini lagi.
Konon lagi, kata Syech Fadhil, Indonesia sebenarnya merupakan negara dengan mayoritas muslim di dunia.
Suara Indonesia dinilai penting untuk mendorong terjadinya rekonsiliasi antara dua agama terbesar di India.
“Kita berharap peristiwa ini tak lagi terulang di masa depan. Tidak di India dan juga di negara manapun. Seperti kata saya tadi, perilaku teroris seperti ini tidak dibenarkan oleh agama manapun,” ujarnya lagi.
Sebagaimana yang perlu diketahui, korban tewas akibat bentrokan antara umat Hindu dan Islam di New Delhi, India terus bertambah hingga 38 orang. Lebih dari 200 orang mengalami luka-luka. Mayoritas korban adalah muslim.
Konflik dipicu dari polemic UU Kewarganegaraan yang menuai protes di sana. Bentrokan mulai pecah pada Minggu malam. Kedua belah pihak saling serang menggunakan batu dan benda lain, serta merusak bangunan dan kendaraan.
Insiden ini menjadi kerusuhan paling parah dalam beberapa dekade terakhir. Ribuan polisi anti huru-hara dan paramiliter berpatroli di sekeliling kota.
UU itu hanya berlaku bagi imigran pemeluk agama Hindu, Kristen, dan agama minoritas lainnya selain Islam.
Para kritikus menilai undang-undang ini dimanfaatkan oleh rezim Nahrendra Modi untuk mendorong India yang sekuler menjadi negara Hindu.