Oleh: H. Roni Haldi, Lc.*
Di suatu hari, datang perempuan dengan busana kurang elok. Dia datang bertamu kepada seorang Ulama Besar dengan kostum siap main tenis dan lengkap dengan raketnya.
“Pak Hamka, saya ingin belajar agama,” akui si perempuan.
“Tapi,” lanjut dia, “Saya ini selalu main tenis.”
Merujuk kepada pernyataannya, si tamu tampaknya merasa bahwa antara belajar agama dan main tenis adalah dua hal yang bukan saja berbeda tapi juga berseberangan. Mungkin dia berfikir, main tenis yang nyaris identik dengan berpakaian sangat terbuka itu tak akan sejalan dengan spirit kegiatan belajar agama yang “suci”.
“Main tenis saja dulu, Bu,” respon Hamka.
“Nanti kalau ngaji –belajar agama- silakan datang ke sini,” lanjut Hamka dengan lembut.
Di fragmen di atas, tak ada ceramah Hamka tentang kewajiban “berbusana Muslimah” seperti yang telah diatur oleh Islam. Di pertemuan itu, tiada khutbah Hamka terkait larangan membuka aurat bagi laki-laki dan perempuan Muslim. Boleh jadi, dalam kalkulasi Hamka saat itu, si tamu belum tentu siap jika dikhutbahi secara lengkap perihal aturan dalam berbusana menurut Allah dan Rasul-Nya.
Lalu, bagaimana perkembangan performa “Tamu perempuan berbaju tenis” itu? Berubah-lah dia! Dia lalu dekat dengan anak-anak Hamka dan mereka menyapanya dengan sebutan “Tante Rafi’ah”. Dia rajin mengikuti ceramah Hamka. Dia selalu berjilbab. Bahkan, sampai meninggal, dia istiqomah menegakkan tahajjud.
“Kalau kita datang ke Masjid Al-Azhar untuk shalat subuh berjamaah, kita akan mendapatinya tengah menyelesaikan tahajjud,” demikian Afif –putra Hamka- mengenang sosok perempuan “Berbusana tenis” yang telah hijrah itu dalam “Ayah, kisah Buya Hamka”
Berdakwah adalah salah satu bagian penting dari kehidupan seorang muslim. Sesungguhnya, amar ma’ruf nahi munkar dapat dilakukan baik dengan lisan, tangan, maupun hati dan selemah-lemahnya iman adalah melakukan dakwah dengan hati. Berdakwah disamping punya banyak ilmu pengetahuan juga mesti ada ilmu kebijaksanaan. Kebijaksanaan dalam berdakwah akan lahir dari hikmah diri seorang da’i. Berdakwah dengan hikmah itu penting. Bahkan bisa jadi lebih penting dari berbagai macam retorika ampuh yang terkenal lagi dipakai banyak orang.
Apa makna dari hikmah? Al-ishâbah fi al-aqwâl wa al-af‘âl, wa wadh‘u kulli syai’in fî maudhi‘ihî; yakni ketepatan dalam berkata-kata dan berbuat, dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya. Apa yang diucapkan dai adalah kebajikan dan kebenaran, yang ia sendiri mengamalkannya, disampaikan dengan bijak sesuai konteks dan peruntukannya. Begitu Dr. Sa‘id bin Ali bin Wahf al-Qahthani menguraikan pemaknaan “hikmah” dalam bukunya, al-Hikmah fi ad-Da‘wah ilâ Allâhi Ta‘âlâ.
Berarti berdakwah dengan hikmah itu ketepatan seorang da’i baik dalam berkata, berbuat dan bersikap dihadapkan objek dakwahnya. Hikmah yang berarti ketepatan dan kesesuaian antara sikap bijak dengan situasi dan kondisi yang ada dihadapan seorang da’i memang memiliki pengaruh ampuh dan berarti terhadap objek seruan. Buktinya Rafi’ah; perempuan pemain tenis dengan pakaiannya serba minim yang mendatangi Buya Hamka minta diajarkan tentang Islam. Ketika dihadapi dengan bijak bukan hardikan apalagi bukan dua khutbah oleh Buya Hamka, ternyata merubah keadaan si Rafi’ah 360 derajat berbalik arah dari sebelumnya berpakaian ketat terbuka berubah berpakaian tertutup muslimah.
Menilai seseorang itu jangan hanya dari yang tampak terlihat saja. Mengukir sesuatu jangan hanya cukup dari yang ada terbentang terpampang. Karena bisa jadi yang tampak oleh mata belum tentu hakikatnya sama.
Cermati lah sebuah kisah dalam suatu hadits Rasulullah. Pada suatu ketika baginda Rasulullah shallallâhu alaihi wasallam pernah bercerita tentang dua orang bersaudara dari kalangan Bani Israil dengan sifat yang sangat kontras: yang satu sering berbuat dosa, sementara yang satu lagi sangat rajin beribadah. Rupanya si ahli ibadah yang selalu menyaksikan saudaranya itu melakukan dosa tak betah untuk tidak menegur. Teguran pertama pun terlontar. Seolah tak memberikan efek apa pun, perbuatan dosa tetap berlanjut dan sekali lagi tak luput dari pantauan si ahli ibadah.
