Oleh : H. Roni Haldi,Lc*
Pada suatu ketika dalam safari dakwahnya, Hasan al Banna mengunjungi provinsi Suhaj, Mesir. Sesudah tabligh akbar, beliau dijamu makan. Disampingnya duduk seorang ikhwah yang merupakan anggota jama’ah ikhwanul Muslimin. Saat kesempatan dirasa pantas, ikhwah tersebut menyampaikan sesuatu yang dianggap penting diketahui oleh Hasan Al Banna secara langsung.
“Wahai Ustadz, sesungguhnya dakwah itu tidak diukur dengan kuantitas, tapi dengan kualitas. Oleh karena itu, bagaimana kalau kita tetapkan standart bagi orang yang ingin bergabung ke dalam jama’ah kita ini? Seperti, kita berikan batasan tertentu tentang keluasan wawasan keislaman yang telah dipelajari dan sejauh mana dipahami dan dikuasainya.”
Hasan al Banna menyambut ucapan itu dengan tersenyum, lalu berkata : “Wahai saudaraku, apakah engkau menginginkan sesuatu dariku yang tidak diinginkan Allah dari para Nabi dan Rasul-Nya? Padahal mereka adalah manusia pilihan-Nya.”
Beliau melanjutkan : “Kita berdakwah kepada seluruh manusia, bukan hanya untuk sekelompok orang-orang terhormat saja. Setiap orang akan selalu dimudahkan Allah untuk apa yang diciptakan. Siapa tahu, suatu hari nanti dakwah ini akan menghadapi cobaan yang sangat berat. Di hari itu, engkau akan bisa menghitung jumlah orang yang benar-benar kokoh dalam dakwah Ilallah dengan jarimu. Ketika cobaan terhadap dakwah itu datang, kebanyakan orang yang konsisten dengan dakwah Ilallah adalah orang-orang yang selama ini kita anggap sebagai orang-orang sederhana dalam posisi sosial dan strata intelektual. Orang yang kita anggap selama ini berada diluar jama’ah kita. Namun mereka memiliki akhlak mulia dan kesatria. Mereka menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Allah punya cara tersendiri menilai makhluk-Nya.”
Kisah tersebut meninggalkan semacam bahan pikiran bagi penulis. Apakah berdakwah ilallah mesti bergabung dalam jama’ah atau kelompok? Apakah seorang da’i harus terdaftar menjadi anggota suatu jama’ah atau kelompok dakwah baru bisa dikatakan seorang da’i ilallah? Dan bagaimana pula kalau seandainya seorang da’i yang kesana kemari berkhutbah dan mengisi kajian yang disesaki banyak jama’ah tapi tidak bergabung dengan salah satu jama’ah atau kelompok dakwah, apakah tidak dikategorikan seorang da’i?
Memang benar ada hadits tentang anjuran untuk berjamaah. Dan kenyataannya sekarang memang banyak komunitas, kelompok, organisasi masyarakat atau jama’ah terbentuk dan bergerak dengan cara dan wasilah yang tidak sama namun diyakini miliki tujuan ya pasti sama; dakwah Ilallah. Ada yang menamakan diri dengan Jama’ah Tabligh, Nahdhatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Mathla’ul Anwar, Persatuan Islam (Persis), Al Washliyah, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Hizbut Tahrir, Kelompok Tarbiyah, al Irsyad Islamiyah, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Front Pembela Islam (FPI), Hidayatullah, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Majelis Intelektual dan Ulama Muda Muslim Indonesia (MIUMI), Ikatan Da’i Indonesia (Ikadi), Dakwah Salafiyah, Wahdah Islamiyah dan masih banyak lagi lainnya baik skala internasional, nasional maupun daerah.
Dalam konteks kekinian timbul pertanyaan, apakah benar bahwa siapa saja yang tidak ikut ke dalam kelompok-kelompok yang ada itu, lantas dianggap tidak akan masuk surga? Apakah kelompok-kelompok itu representasi yang sah tentang sebuah jamaah yang dimaksud oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam? Pertanyaan ini penting untuk dijawab. Mengapa? Karena seolah-olah bila kita tidak memilih atau bergabung dengan salah satunya, kita ini bukan umat Islam. Sebab ancamannya tidak akan masuk surga. Apakah seorang muslim tidak cukup hanya menjadi umat Islam saja, tanpa harus ikut-ikutan menjadi anggota sebuah kelompok jama’ah tertentu?
Jika kita mau perhatikan sirah nabawiyah, kita dapati bahwa pada masa Rasulullah hidup hanya ada satu jamaah satu dakwah, yaitu jama’ah muslimin. Masa itu, tidak ada yang bertanya seperti yang ditanyakan banyak orang sekarang. Dan bahkan juga tidak ada yang bingung harus pilih jamaah atau kelompok yang mana? Sedangkan sekarang, jama’ah atau kelompok dakwah tidak hanya satu, dua, tiga, ratusan bahkan ribuan jama’ah. Namun yang paling membuat miris hati kecil ini, Masing-masing jama’ah atau kelompok merasa diri paling benar, paling sesuai dengan sunnah Nabi, paling lurus amalannya, paling kuat dalilnya dan paling benar manhajnya. Dan yang paling buruknya, satu jamaah dengan jamaah yang lain saling menjelekkan, saling membongkar kelemahan sesama dan parahnya saling mencap sesat sesama bahkan sampai ke jenjang takfir. Tidaklah seseorang masuk ke suatu jamaah, kecuali dia akan ‘didoktrin’ untuk membenci atau setidaknya kurang simpatik dengan jamaah yang lain. Kalau begitu, lebih enak rasanya kalau hidup di zaman Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, tak ada banyak jama’ah, tak ada banyak yang saling klaim pemilik kebenaran. Intinya semua Ummat bersatu tak saling beradu berujung perpecahan.
