Oleh : H. Roni Haldi, Lc*
Hasan Al-Banna berpidato dalam muktamar mahasiswa yang diselenggarakan di kantor Syubbanul Muslimin Kairo, tahun 1938. Salah satu anggota muktamar terlalu bersemangat hingga meneriakkan pekik, “Hidup Hasan Al-Banna!”
Meski pekikan itu tidak mendapat sambutan para hadirin, namun Ustadz Hasan Al-Banna diam sejenak, sehingga seluruh mata hadirin tertuju pada beliau. Kemudian beliau berseru dengan nada tinggi, “Wahai Ikhwan, tidak akan ada lagi orang yang meneriakkan pekikan untuk seseorang dalam dakwah kita. Dakwah kita adalah dakwah Islamiyah Rabbaniyah yang berlandaskan akidah tauhid. Dakwah tidak akan menyimpang dari akidah ini. Wahai Ikhwan, luapan semangat jangan membuat kalian lupa pada prinsip-prinsip yang kita yakini. Pekikan kita adalah, “Ar-Rasul Qudwatuna (Rasulullah teladan kita)!”.
Sebuah gambaran sebenarnya tentang tujuan dakwah dari seseorang yang sangat memahami tujuan dari dakwah ilallah. Tak mau namanya disebut dibesar-besarkan oleh pengikutnya, yang kemudian akan melahirkan kefanatikan buta terhadap figur kepemimpinannya. Tak ingin kelompok dakwahnya berbelok arah dakwahnya selain dari Allah Ta’ala. Tak sudi namanya dan simbol kelompok dakwahnya diagungkan pengikutnya sehingga merusak ikatan ukhuwwah wathaniyah dan ukhuwwah islamiyah.
Telah banyak kericuhan terjadi akibat figuritas ini. Bayangkan, seseorang menolak kebenaran hanya karena kebenaran itu bukan disampaikan oleh orang yang dia jadikan figur. Mereka menolak bahkan membenci mencurigai dengan sesama kelompok dakwah karena berbeda manhaj dan metode dakwahnya. Sebaliknya, dia pasti akan menerima apa pun yang disampaikan oleh orang yang menjadi figurnya atau doktrin yang dihasilkan dari kelompok dakwahnya, betapapun nyata-nyata salah menurut al Qur’an dan Sunnah yang mulia.
Figuritas buta dapat memunculkan tradisi taqlid yang juga buta. Sikap membebek menutup mata, sikap mengikuti membuntuti memendekkan akal. Karakter yang berkembang kemudian adalah kecintaan pada figur seorang tokoh, bukan pada Islam. Kecintaan kepada kelompok dakwahnya bukan kepada Islam. Berjuang karena figur dan bukan keikhlasan. Berdakwah karena sosok figur panutan. Berjuang gigih menegakkan ajaran kelompok dakwahnya dengan menabrak adab ukhuwwah, berdakwah karena mengusung visi dan misi kelompok dakwahnya dengan mengecil kerdilkan para saudaranya dari kelompok dakwah yang berbeda dengannya. Dan pada waktu bersamaan, pembelaan terhadap Islam melemah disepelekan.
Sesungguhnya kekuatan dakwah Islam tidak tertumpu pada kekuatan individu seseorang atau golongan atau organisasi. Tetapi dibangun oleh kekuatan manhaj islam itu sendiri sebagai jalan hidup. Karena itu jauhilah sikap ta’assub atau fanatik terhadap individu atau terhadap kelompok dakwah tertentu. Hendaklah berpegang kuat pada prinsip dan dasar, kepada isi dan bukan kepada bentuk lahirnya, kepada apa yang dinamakan bukan kepada nama dan simbol kelompok dakwahnya. Siapa yang berpegang pada individu atau kelompok dakwah tertentu dia akan kecewa merana, karena individu atau kelompok dakwah itu tidak kekal pasti kan mati, punah dan mengalami perubahan. Sedangkan siapa yang berpegang pada manhaj Islam itu yang benar, karena sifatnya kekal.
