Hampir dua malam Teungku Fiah dalam kondisi terikat. Ia terus merontak-rontak untuk mengendurkan tali yang mengikat tangannya. Usahanya ternyata tak sia-sia. Di hari ketiga, tali yang melilit tangannya sedikit melonggar. Ia berhasil melepas ikatan di tangan dan kakinya.
Saat itu suasana masih pagi. Seluruh pasukan berkumpul di atas bukit untuk apel dan pembagian tugas. Inilah kesempatan untuk lari. Ia hanya menunggu penjagaan longgar dan kemudian kabur.
Saat suasana sepi. Ia mencoba keluar dari kamp yang dijadikan penjara oleh tentara nanggroe dan kemudian menelusuri hutan seorang diri.
Senjatanya sudah dilucuti saat ditangkap beberapa hari lalu. Kini ia hanya memiliki pisau ukuran kecil untuk bertahan hidup.
“Mudah-mudahan tak bertemu tentara republic di hutan. Kalau ular dan binatang justru bisa jadi makanan,” gumam Teungku Fiah.
Tujuan Teungku Fiah ke arah timur untuk mencapai perkampungan. Dari sana, ia mungkin bisa bertemu beberapa penghubung yang bisa mengantarnya ke jalan raya hingga akhirnya bisa mencapai Nicah Awe.
Kondisi istrinya, Sakdiah, dan anaknya yang terkecil, Ibnu Hajar, menjadi satu satunya focus pikirannya saat ini.
Ia yakin jika istrinya itu sedang shock berat saat ini. Istrinya sedang menghadapi hari-hari yang berat. Anaknya yang pertama, Raman, diambil di depan mata. Ini ingatan yang sulit dilupakan. Kini ditambah lagi dengan kejadian tragis, Budi, anaknya yang kedua, yang harus meregang nyawa.
Mengingat dua kejadian ini, membuat Teungku Fiah, sangat merasa bersalah kepada istrinya itu. Keluarganya pasti sangat menderita.
Teungku Fiah melewati hutan lebat dengan kewaspadaan yang tinggi. Beberapa kali, ia menemukan akar tumbuhan yang mengandung air. Akar itu dipotong dan airnya diminum untuk bertahan hidup.
Teungku Fiah mencari jejak hewan yang mungkin bisa dimakan. Dua hari bertahan di penjara kamp, ia memang mogok makan. Kini perutnya terasa lapar.
Namun hampir 4 jam menelusuri hutan, tak satupun jejak binatang yang dijumpainya.
“Binatang saja hijrah selama Aceh berkonflik. Apalagi manusia,” gumam Teungku Fiah lagi.
Tak lama kemudian, Teungku Fiah menemukan aliran sungai. Ia menduga jika sungai tadi merupakan sungai pembatas antara Panton Labu dengan Aceh Timur. Daerah itu sangat dikenalnya karena memang kawasan tersebut merupakan rute gerilyanya selama ini.
“Arah sudah benar. Aku hanya perlu mencari perkampungan untuk minta tolong pada mereka disana,” gumamnya dalam hati lagi.
Teungku Fiah benar-benar tiba di perkampungan jelang Dhuhur. Namun ia tak langsung mengetuk rumah warga. Ia justru memilih tidur dalam semak belukar. Ia menunggu matahari tenggelam. Ia terbiasa bergerak malam hari.
Ia kini tak lagi memiliki senjata api. Maka bergerak di malam hari akan membuatnya lebih nyaman.
Kemudian saat magrib tiba dan suasana dirasa aman, ia mencoba mengetuk salah satu rumah warga di sana.
Rumah itu semi panggung. Beberapa lampu terlihat menyala yang menandakan ada penghuninya.
“Assalamualaikum.”
Namun tak ada jawaban.
“Assalamualaikum teungku yang poe rumoh. Neutulong siat lon di luar,” ujar Teungku Fiah lagi. Kali ini lebih keras. Ia sengaja berbahasa Aceh untuk menegaskan kepada yang punya rumah bahwa ia adalah tentara nanggroe.
Perkiraan Teungku Fiah benar adanya. Seorang pria muda membuka pintu.
“Walaikumsalam teungku. Meah kamoe pike soe munoe,” ujar pria tadi. Seorang wanita tua menyusulnya dari arah belakang. Mungkin seumuran dengan dirinya.
Teungku Fiah tersenyum. Ia masuk dan kemudian merebahkan diri di kursi yang berada di dekat pintu.
“Nak. Saya minta tolong untuk diambil air wudhu. Saya belum salat,” katanya. Anak muda tadi tersenyum. Ia bergegas ke luar untuk menimpa air di sumur. Namun beberapa menit kemudian terdengar suara langkah kaki yang berat. Beberapa suara teriakan terdengar dari kejauhan.
“Tentara republic,” gumam Teungku Fiah. Jantung Teungku Fiah berdetak cepat. Ia khawatir jika keberadaanya kini diketahui oleh tentara tadi.
[Bersambung]