Nicah Awe, Maret 1997
JALAN Medan-Banda Aceh relative sepi dari biasanya. Perang besar baru saja reda di Julok. Sejumlah angkutan umum serta angkutan antar kota tertahan di Idi dan Lhoknibong. Beberapa yang nekat menerobos kini tinggal rangka.
Angkutan itu dibakar. Para wartawan menyebutnya dengan istilah oknum.
Kini jalanan sepi seperti kota mati. Hanya suara mobil reo yang meraung di jalan raya itu. Mereka hilir mudik seolah sedang mencari lawan guna membalas dendam atas tragedy di Julok, sekitar 3 jam lalu.
Kejadian itu diamati diam-diam oleh sekelompok pria di balik kebun sawit. Mereka berjumlah 12 orang. Mereka bersenjata. Enam memegang senjata AK buatan Rusia. Selebihnya bersenjata rakitan.
Seorang pria paruh baya bangkit dari tempatnya duduk. Tanpa aba-aba, ia langsung menampar satu persatu para anggotanya itu.
“Tap, tup.”
Tak hanya cukup menampar, ia juga berkali-kali menendang para anggotanya itu. Satu persatu anggotanya itu terjatuh ke tanah. Namun tak ada satu pun yang berani membalas. Mereka hanya tertunduk lesu. Mereka merasa pantas untuk dihukum.
“Ini semua gara-gara kalian,” ujarnya menghardik.
“Kalau kalian tidak keluar, Si Cah dan Si Lah tak akan kehilangan nyawa,” katanya lagi.
Si Cah dan Si Lah yang dimaksud adalah anggota kesatuan mereka. Keduanya baru saja menuai ajal akibat terlibat kontak senjata dengan tentara di Julok. Mayat keduanya masih di tangan tentara republic.
“Maafkan mereka teungku. Mereka terlibat kontak senjata karena ingin menghalau TNI dari lokasi pernikahan saya. Saya yang patut dihukum,” ujar Teungku Mustafa.
Teungku Mustafa berlutut. Ia minta dihukum agar orang yang dituakan dalam barisan mereka itu tak lagi marah dan menghukum rekan-rekan seperjuangannya itu.
Kalimat Teungku Mustafa membuat kemarahan pria paruh baya tadi mereda. Teungku Mustafa sudah dianggapnya seperti anak sendiri. Mustafa sendiri pernah belajar di salah satu dayah di Idi. Ayahnya jadi korban konflik. Dia akhirnya bergabung dengan GAM dan bergerilya bersama pria paruh baya itu.
Pria paruh baya tadi terdiam. Dia kemudian balik memukul pohon sawit berulangkali hingga tangannya berdarah.
Tak ada yang berani mendekat ketika sosok itu marah.
“Baiklah, kuampuni kalian hari ini. Tapi sekali lagi kalian melanggar perintah komando, kalian harus pulang dan jangan coba-coba untuk kembali dalam barisan,” ujar pria paruh baya tadi usai kekesalannya sedikit melunak.
Semua anggotanya terdiam. Demikian juga dengan Mustafa.
“Berapa orang yang meninggal dari pihak tentara republic?” tanya pria paruh baya itu.
“Tidak tahu teungku. Kami menyiram dari arah dekat. Beberapa terjatuh dan kemudian lari ke sini. Belakangan baru tahu jika Si Cah dan Si Lah tak kembali,” ujar pria muda lainnya dalam barisan.
Dia terkena tendangan dua kali di dada. Dia adalah Azhar. Di barisan mereka sering disapa Lemha.
“Kalau dilihat dari kemarahan mereka, dan kebakaran kedai di Julok serta mobil, bisa jadi….,” katanya lagi terputus. Azhar mengelus dadanya yang kesakitan.
Pria paruh baya tadi terdiam. Wajahnya kemudian menengadah ke langit.
“Sudah waktu Ashar. Yang piket jaga, kembali ke posisi. Yang lain berwudhu dan salat. Nanti gantian. Semua harus salat. Kemudian kita yasinan, tahlilan dan berdoa untuk Si Cah dan Si Lah. Semoga Allah mengampuni semua dosa-dosanya semasa hidup,” ujar pria paruh baya tadi lagi.
Semua mengangguk. Mustafa mengikuti pria itu dari belakang. Mereka menuju balai yang tak jauh dari lokasi.
Pria paruh baya itu kemudian menjadi imam. Suaranya merdu. Usai salat, jamaah melanjutkan dengan yasinan dan tahlilan.
Saat semua usai, pria paruh baya tadi melanjutkan dengan zikir sendiri. Sementara yang lain bubar dan kembali ke pos masing-masing. Demikian juga dengan Mustafa. Dia tahu jika pimpinannya itu sedang marah besar. Mengajak sosok itu berbicara dalam kondisi seperti sekarang, justru akan kembali membangkitkan kemarahannya.
Mustafa merasa bersalah. Dia tak pernah menyangka jika pernikahannya justru menjadi pembuka perang bagi tentara nanggroe dan republik.
Pernikahannya berlangsung sukses meski sederhana. Tapi pernikahan tersebut juga menimbul duka. Rekan seperjuangannya, Si Cah dan Si lah, tewas akibat menghalau TNI agar tak mendekati masjid tempatnya nikah.
Beberapa kedai milik masyarakat dibakar. Ada juga dua angkutan umum yang mengalami nasib yang sama.
Si Cah pemuda lajang. Menuai ajal dalam peperangan adalah pilihannya. Mustafa tak begitu risau dengan kematian pemuda itu. Sementara Si Lah adalah ayah dari tiga anak yang masih kecil-kecil. Keluarganya tinggal di pedalaman Simpang Ulim. Hal inilah yang membuatnya bersedih hati. Apalagi sosok itu termasuk dekat dengannya dan pimpinan kelompok mereka yang sedang marah tadi.
[Bersambung]