Islam memerintahkan agar kita taat kepada Rasulullah saw. Pada waktu bersamaan Allah juga memerintahkan, agar pengorbanan dan perjuangan dilakukan karena Allah SWT, bukan karena Rasulullah saw. Ini ditegaskan dalam Al-Quran,
(وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولࣱ قَدۡ خَلَتۡ مِن قَبۡلِهِ ٱلرُّسُلُۚ أَفَإِی۟ن مَّاتَ أَوۡ قُتِلَ ٱنقَلَبۡتُمۡ عَلَىٰۤ أَعۡقَـٰبِكُمۡۚ وَمَن یَنقَلِبۡ عَلَىٰ عَقِبَیۡهِ فَلَن یَضُرَّ ٱللَّهَ شَیۡـࣰٔاۗ وَسَیَجۡزِی ٱللَّهُ ٱلشَّـٰكِرِینَ)
Dan Muhammad hanyalah seorang Rasul; sebelumnya telah berlalu beberapa rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa berbalik ke belakang, maka ia tidak akan merugikan Allah sedikit pun. Allah akan memberi balasan kepada orang yang bersyukur. (QS. Ali Imran : 144).
Ayat ini diturunkan Allah untuk mengabadikan pelajaran setelah terjadinya perang Uhud. Dalam perang ini Nabi saw diissukan terbunuh hingga membuat sebagian kaum muslimin kehilangan semangat dan meninggalkan medan perang seraya berkata, tidak ada gunanya lagi kita berperang melawan kaum musyrikin karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah tiada. Tetapi tidak semua kaum muslimin terpengaruh kehilangan semangat. Masih banyak sahabat yang bertahan dan mengingatkan kesalahan mereka, diantaranya Anas bin Nadhar yang mengingatkan mereka: “Apa yang akan kalian perbuat dengan kehidupan sepeninggal Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam? Bangkitlah lalu matilah memperjuangkan apa yang telah membuat Rasulullah mati”. Kemudian ia menghadapi kaum musyrikin dan bertemu Saad bin Muadz lalu berkata: “Wahai Saad, duhai indahnya aroma surga. Sungguh aku mendapatinya di dekat Uhud”. Kemudian Anas bin Nadzar bertempur hingga syahid dan ditemukan dalam tubuhnya lebih dari 72 tusukan pedang sehingga tidak ada seorangpun yang dapat menge-nalinya, kecuali saudara perempuannya.” Begitulah Imam Ibnu Qayyim mengisahkan dalam Zaadul Ma’ad.
Ayat itu pula yang dibacakan Abu Bakar Ash-Shiddiq ketika menghadapi Umar Bin Khattab yang tidak percaya akan wafatnya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam sehingga mengatakan, “Barang siapa yang mengatakan Muhammad telah meninggal akan saya penggal lehernya.”
Itu semua menegaskan kepada kita bahwa dalam beramal, berdakwah, berkorban dan berjuang, hanya Allah yang menjadi tujuan. Jika Allah SWT mengecam orang yang berjihad dan ber-Islam karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka lebih buruk lagi orang yang berjuang karena manusia biasa walaupun seorang pemimpin dari kelompok dakwahnya. Yang paling buruk adalah orang yang menggunakan dakwah untuk membangun figuritas diri, bukan loyalitas kepada nilai kebenaran dan kebaikan yang dibawa Islam. Dengan nilai figuritas yang melekat pada dirinya, ia jadikan dakwah sebagai alat ampuh pelampiasan nafsu berkuasa guna mengumpulkan pundi-pundi kemegahan dunia.
