SAAT gelap menyelimuti Nicah Awe, beberapa pria bersenjata memasuki rumah Teungku Baka. Mereka adalah anggota pasukan nanggroe bekas didikannya yang kini dikomandoi oleh Mustafa.
Teungku Fiah sendiri tak gentar. Ia membiarkan Mustafa masuk untuk menemuinya. Sementara Teungku Baka dan anak-anaknya menjauh ke dapur. Sementara Sakdiah dan Ibnu mengurung diri di dalam kamar.
Teungku Fiah keluar menemui Mustafa usai salat magrib. Ia siap jika harus dieksekusi karena melanggar peunutoh pimpinan. Namun Mustafa justru memeluknya erat-erat.
“Aku mengira teungku telah tiada. Maafkan aku karena membiarkan teungku sendiri,” ujar Mustafa.
“Kami diperintahkan oleh pimpinan untuk mencari teungku. Bukan untuk menangkap dan kembali memenjarakan teungku, tapi memastikan keselamatan teungku dan keluarga,” kata Mustafa lagi.
Teungku Fiah menarik nafas lega.
“Alhamdulillah. Terimakasih Mustafa,” ujarnya kemudian.
“Saya sudah menghubungi Siwan, teungku. Sebentar lagi ia datang untuk menjemput Teungku dan keluarga. Ada tempat di pedalaman Matangkuli, Bireuen. Sebuah pesantren. Saya jamin, teungku dan keluarga aman,” kata Mustafa lagi.
Teungku Fiah terdiam dengan penuturan Mustafa. Pria itu sudah lebih dewasa dari apa yang dibayangkan.
“Saya akan menemani teungku hingga sepekan kedepan. Sementara pasukan akan dipimpin oleh Lemha. Usai seminggu, kita harus kembali ke atas secepatnya. Akan ada pelatihan untuk rekrutmen baru,” ujar Mustafa lagi.
Lemha yang berada di belakang Mustafa tersenyum.
“Istri Mustafa juga akan ikut ke pesantren tadi teungku. Nanti pasukan wilayah Batee Liek yang akan jaga-jaga di sana,” ujar Lemha.
“Siwan sedang menjemput istri Mustafa. Setelah dari Julok, ia akan langsung ke sini,” kata Lemha lagi.
Wajah Mustafa memerah saat mendengarkan penjelasan Lemha. Ia menutupi hal tadi karena malu dengan Teungku Fiah yang telah dianggap seperti orangtuanya sendiri.
Tak berapa lama, suara mobil terdengar dari arah luar. Seorang pasukan menyambangi pintu dan memberi kode bahwa ‘jemputan’ telah tiba. Teungku Fiah membuka pintu kamar dan memberi isyarat kepada Sakdiah untuk siap-siap pergi. Ia kemudian pergi ke dapur untuk menemui Teungku Baka untuk pamit.
“Teungku, saya minta izin pamit. Terimakasih atas kebaikan selama ini. Semoga Allah Swt melimpahkan rahmad dan karunianya kepada teungku dan keluarga,” ujar Teungku Fiah.
Ia kemudian memeluk Imuem Meunasah Nicah Awe itu. Wajah Teungku Baka sendiri terlihat berkaca-kaca saat melepas kepergiaan teman semasa kecilnya itu.
“Pergilah. Cari tempat yang aman untuk Sakdiah dan Ibnu. Aku hanya bisa berdoa untuk keselamatan kalian semua,” kata Teungku Baka.
Teungku Fiah dan keluarga keluar rumah. Mustafa dan Lemha menyusul dari belakang.
Di luar, Siwan melambai dari dalam mobil L300. Mobil ini berbeda dengan mobil yang digunakan Siwan untuk mengantarnya siang tadi. Ada seorang gadis cantik yang duduk di belakangnya. Ia adalah istri Mustafa.
Istri Mustafa, Sakdiah dan Ibnu duduk di bangku belakang. Sementara Mustafa dan Teungku Fiah di urutan kedua.
“Saya menitip mereka semua padamu, Wan. Hati-hati di perjalanan,” kata Lemha. Siwan mengangguk. Demikian juga dengan Teungku Fiah dan Mustafa.
[Bersambung]