Jakarta – Layaknya bom waktu yang berdetak, Afrika yang awalnya memiliki kasus virus corona COVID-19 paling rendah, kini mengalami penyebaran cepat. Beberapa ilmuwan percaya virus yang berawal dari Wuhan, Provinsi Hubei, Cina itu beredar secara diam-diam di negara lain juga, termasuk Afrika.
“Kekhawatiran saya adalah bahwa kita memiliki bom waktu ini,” kata Bruce Bassett, ilmuwan data di Cape Town University yang telah melacak data COVID-19 sejak Januari, seperti dikutip ScienceMag, baru-baru ini.
Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa telah memutuskan virus yang mengakibatkan penyakit pernapasan itu sebagai bencana nasional pada Minggu, 15 Maret 2020. Deklarasi ini memungkinkan pemerintahnya untuk mengakses dana khusus dan membuat peraturan keras untuk memerangi wabah virus.
“Ini belum pernah sebelumnya dalam sejarah demokrasi kita, meskipun pernah dihadapkan pada situasi yang sedemikian parah,” kata Ramaphosa.
Sejauh ini, angka resmi tampaknya menunjukkan bahwa Afrika sub-Sahara, rumah bagi lebih dari 1 miliar orang, cukup beruntung. Peta interaktif kasus COVID-19 yang dilaporkan dan dioperasikan oleh Johns Hopkins University menunjukkan titik merah besar hampir di mana-mana, kecuali Afrika sub-Sahara.
Namun sekarang, jumlahnya meningkat dengan cepat. Afrika Selatan, yang memiliki kasus pertama 10 hari yang lalu, sekarang memiliki 61 kasus. Menurut Ramaphosa, virus sudah mulai menyebar di dalam negeri. Dan baru kemarin, Rwanda, Equatorial Guinea, dan Namibia semua melaporkan kasus pertama mereka, menjadikan jumlah negara yang terkena dampak menjadi 23.
Dan untuk sementara penanganan Afrika terhadap pandemi ini kurang mendapat perhatian global. Para ahli khawatir virus itu dapat merusak negara-negara dengan sistem kesehatan yang lemah dan populasi yang secara tidak proporsional dipengaruhi oleh HIV, tuberkulosis (TB) dan penyakit menular lainnya.
Meskipun Ramaphosa telah melakukan beberapa langkah seperti penutupan sekolah, pembatasan perjalanan, dan larangan untuk pertemuan besar. Namun, ‘jarak sosial’ atau social distancing akan sulit dilakukan di kota-kota dan daerah kumuh yang padat di benua itu.
“Kami benar-benar tidak tahu bagaimana COVID-19 akan berperilaku di Afrika,” kata dokter anak dan peneliti HIV Glenda Gray, Presiden Dewan Riset Medis Afrika Selatan. Bahkan, bulan lalu, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus, yang adalah orang Ethiopia, mengatakan “kekhawatiran terbesarnya” adalah COVID-19 menyebar di negara-negara dengan sistem kesehatan yang lemah.
Afrika Sub-Sahara mendeteksi kasus pertamanya pada tanggal 27 Februari, pada seorang pria Italia yang telah melakukan perjalanan ke Nigeria. Sebagian besar kasus lain sejak itu diimpor dari Eropa; lebih sedikit yang datang dari Amerika dan Asia. Tetapi sampai hari ini, tidak ada contoh penyebaran komunitas.