++
MEMASUKI kawasan Krueng Geukuh, suasana kembali sepi. Hanya beberapa kendaraan roda empat yang melintas. Wajah Irwan terlihat sedikit tegang. Pasalnya, dari informasi yang didapatnya, dari kawasan tersebut hingga Krueng Mane, tentara republic sering menggelar razia kendaraan.
“Bismillah,” ujarnya pelan tapi suaranya sampai juga ke telinga Teungku Fiah.
“Isya Allah tuhan bersama kita, anakku. Isya Allah aman,” ujar Teungku Fiah tiba-tiba. Mendengar ucapan Teungku Fiah, Irwan justru merasa tak enak hati. Ia seolah menebar ketakutan kepada dua pasukan nanggroe dan keluarga yang sedang di antarnya tersebut.
Keselamatan mereka bersama kini ada di tangannya.
“Teungku mohon dibaca doa peurabun beh. Masih ada ilmu di pesantren dulu kan,” ujar Irwan lagi mencoba bercanda.
Teungku Fiah mengangguk. Ia terlihat berkomat kamit serius. Entah apa yang sedang dibacanya. Demikian juga Mustafa.
Memasuki kawasan Bungkah, jalanan terlihat lebih padat. Sejumlah mobil terlihat antri dan melaju dengan kecepatan lambat. Irwan mulai berkeringat dingin. Namun ia mencoba menenangkan diri.
“Teungku, sepertinya memang ada razia di depan,” ujarnya kemudian.
Sakdiah dan istri Mustafa berwajah pucat. Namun Teungku Fiah justru bersikap biasa. Mustafa sendiri masih bermulut komat-kamit seperti orang yang sedang membaca doa.
“Isya Allah aman. Jalan terus,” ujar Teungku Fiah dengan nada penuh keyakinan.
Dari kejauhan, beberapa pria berpakaian loreng terlihat menenteng senjata laras panjang. Jumlah mereka mencapai belasan orang. Ada sejumlah mobil yang diperiksa. Beberapa penumpang diturunkan dan baju mereka dicopot.
Sedangkan mobil L300 yang disupiri Siwan hanya berjarak 5 meter dari pengeledahan tadi. Atau mobil ketiga yang akan diperiksa.
“Ya Allah, selamatkan kami,” ujar Irwan pelan.
Usai pemeriksaan dua mobil di depan, seorang pria berpakaian loreng berjalan ke arah mereka. Pria itu menenteng senjata dengan posisi siaga.
Pria itu memasang wajah masam. Ia mengamati isi mobil dengan seksama. Pandangannya kemudian beralih ke Irwan.
“Mau kemana malam-malam?” tanya pria itu.
Irwan terdiam. Ia mencoba menguasai diri serta tak salah tingkah di depan tentara itu. Salah tingkah justru akan membuat sang tentara semakin curiga dan akhirnya mereka tertangkap.
“Malam pak. Mau ke Banda Aceh. Lagi kejar setoran,” ujar Irwan asal. Sang tentara kembali melihat isi mobil. Pandangannya datar.
“Bisa lihat KTP, SIM dan kelengkapan surat kendaraan?” ujar tentara itu lagi. Irwan mengangguk dan menyerahkan semua keterangan yang diminta oleh sang tentara. Saat meminjam mobil L300 tadi, Irwan memang meminta kelengkapan surat untuk mengantisipasi keadaan seperti sekarang.
Yang jadi kekhawatiran Irwan, justru jika tentara meminta KTP milik Teungku Fiah dan keluarga di dalam mobil. Pasalnya, sejumlah mobil di depan mereka, para penumpangnya dipaksa turun semua. Baju penumpang laki-laki bahkan diminta copot untuk melihat hal-hal yang mencurigakan.
“Coba buka bagian belakang. Saya mau lihat isinya,” ujar Tentara itu lagi. Dua tentara lainnya mendekati Irwan. Irwan kembali membuka bagian belakang mobil. Isinya adalah tas pakaian istri Mustafa dan Sakdiah.
Namun ketiga tentara tak menyentuh barang tersebut sedikitpun. Ini membuat Irwan keheran-heranan.
“Mobil kosong begini, kenapa memutuskan untuk tetap narik malam-malam?” ujar seorang tentara lainnya.
Irwan terdiam. Ia seolah tak percaya dengan apa yang disampaikan oleh para tentara tersebut.
“Menjemput rombongan dari Banda Aceh untuk pulang ke Panton Labu, pak,” ujar Irwan.
[Bersambung]