Dr. Muhammad Ratib an-Nabulsi juga mencatat pelajaran dari peristiwa dan ayat ini di dalam tafsirnya: “Ayat ini mengajari kita bahwa dakwah harus didasarkan pada ajaran tauhid, bukan pada individu. Jika didasarkan pada individu dengan menjadikannya pusat perhatian lalu individu tersebut mati maka dakwah ilallah akan mati bersama kematiannya. Tetapi jika didasarkan pada ajaran tauhid, sedangkan Allah Maha Hidup tidak pernah mati maka dakwah akan tetap berlangsung. Karena itu, agama kita adalah agama tauhid dan agama prinsip, bukan agama individu. Sungguh indah perkataan Abu Bakar ra ketika Rasulullah saw wafat: “Siapa yang menyembah Muhammad maka sesungguhnya Muhamnad telah meninggal dunia. Dan siapa yang menyembah Allah maka sesungguhnya Allah Maha Hidup tidak pernah mati”. (Tafsir an-Nabulsi, 2/216)
Figuritas buta adalah sikap mengaitkan berlanjut-tidaknya perjuangan dakwah Islam dengan keberadaan individu atau kelompok dakwah tertentu, atau mengaitkan semangat-tidaknya perjuangan dakwah Islam dengan keberadaan individu atau kelompok dakwah tertentu. Sikap ini dilarang Allah, bahkan terhadap figur Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam yang ma’shum sekalipun, apalagi terhadap figur selain Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam yang tidak ma’shum. Karena semangat dakwah harus dibangun di atas nilai-nilai dakwah, bukan di atas keberadaan individu atau kelompok dakwah tertentu. Karena individu atau kelompok dakwah tertentu pasti berakhir keberadaannya sedangkan dakwah Islam tidak boleh berhenti sampai kapan pun jua.
Figuritas buta akan memunculkan wala’ syakhshi (loyalitas kepada individu) dan wala’ jama’i (loyalitas kepada jama’ah) bukan kepada Islam. Bahkan lebih parah lagi, wala’ kepada individu atau kelompok dakwah tertentu juga bisa membelokkan loyalitas dan totalitas kepada Islam, sehingga rawan menimbulkan perpecahan dan permusuhan apabila sang figur individu atau pimpinan kelompok dakwah tertentu juga menikmati penokohannya dan mengelolanya untuk membangun basis kekuatan individu dan kelompok dakwahnya bukan untuk menguatkan dakwah Islam. Padahal jika kekuatan dan kehebatan individu dan kelompok dakwahnya itu dibangun di dalam bingkai Ukhuwwah islamiyah maka akan melahirkan kekuatan Ummat dalam menegakkan dakwah ilallah.
Sebagaimana sebuah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah menasehati kami dengan sebuah nasehat yang menggetarkan hati dan mencucurkan air mata, maka kami berkata: “Ya Rasulullah seolah-seolah ini adalah nasehat terakhir (yang engkau tinggalkan), maka beri-lah kami wasiat!”, maka beliau bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, serta untuk mendengar dan taat walaupun yang memerintahkan kalian seorang budak. Karena barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku, niscaya ia akan melihat banyak perselisihan. Maka hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para al-khulafa ar-rasyidin yang diberi petunjuk, gigitlah hal tersebut dengan gigi geraham kalian. Dan hati-hatilah kalian terhadap perkara yang diada-adakan, karena setiap bid’ah adalah sesat”
Sayid Quthb mencatat salah satu pelajaran dari peristiwa dan ayat itu : “Dakwah jauh lebih besar dan lebih kekal ketimbang dai. Karena para dai boleh datang dan pergi sedangkan dakwah tetap abadi sepanjang generasi dan abad. Para pengikut dakwah pun tetap bersambung dengan sumbernya yang pertama, yang mengutus para rasul dengan membawa dakwah ini. Dia yang Maha Suci tetap abadi menjadi tujuan orang-orang beriman. Tidak boleh seorang pun diantara mereka yang berbalik sepeninggal dai dan murtad dari hidayah Allah. Allah Maha Hidup tidak pernah mati”. (Tafsir fi Zhilalil Quran, 2/443, Robbani press).
