SEPEKAN berada di rumah Ruslan membuat Sakdiah serba salah. Apalagi anaknya yang terkecil, Ibnu Hajar, selalu menjerit ketika melihat baju loreng milik Ruslan. Padahal, Ruslan sendiri memperlakukan mereka dengan sangat baik.
Tempat itu nyaman baginya dan budi, tapi tidak bagi Ibnu. Si Kecil bahkan sering bermimpi buruk ketika malam hari tiba.
Sakdiah akhirnya meminta izin pada Ruslan untuk pamit. Namun Ruslan sendiri menolak keinginan Sakdiah.
“Kakak bertahanlah beberapa hari lagi di sini hingga aku bisa menemukan rumah yang cocok untuk tinggal sementara,” kata Ruslan, Senin malam.
“Kakak tak perlu merasa bersalah atas sikap Si Kecil. Kami sudah terbiasa dengannya. Dia masih anak-anak, tak mengerti dengan kondisi yang sedang terjadi,” ujar Ruslan. Pria itu terlihat sangat dewasa dan peduli.
“Atau kakak bertahanlah hingga Bang Fiah datang menjemput. Atau hingga kita menemukan tempat tinggal yang cocok untuk kakak dan anak-anak,” katanya lagi.
Apa yang disampaikan Ruslan memang masuk akal. Namun Sakdiah sendiri tak tahan dengan sikap anaknya yang begitu membenci baju loreng Ruslan.
Si Kecil juga sering bertengkar dengan anak Ruslan yang seumuran dengannya. Anaknya itu sering memanggil Ruslan dengan sebutan ‘Pai.’ Padahal mereka tinggal dan makan di rumah Ruslan.
“Pokoknya aku tak mengizinkan kakak keluar sebelum aku menemukan tempat yang baru layak untuk kakak tempati,” ujar Ruslan.
“Si Kecil dan Si Budi juga harus sekolah, kak. Tak mungkin kakak terus lari. Kasihan pendidikan anak-anak.”
Sakdiah terdiam dengan penjelasan Ruslan. Sosok itu sangat baik. Bahkan untuk dirinya yang menjadi istri musuh negara sekalipun.
“Aku orang Aceh kak. Demi tuhan, aku tak akan mengkhianati kakak dan anak-anak. Kakak dan keluarga aman di sini. Aku akan menjaga kakak dengan nyawaku sendiri,” kata Ruslan lagi.
Hati Sakdiah akhirnya luluh dengan kebaikan hati Ruslan. Ruslan pun kemudian menjauhkan semua artibut militer di rumahnya.
Baju militernya dimasukan dalam mobil dinas dan mobil tersebut kemudian dititipkan di rumah tetangga yang berada di persimpangan.
Ia lebih memilih jalan kaki sejauh 500 meter saat pulang atau hendak pergi dinas. Demikian juga dengan foto-fotonya di dinding yang terpasang rapi selama ini. Foto tersebut dikarduskan dan disimpan dalam kamar.
Beruntung Ruslan memiliki istri yang pengertian. Sosok itu tak kesal dengan keinginan Ruslan untuk membuat anak Sakdiah nyaman berada di rumahnya.
Istrinya juga yang mendampingi Sakdiah melalui hari-hari dengan canda dan tawa.
Namun takdir buruk menimpa Ruslan di pertengahan Juni atau 3 bulan usai Sakdiah datang ke rumah itu.
Ruslan ditembak orang tak dikenal saat hendak berdinas. Ia tewas di lokasi.
Istri Ruslan menjerit histeris saat mengetahui suaminya itu tewas. Namun sosok itu masih berbaik sangka kepada Sakdiah dan keluarga.
Ia meminta orang untuk mengantar Sakdiah keluar dari rumah sebelum rumahnya ramai dikunjungi tentara republic yang hendak takziah.
Sakdiah sendiri mengerti dengan kondisi yang menimpa keluarga itu. Ia merasa bersalah kepada Ruslan dan keluarga.
Sakdiah tak tahu siapa yang menjadi musuh dalam konflik Aceh. Suaminya yang bergerilya melawan republic atau justru sebaliknya. Konflik telah membuat kedua belah pihak terluka. Masyarakat, GAM dan tentara republic.
[Bersambung]