USAI salat, Mustafa mencoba mendekati pria tua yang sedang berzikir di posisi imam. Mustafa ingin memastikan jika sosok itu tak lagi marah kepadanya. Selain itu, ia juga memperoleh informasi dari penghubung bahwa anak tertua dari pimpinannya itu sedang berada di kawasan Nicah Awe.
Anak tertua dari pimpinannya itu hampir seumurannya dengannya. Dia juga Tentara Nanggroe tapi berada dalam kelompok gerilya yang terpisah.
“Teungku,” sapanya pelan. Namun pria tua di depannya tak merespon.
“Teungku Fiah,” katanya lagi. Kali ini pria itu menoleh ke arahnya.
“Maaf menganggu zikir, teungku. Penghubung tadi menyampaikan jika anakmu, Rahman, ada di Nicah Awe,” kata Mustafa lagi dengan hati-hati.
Pria tua itu tertegur. Namun dia kemudian justru menutup mata. Ia melanjutkan zikirnya. Mustafa sendiri merasa serba salah. Dia hendak turun dari balai agar tak kembali jadi sasaran kemarahan pimpinannya itu. Namun baru hendak bergerak, pimpinannya itu justru menahannya.
“Kamu duduk saja di situ. Usai zikir, nanti baru kita bicara,” ujar sang pimpinan.
Mustafa mengangguk. Dia kemudian mengikuti pimpinannya itu dengan diam-diam berzikir dalam hati.
Angin malam berhembus kencang di sekeliling mereka. Apalagi balai yang mereka tempati semi terbuka. Hanya ada kebun sawit di sekeliling yang sedikit menahan laju angin. Selebihnya adalah persawahan yang luas hingga ke pergunungan.
Sekitar 45 menit kemudian, pimpinannya itu mendekatinya. Namun ia justru tak menanyakan perihal informasi penghubung yang disampaikannya tadi.
“Kau tahu dimana rumah Si Lah?” tanyanya.
Mustafa mengangguk. Memang, ia pernah beberapa kali berkunjung ke rumah teman seperjuangannya yang baru saja syahid itu.
“Kalau begitu, minta ke penghubung untuk mengantar beras dan sedikit sembako ke rumahnya. Mulai hari ini, keluarganya tanggungjawab kita,” kata pria tua itu.
Mustafa mengangguk. Satu hal yang membuat ia salut dengan pimpinannya itu adalah rasa sosialnya yang tinggi. Ia menjaga pasukannya seperti anaknya sendiri. Dari sosok itu juga ia belajar soal sejarah Aceh.
Mustafa bergabung dengan tentara Aceh Merdeka dengan maksud balas dendam atas kematian ayahnya. Namun pandangannya itu kemudian diubah oleh sosok di depannya itu sedikit demi sedikit.
“Kita hanya menuntut Aceh bebas dari Indonesia. Kelak ketika semua tercapai, mereka tetap saudara kita. Menyimpan dendam, hanya akan mengotori tujuan suci dari perjuangan ini,” ujar sosok di depannya ketika awal-awal Mustafa bergabung.
Kalimat itu melekat dalam hati Mustafa hingga kini. Pimpinannya itu sudah seperti ayah dan teungku baginya. Sosok itu sangat dihormatinya selama ini. Ia menyesal telah membuat sosok tersebut marah besar tadi siang.
Ia tak mendengar peunutoh dari pimpinannya itu agar tak menikah tadi pagi.
Ia kalap ketika mendengar gadis pujaan hatinya hendak dilamar orang. Sang gadis bilang, jika mereka tak segera menikah, ayahnya akan menikahkannya dengan seorang lelaki dari Banda Aceh.
Tanpa pertimbangan, Mustafa dan beberapa anggota gerilya mendatangi rumah sang gadis di Julok, kemarin malam. Padahal Teungku Fiah sudah mewanti-wanti mereka agar mereka tak turun gunung selama sepekan ini. Kondisi ini mengingat patroli tentara republic yang kian gencar selama sepekan terakhir.
Namun demi sang gadis, ia melanggar peunutoh tadi. Ia melamar sang gadis dengan satu Alquran dan emas satu mayam. Mereka langsung menikah tadi pagi.
Siapa sangka, patroli tentara republik justru masuk ke desa sang gadis. Mustafa sempat panik. Rekan-rekan seperjuangannya berinisiatif menembak dengan tujuan menghalau patroli dari masjid yang menjadi lokasi acara.
Usai nikah, Mustafa langsung kembali ke kamp. Ia baru sadar bahwa Si Cah dan Bang Lah menuai ajal dalam pertempuran tersebut.
Ia pantas dihukum atas kesalahan besar ini.
“Bagaimana keadaan istrimu?” ujar pimpinannya itu tiba-tiba. Perkataan tersebut membuat lamunannya buyar.
“Menurut kabar, dia dan keluarga pindah ke rumah saudara di desa sebelah teungku. Rumah mereka turut dibakar,” ujar Mustafa.
“Saya salah karena melanggar peunutoh teungku. Saya pantas dihukum,” katanya lagi. Tapi sang pimpinan justru memeluknya erat.
[Bersambung]