Sesungguhnya dakwah Islam itu lebih utama dari pada keberadaan sosok seorang da’i atau kelompok dakwah tertentu, sebagaimana al Qur’-an sunnah telah membina para sahabat dan umat ini untuk senantiasa berpegang pada manhaj Islam serta membenci figuritas buta. Inilah manhaj Rasulullah Salallahu Alaihi Wasalam, dan manhaj seluruh orang yang menyeru kepada Allah di atas bashirah (ilmu). Kita seluruh umat Islam adalah penerus dakwah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Karena Islam adalah risalah terakhir yang disampaikan oleh Nabi akhir zaman. Figuritas buta kepada seseorang individu atau kepada kelompok dakwah tertentu, jika dibiarkan mengendap tumbuh berkembang di dalam sanubari seseorang atau kelompok dakwah tertentu, maka akan melahirkan kesombongan individu dan kesombongan jama’i dari kelompok dakwah tertentu. Mereka akan berucap : “ana khairun minka” (Saya lebih baik darimu) atau “Nahnu khairun minkum” (Kami lebih baik dari kalian).
Tanpa sadar mereka telah berguru mengikuti langkah syaithan.
قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسۡجُدَ إِذۡ أَمَرۡتُكَۖ قَالَ أَنَا۠ خَیۡرࣱ مِّنۡهُ خَلَقۡتَنِی مِن نَّارࣲ وَخَلَقۡتَهُۥ مِن طِینࣲ.
(Allah) berfirman, “Apakah yang menghalangimu (sehingga) kamu tidak bersujud (kepada Adam) ketika Aku menyuruhmu?” (Iblis) menjawab, “Aku lebih baik daripada dia. Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.”(QS. Al-A’raf : 12).
Seorang da’i ilallah menyeru pada Tauhidullah bukan kepada figuritas buta kepada individu atau kelompok dakwah. Lihat bagaimana Rasulullah mencelupkan uslub dakwah kepada para sahabat-Nya dalam bingkai Tauhid bukan lewat kungkungan kepatuhan lewat penjelmaan figuritas diri yang diagung-agungkan. Begitulah Ushul dakwah yang diyakini seorang Hasan al banna pendiri Jama’ah Ikhwanul Muslimin. Sama halnya dengan keikhlasan hati Imam Al Kandahlawi yang mendirikan Jama’ah Tabligh guna menyerukan dakwah ke pelosok negeri. Tak beda dengan KH. Hasyim Asy’ari meneguh kokohkan negeri lewat peran Nahdhatul Ummah menjaga ashalah Islam. Tak jauh beda dengan KH. Ahmad Dahlan yang mencerdaskan Ummat dengan Muhammadiyah yang berkemajuan. Dan masih banyak lagi tokoh dan kelompok dakwah yang ikhlas menegakkan kalimah Allah di muka bumi.
Seorang da’i ilallah terus berusaha belajar memahamkan dirinya dengan ilmu hingga memiliki keluasan dan kebijaksanaan dalam berdakwah. Karena dakwah ilallah akan terus mengalir berlanjut walau diri seorang da’i atau kelompok dakwahnya telah hilang di telan zaman. Oleh karena seorang da’i itu mestilah bergantung kepada nilai kebenaran dan kebaikan yang terdapat dalam Islam, bukan pada figuritas buta kepada individu atau kelompok dakwah tertentu. Karena ketika seseorang berdakwah lewat sebuah kelompok dakwah, di saat itu ia sedang ber ijtihad dalam berdakwah. Disinilah titik awal pemahaman utuh seorang da’i terhadap dakwah ilallah. Tujuan yang sama dengan menggunakan wasilah atau sarana dakwah yang banyak dan berbeda. Tentu semuanya punya peluang yang sama ber ijtihad dalam menentukan sarana dakwah yang tepat dan cocok menurut apa yang diyakini. Sosok figur da’i atau kelompok dakwah ilallah akan berjalan melangkah menyebarkan dakwah dengan lemah lembut merangkul bukan dengan kebencian dan kekerasan yang memvonis memukul.
Tinggalkanlah ketergantungan kepada figuritas buta kepada individu atau kelompok dakwah tertentu yang menyesatkan karena akan merusak persaudaraan dan persatuan negeri dan Ummat. Buka pintu akal dan kembalikan kebeningan hati agar tujuan dakwah tetap terarah ilallah bukan illaallah.
*Penulis adalah Penghulu Muda KUA Kec. Susoh, Kab. Aceh Barat Daya dan Anggota IKAT (Ikatan Alumni Timur Tengah) Aceh.