Simpang Ulim, 1997
BELASAN pria berpakaian loreng terlihat hilir mudik. Mereka mengetuk sejumlah rumah dan memeriksa satu persatu.
Gerak mereka cepat dan sejumlah barang terlempar keluar. Mereka masuk sekitar 5 menit per rumah. Namun kemudian keluar tanpa hasil.
Hasil yang sama juga dituai untuk 4 rumah selanjutnya. Sejumlah pria berpakaian loreng itu terlihat kesal. Namun yang dihadapi adalah ibu-ibu. Tak ada satu orang pria pun di rumah yang dapat dijadikan tempat pelampiasan.
Tak ada juga lelaki dan wanita muda. Selama konflik, mereka mungkin telah diungsikan ke kota.
Tinggal ibu-ibu dan anak-anak yang masih kecil di rumah. Mereka lah yang menghadapi tentara ketika murka atau mencari orang-orang yang dianggap bersalah pada negara.
“Kalau Ibu lihat mereka, segera kasih tahu.” Ucapan itu terdengar dari kejauhan.
“Saya tak akan menjamin keselamatan ibu kalau ternyata menyembuyikan pemberontak di sini.”
“Get pak, get pak.”
Suara itu kembali terdengar.
Diam-diam, seorang wanita paruh baya menitihkan air mata di antara tumpukan padi dalam rumah kecil semi permanen. Namun tanpa suara. Di antara sekian banyak bangunan. Hanya tempat itu yang lolos pemeriksaan.
Ia mengamati keluar melalui lubang kecil di antara celah kayu.
Seorang bocah dan remaja menyelinap di sana. Wanita itu terus berzikir berulang kali dalam hati. Ia berharap adanya perlindungan dari tuhan yang maha kuasa agar tak ditemukan oleh sejumlah pria berpakaian loreng. Karena merekalah yang dicari.
“Buk,takut,” ujar bocah tadi tiba-tiba.
Pria remaja di sampingnya membekap mulut sang bocah. Ia memberi isyarat kepada sang bocah untuk tak bersuara.
Isyarat yang sama juga diperlihatkan oleh wanita paruh tadi. Ia meletakan jari telunjuk di bibir. Sang bocah kemudian mengangguk.
“Dapat orangnya tidak? Berdasarkan informasi mereka memang di sini.”
“Cari terus hingga dapat.”
Suara itu kembali terdengar. Ternyata memang ada yang memberi informasi terkait keberadaan mereka di kawasan tersebut. Wanita paruh baya tadi jadi paham dengan apa yang sedang terjadi.
“Dan. Ada informasi dari ibu-ibu di rumah paling ujung kalau keluarga pemberontak itu sudah keluar kampung semalam.”
“Dia dan dua anaknya lari keluar kampung ini. Mungkin sudah bocor kalau hendak dikepung.”
Suara itu terdengar karena hanya berjarak sekitar lima meter. Wanita paruh baya itu bahkan dengan jelas melihat gerak pria berpakaian loreng dari balik celah kecil tadi. Jantungnya berdetak kencang.
“Kalau begitu bubar saja. Kembali ke markas.”
“Siap.”
Kalimat tersebut terdengar lebih keras dari sebelumnya. Kemudian terdengar suara sepatu yang menaiki mobil. Suara mobil hingga akhirnya sepi.
Wanita paruh baya tadi menarif nafas panjang. Ia kemudian memeluk kedua putranya tanpa berkata-kata. Beberapa menit tadi, ia seperti berada di antara hidup dan mati. Ia khawatir keselamatan anaknya.
[Bersambung]