Pada masa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, setiap orang yang masuk Islam atau menjadi bagian dari umat Islam, maka secara otomatis sudah resmi menjadi bagian atau anggota jamaah kaum muslimin. Tanpa melalui proses administrasi pendaftaran agar tercatat keanggotaannya. Tanpa harus memiliki kartu keanggotaan, tanpa harus bergabung dalam grup medsos seperti whatsapp, tanpa melalui bai’at khusus dan sirri lagi cukup hanya dengan dua kalimat syahadat. Kapan mereka tidak dianggap sebagai bagian dari jama’ah muslimin? Ketika ada murtad atau keluar dari Islam, barulah mereka dianggap keluar dari jamaah muslimin. Sedangkan zaman sekarang, dimana tidak semua orang yang beragama Islam dianggap otomatis menjadi bagian dari kelompoknya. Hanya mereka yang loyal dan mau jadi pendukung setia serta siap menjalankan tugas demi tugas yang dijadikan anggota suatu kelompok atau jama’ah tertentu. Dan anehnya, ada semacam ‘doktrin halus’ kalau sudah ikut suatu kelompok, tidak diperbolehkan lagi dekat-dekat apalagi ikut duduk mengikuti majelis ilmu kelompok lain yang dicap berbeda manhaj dengan kelompok atau jama’ahnya. Ancamannya tidak tanggung-tanggung, bisa dihukum pecat dari keanggotaan kelompok atau jama’ahnya. Intinya loyalitas kepada kelompok atau jama’ah harus ‘loyalitas tanpa batas’, seperti moto pada sebuah instansi pemerintah. Ketika punya pemahaman yang diyakini seperti itu, apa tidak takut berbenturan dengan prinsip loyalitas kepada Allah SWT?
Timbul pertanyaan, siapakah jamaah muslimin? Dakwah ini milik siapa? Jama’ah muslimin hari ini ya kita semua ini. Semua muslim di dunia. Artinya, asalkan seseorang sudah beragama Islam, maka secara otomatis dia adalah bagian dari jamaah muslimin, mereka adalah saudara kita, tanah air mereka adalah tanah air kita, kebahagiaan mereka adalah kebahagiaan kita, kesedihan mereka adalah kesedihan kita. Jama’ah muslimin adalah ibarat tubuh yang satu. Maka tidaklah benar logika yang mengatakan kalau seorang muslim tidak ikut kelompok atau jama’ah tertentu, dianggap telah kafir atau bukan muslim. Juga keliru pemahaman yang mengatakan bahwa siapa yang keluar dari suatu kelompok, maka dia telah keluar dari jamaah muslimin. Dan kalau keluar dari jamaah, maka serta merta keluar pula dari Islam. Dan kalau keluar dari Islam, maka halal darahnya, lalu matinya mati jahiliyah. Ini adalah cara pandang yang sempit, sesat dan menyesatkan, yang tidak pernah pernah bisa dibenarkan. Yang benar adalah semua muslim di dunia sekarang ini adalah bagian dari jamaah muslimin. Dan dakwah islam ini adalah milik semua umat Islam di seluruh penjuru dunia.
(وَقُلِ ٱعۡمَلُوا۟ فَسَیَرَى ٱللَّهُ عَمَلَكُمۡ وَرَسُولُهُۥ وَٱلۡمُؤۡمِنُونَۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَـٰلِمِ ٱلۡغَیۡبِ وَٱلشَّهَـٰدَةِ فَیُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ)
Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. At-Taubah : 105)
“Janganlah berhenti, melainkan teruslah beramal,” kata Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar. “Karena nilai kehidupan ditentukan oleh amalan yang bermutu. Maka tak boleh ada mukmin yang kosong waktunya dari amal.” Buya Hamka menjelaskan, amal adalah pekerjaan, usaha, perbuatan dan keaktifan hidup. Maka selain beribadah, orang yang beriman juga harus bekerja dan berusaha. Seluruh manusia akan dikembalikan kepada Allah. Dialah Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Dialah yang mengetahui niat dan amal-amal manusia. Dialah yang mengetahui apa yang tersembunyi dan apa yang terbuka.
Dakwah ini bukan hanya milik sekelompok jama’ah, tapi dakwah ini adalah milik jama’ah muslimin. Dan jangan pernah mengembargo dakwah ilallah dengan pemahaman sempit seujung kuku yang kita tahu. Namun, berdakwah lewat sarana dan manhaj suatu jama’ah atau kelompok dakwah bukan juga sesuatu yang dilarang dan tidak dibolehkan. Jika bergabung dengan sebuah jama’ah atau kelompok dakwah ada maslahat lebih besar untuk diri, keluarga, dan ummat, maka itu juga terbaik. Bergabungnya seseorang dalam sebuah jama’ah atau kelompok dakwah jangan sampai mendeklarasikan dirinya, keluarganya, jama’ah dan kelompoknya sebagai pemilik tunggal yang sah dari dakwah Rasulullah. Bukan juga merubahnya menjadi pemilik yang memegang stempel kebenaran dalam berdakwah. Karena dakwah ilallah adalah milik semua jama’ah dan kelompok dakwah, dakwah ilallah itu juga milik semua kaum muslimin, di timur dan di barat. Dakwah itu adalah milik kita semua dengan cara dan sarana yang diajarkan dalam pedoman umat akhir zaman; Al Qur’an dan Sunnah. Semoga Allah menyatukan hati seluruh jama’ah dan kelompok dakwah dalam umat Islam untuk melanjutkan risalah dakwah Ilallah.
*Penulis adalah Penghulu Muda KUA Kec. Susoh dan Anggota IKAT (Ikatan Alumni Timur Tengah) Aceh.