Pedalaman Bener Meriah Awai 1998
TEUNGKU FIAH mengamuk. Ini baru kali pertama orang tua itu terlihat begitu marah. Sejumlah ilalang di depannya dibabat habis.
Kemarahannya mencapai ubun-ubun. Seakan ada bom yang meledak dalam tubuhnya. Hatinya hancur berkeping-keping.
Ia benar-benar terluka tatkala mengetahui anaknya yang kedua tewas di ujung senjata tentara republic. Ia ingin cepat-cepat kembali ke Nicah Awe untuk melihat pemakaman terakhir untuk anak itu.
Namun perintah komandan, ia tidak boleh turun gunung. Minimal hingga keadaan sedikit aman dan tenang. Sejumlah pasukan gabungan siaga di lokasi. Tak hanya dari wilayah Peureulak, tapi juga Pase dan Gayo, kini bergabung di lokasi itu.
Rencananya akan ada rekrutmen pasukan baru.
“Kalau turun, teungku tak lagi diizinkan kembali ke pasukan.”
Begitu perintah yang datang dari para pimpinan di sana. Biarpun dirinya termasuk yang dituakan dalam perjuangan, tetapi perintah komandan harus ditaati. Namun kali ini ia seakan tak peduli dengan perintah tadi.
“Anakku pertama diculik, aku tidak pulang. Aku hormati keputusan komando. Kini anakku yang kedua juga tewas, aku harus pulang.”
“Tolong bilang sama pimpinan. Aku tetap pulang meski cuma sendiri,” ujar Teungku Fiah lagi kepada Mustafa. Ia meminta pemuda itu untuk naik bukit guna melapor ke pimpinan pasukan yang berada di sana.
Di atas bukit, ada satu gubuk yang digunakan sebagai markas dadakan pasukan nanggroe. Tiga pimpinan wilayah berkumpul di sana. Teungku Fiah sendiri, hanya pimpinan pasukan kecil, ia bertugas berjaga di dekat aliran sungai.
Mustafa mengangguk. Ia kemudian menuruti perintah Teungku Fiah untuk menemui pimpinan di atas bukit.
Hampir 30 menit kemudian, ia kembali menemui Teungku Fiah. Namun kali ini, ia turun bersama 6 anggota pasukan yang lain. Teungku Fiah tak mengenal para pasukan yang menyertai Mustafa itu.
“Maafkan aku teungku. Maafkan kami,” ujar Mustafa dengan wajah sedih. Teungku Fiah tahu dengan kondisi yang bakal terjadi. Ia hendak lari, namun baru beberapa meter, pasukan itu menyergapnya.
Beberapa pria berbadan besar mengikat kaki dan tangannya dengan tali.
Mustafa tertunduk lesu. Ia merasa berkhianat kepada orang yang membimbingnya dalam pasukan selama ini. Namun di sisi lain, ia juga tak bisa melawan keputusan komando yang meminta mereka untuk memikat Teungku Fiah agar tak turun gunung untuk pulang ke Nicah Awe.
Mereka tahu jika Teungku Fiah akan tetap turun gunung meski dilarang. Maka jalan satu-satunya adalah mengikat sosok itu dengan tali. Minimal hingga kemarahannya melunak serta kewarasannya kembali.
Kata pimpinan wilayah tadi, selama konflik Aceh, ada banyak kematian yang terjadi. Banyak anggota pasukan yang gugur selama perang. Mereka tak berharap Teungku Fiah menuai ajal sia-sia.
Sosok itu dituakan dalam perjuangan. Pimpinan tak ingin Teungku Fiah turun gunung serta menyetor nyawa kepada tentara republic.
“Semua berduka atas musibah yang menimpa Teungku Fiah. Tentara Republik juga tahu hal ini. Mereka juga pasti menunggu pria itu di Nicah Awe. Kalau pulang, pria itu akan dihabisi.”
Atas dasar itu, para pimpinan wilayah meminta Mustafa untuk mengambil alih pasukan untuk beberapa hari. Mereka memenjara Teungku Fiah untuk beberapa hari, minimal hingga sosok itu tenang kembali.
Hati Mustafa sendiri hancur kala menerima peunutoh ini. Teungku Fiah sudah seperti orangtuanya. Sosok itu ayah dan guru baginya selama bergerilya.
[Bersambung]