SAAT malam hari tiba, Sakdiah dan dua anaknya minta izin pamit ke Nek Minah. Wanita tua itu tak bisa menghentikan niat Sakdiah untuk pergi.
Mereka bertiga bergerak dengan menggunakan dua RBT hingga ke kawasan Panton Labu. Tujuan mereka adalah rumah salah satu famili Teungku Fiah yang berada di kawasan Pasar Panton Labu.
Daerah ini dinilai lumayan aman dari perang yang sering meletus tiba-tiba seperti daerah lainnya di lintas timur Aceh.
Yang terpenting, pemilik rumah ini adalah tentara republic, tapi memiliki kedekatan dengan para tentara nanggroe.
Menurut Sakdiah, pemilik rumah ini, Teuku Ruslan, pasti akan memberi perlindungan kepada dirinya dan dua anaknya tersebut. Faktor family, harga dirinya sebagai orang Aceh serta kedekatannya secara pribadi dengan para tentara nanggroe, pasti akan membuat sosok itu menerima mereka untuk sementara waktu di sana.
Waktu yang ditempuh dari rumah Nek Minah di pedalaman Simpang Ulim ke Panton Labu sekitar 45 menit perjalanan.
Jelang Isya, rombongan Sakdiah tiba di rumah yang dituju. Seseorang mengintip mereka dari jendela saat itu.
Pria berumur 30-an dengan cepat mendekati Sakdiah. Ia membayar RBT tanpa disuruh serta langsung memeluk Si Kecil.
“Kak Sakdiah. Kemana saja kakak selama ini. Bang Fiah beberapa kali menelponku dan menanyakan kabar soal kakak,” ujar pria tadi. Ia adalah Ruslan.
“Kita masuk dulu kak. Budi bawa masuk barang-barang mamakmu!” perintah Ruslan ke Budi. Remaja itu mengangguk. Ia lumayan akrab dengan Ruslan yang merupakan kerabat dekat ayahnya itu.
Faktor baju loreng tak menghalanginya untuk dekat satu sama lainnya.
Usai Sakdiah dan dua anaknya masuk ke dalam, Ruslan memerintah seorang lelaki muda untuk duduk di halaman depan dekat pintu. Pintu rumah sendiri, dikunci dari dalam. Lelaki muda tadi bertugas untuk memantau sesuatu yang mencurigakan di luar serta memberi aba-aba jika keadaan tak terduga terjadi.
Di dalam rumah, istri Ruslan datang untuk memeluk Sakdiah dengan erat. Keduanya kemudian menitih air mata tanpa berkata-kata.
Demikian juga dengan Ameliah, anak Ruslan, yang seumuran dengan anak Sakdiah terkecil, Ibnu Hajar. Tapi Si Kecil terlihat masih risih dengan keluarga Ruslan.
Ruslan sendiri paham dengan sikap Ibnu. Ia mengabaikan sikap Ibnu yang dari dulu antipati terhadapnya karena factor baju loreng.
“Kak, aku sudah menjadi informasi terkait keberadaan Raman di semua penjara, tapi belum berhasil. Aku merasa bersalah atas kejadian yang menimpa Raman,” ujar Ruslan. Pria itu menitihkan air mata.
Sakdiah mencoba bersikap tenang. Namun air matanya tetap tumpah setiap kali mengenang peristiwa pengambilan paksa anak tertuanya itu di rumah. Kejadian itu berlangsung di depan matanya sendiri.
“Tidak apa-apa, Lan. Mungkin ini sudah takdirnya. Kakak hanya berharap, kalau ia di penjara, kita tahu alamatnya. Kalau dia sudah meninggal, kita tahu kuburannya. Nanti saat konflik ini selesai, kami dapat berziarah ke sana,” ujar Sakdiah.
Ruslan dan istri menitihkan air mata saat mendengarkan pengakuan Sakdiah.
Ruslan dan keluarga sendiri telah melakukan berbagai upaya untuk membantu perjuangan tentara nanggroe secara diam-diam selama ini. Posisi Ruslan yang berbaju loreng memudahkannya untuk mencari informasi penting soal orang-orang yang ditangkap selama ini.
Beberapa berhasil dibebaskannya dan kemudian pergi meninggalkan Aceh dengan tujuan Malaya dan Jakarta.
Beberapa kembali ke pasukan nanggroe dan bertempur hingga ajal tiba. Namun beberapa lagi gagal dibebaskan karena lebih dahulu dieksekusi dalam perjalanan.
[Bersambung]