Sepertinya kita (Aceh-red) memang pungo. Gelar ini sebenarnya sudah lama dilabel oleh perwira perwira Belanda yang pernah bertempur di Aceh, ratusan tahun lalu. Namun banyak dari kita, terutama generasi muda Aceh yang hidup era 2000-an ke atas, tak terima dengan gelar tersebut.
Walaupun ada juga beberapa di antara kita yang justru bangga dengan istilah tadi. Alasannya, kita diakui oleh penjajah Belanda, dan tercatat dalam sejarah panjang milik mereka, meskipun dalam hal ‘pungo’ nya.
Dulu, orang Belanda menyebutnya dengan istilah Gekke Atjehsche, artinya kira-kira Orang Aceh Gila.
Istilah ini muncul karena Belanda tak bisa memprediksi sikap orang di Aceh. “Lembut, menyapa tapi begitu sedikit lengah, Belanda hilang kepala.”
Sejarah mencatat, banyak perwira Belanda yang kehilangan nyawa saat berada di pasar tradisional atau tertidur pulas. Hal ini pula yang mengakibatkan banyak tentara Belanda takut tidur selama bertugas di Aceh.
Mereka terpaksa mengembangkan tanaman kopi selama di Aceh. Kopi yang mengandung kafein bisa membuat tentara Belanda tetap terjaga di malam hari agar mereka tak kehilangan kepala tiba-tiba.
Meninggalkan jauh masa penjajahan, saat tsunami menerjang Aceh di akhir 2004 lalu, istilah Pungo juga sempat terdengar dari mulut para relawan yang datang untuk membantu daerah ini.
“Seminggu usai Tsunami. Orang Aceh terlihat kembali seperti biasa. Mereka kembali beraktivitas seperti biasa. Memadati warung kopi,” ujar seorang relawan dari Amerika saat itu kepada atjehwatch.com.
Menurutnya, kalau tidak salah namanya Stephen, beberapa daerah bencana yang pernah didatangi mereka, masyarakatnya mengalami trauma berat usai bencana. Butuh waktu lama untuk memulihkan psikologi korban untuk kembali seperti semula. Namun di Aceh, mereka justru menemukan hal yang berbeda.
Saat itu, saya beralasan kepada relawan tadi, bahwa orang Aceh adalah orang yang beriman, menyerahkan segala musibah atas kehendak yang mahakuasa. Keadaan ini menyebabkan jiwanya temtram dan mental tak terganggu.
Di awal 2020 ini, fenomena ‘pungo’ kembali terlihat di tengah tengah masyarakat Aceh. Virus Corona menjadi wabah yang menghantui seluruh negara di dunia. Korban berjatuhan seperti di China, Iran, Italia, termasuk Indonesia.
Sejumlah pejabat provinsi, termasuk Aceh, mengambil kebijakan untuk meliburkan sekolah guna memutuskan mata rantai siklus Corona. Warga diminta beraktivitas di rumah serta menghindari kerumunan massal.
Aktivitas kantor juga dilonggarkan. Tak ada absensi elektronik. Dari presiden hingga bupati meminta warga untuk beraktivitas di rumah. Namun apa yang terjadi di Aceh? Warung kopi tetap penuh. Para PNS justru memadati Warkop usai tugas perkantoran dilonggarkan demi antisipasi Corona.
Padahal, tujuan utama dilonggarkannya aktivitas tadi adalah untuk menghindari kerumunan massal. Bersentuhan tangan yang dapat mempercepat penyebaran virus melalui anggota tubuh.
Corona kini menjadi momok yang menakutkan. Korbannya terus bertambah tiap hari. Sejumlah fasilitas umum di Iran, Italia dan China kini sepi. Mereka taat setelah menderita dampak Corona.
Namun di Aceh, kelonggaran pemerintah, justru disambut sebagai bentuk liburan oleh para abdi negara. Kesempatan untuk mereka agar bebas ngopi di Warkop tanpa ditegur oleh Satpol PP. Tak hanya PNS, masyarakat biasa juga berprilaku sama. Tetap berprilaku sama dan santai di keramaian. Kita tak belajar dari negara yang menderita dampak Corona.
Inilah sikap pungo itu. Bermain dengan keadaan yang dikhawatirkan berdampak buruk bagi Aceh. Sikap yang mungkin akan disesali jika keadaan menjadi buruk dan korban mulai berjatuhan.
Semoga sikap ini bisa segera diatasi sebelum semuanya terlambat..