“Berhentilah!” Sergahnya untuk kedua kali. Si pendosa lantas berucap, “Tinggalkan aku bersama Tuhanku. Apakah kau diutus untuk mengawasiku?”. Mungkin karena sangat kesal, lisan saudara yang rajin beribadah itu tiba-tiba mengeluarkan semacam kecaman yang berbunyi: “Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu. Allah tidak akan memasukkanmu ke surga.”
Kisah ini terekam sangat jelas dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam Ahmad. Di bagian akhir, hadits tersebut memaparkan, tatkala masing-masing meninggal dunia, keduanya pun dikumpulkan di hadapan Allah subhanahu wa ta ala. Kepada yang tekun beribadah, Allah mengatakan, “Apakah kau telah mengetahui tentang-Ku? Apakah kau sudah memiliki kemampuan atas apa yang ada dalam genggaman-Ku?”
Drama keduanya pun berlanjut dengan akhir yang mengejutkan. “Pergi dan masuklah ke surga dengan rahmat-Ku,” kata Allah kepada si pendosa. Sementara kepada ahli ibadah, Allah mengatakan, “Wahai malaikat giringlah ia menuju neraka.” Cerita tersebut mengungkapkan fakta yang menarik dan beberapa pelajaran bagi kita semua. Ahli ibadah yang sering kita asumsikan sebagai ahli surga ternyata kasus dalam hadits itu justru sebaliknya akhir kehidupannya. Sementara hamba lain yang terlihat sering melakukan dosa justru mendapat kenikmatan akhir berupa surga.
Berucap kasar menggambarkan sisi luar manusia dan berhati keras menunjuk sisi dalamnya. Keduanya, “berucap kasar” dan “berhati keras”, perlu disingkirkan secara bersamaan, karena boleh jadi ada yang berucap kasar tapi hatinya lembut, atau ucapannya manis tapi hatinya busuk. Yang berdakwah hendaknya menggabung perilaku yang sopan, kata-kata yang indah, sekaligus hati yang luhur, penuh kasih – walau terhadap sasaran yang durhaka dan kejam.
Ingatlah ketika Nabi Musa dan Harun alaihima salam menghadapi penguasa kejam Fir’aun, mereka berdua dipesan Allah : agar menyampaikan kandungan pesan dengan Qaulaa Layyina (Q.S. Thaha [20]: 44), yakni lemah lembut. Qaulan layyina bukan berarti tidak menyampaikan kebenaran atau menyembunyikannya, tetapi kebenaran yang disampaikan, bahkan kritik yang dilontarkan, hendaknya tidak menyinggung perasaan, apalagi menimbulkan amarah.
Sebuah ungkapan memberi pesan berharga :
يظل الإنسان في هذه الحياة مثل قلم الرصاص تبريه العثرات ليكتب بخط أجمل ويكون هكذا حتى يفنى القلم وﻻ يبقى له إلا جميل ما كتب
Manusia di dalam kehidupan ini laksana ujung pena yg diraut hingga berjatuhan agar pena bisa menulis catatan yg paling indah, hal ini terus berlangsung hingga pena itu habis tidak tersisa kecuali tulisan indah itu sendiri.
Kehidupan kita sudah pasti menemui akhir. Kesan yang baik berupa ajakan bijak kepada kebaikan bisa jadi adalah salah satu paling indah yang mungkin mampu kita tulis dalam lembaran hidup. Berdakwahlah dengan bijak agar ajakan kebaikan penuh berkah. Karena dakwah adalah wasilah pemberat timbangan amal di akhirat kelak.
Dakwah adalah ajakan kepada kebaikan dengan cara yang terbaik lagi bijak. Dakwah ilallah adalah usaha memberi ketukan agar memperoleh momentum hidayah. Hidayah seakar dengan kata hadiah, yakni sesuatu yang seyogianya baik lagi bermanfaat, yang dikemas dengan indah dan diserahkan dengan cara lemah lembut. Mengajak kepada kebaikan dengan cara yang bijak bukan mengejek. Menyeru kepada kebaikan dengan merangkul bukan memukul. Mengajar kepada kebaikan itu bukan menghajar. Membina kepada kebaikan itu bukan menghina merendahkan. Dakwah itu usaha untuk mencintai bukan membenci mencaci. Usaha dakwah itu mengetuk pintu hati bukan menusuk melukai hati.
Dakwah ilallah mesti dilakukan secara bijak mengajak agar kebaikan mudah di terima diindahkan.
*Penulis adalah Penghulu Muda KUA Kec. Susoh,Abdya dan juga Anggota IKAT Aceh.