WANITA itu berumur sekitar 40 tahun. Wajahnya lesu dan muram. Suaminya hampir dua pekan lebih tak bisa bekerja.
Sementara anak-anaknya masih kecil-kecil usia sekolah. Ia mengaku hanya pasrah jika seandainya keadaan tersebut berlarut dan tak ada lagi beras untuk dimakan.
“Saya yakin ada yang lebih buruk dari keadaan kami. Makanya saya berdoa supaya masa masa sulit ini segera berlalu. Kasihan orang-orang yang ekonominya pas-pasan selama wabah ini berlangsung,” kata wanita itu.
Ia adalah Nurhayati, guru honorer di Banda Aceh. Nurhayati guru honorer di Banda Aceh. Sementara suaminya adalah pekerja lepas.
“Alhamdulillah ada hamba allah yang datang ke rumah kemarin untuk membantu. Ini membuat kami mampu bertahan beberapa hari lagi,” ujarnya.
“Katanya mereka membantu. Kalau yang mengantarnya saya tak kenal,” katanya lagi.
Pembatasan aktivitas di luar rumah dilakukan Pemerintah Aceh hampir dua pekan lalu. Tujuannya untuk memutuskan rantai siklus Corona di Aceh.
Namun keputusan tadi berdampak luas bagi masyarakat Aceh. Terutama mereka yang bekerja lepas dan mencari uang hari demi hari.
Pekerja Warkop dirumahkan tanpa solusi. Tukang Parkir, abang becak serta para pekerja lepas lainnya kehilangan mata pencaharian mereka.
Sejumlah Abang Becak di Banda Aceh dan Aceh Besar misalnya, terpaksa alih profesi jadi pemulung selama sepekan terakhir. Kondisi ini terjadi karena minimnya penumpang serta adanya larangan berkumpul di keramaian yang dikeluarkan oleh Pemerintah Aceh untuk antisipasi penyebaran virus Corona.
“Hampir sepekan terakhir. Dimulai dari Senin lalu saat instruksi pembatasan aktifitas di luar rumah. Penumpang sepi. Jadi terpaksa jadi pemulung,” ujar Herman, 47 tahun, warga Ujong Batee, Kecamatan Krueng Raya, Aceh Besar.
Sebelumnya, kata Herman, ia mangkal di kawasan Peunayong, Kota Banda Aceh.
“Namun sebulan terakhir turun drastic pendapatannya. Semenjak ada larangan dari Pemerintah, saya putar otak dan akhirnya jadi pemulung,” ujar dia.
Aktivitas pemulung, kata dia, dilakukan dari pagi hingga sore hari. Herman turut mengajak dua anaknya yang berusia sekolah untuk mencari botol plastik guna dijual ke agen-agen yang berada di Gampong Jawa.
“Lumayan, dapat 30 hingga 50 ribu perhari-nya. Ini jauh lebih baik dari berdiam diri di rumah,” kata Herman.
“Tak kerja, anak istri mau makan apa? Pemerintah kan cuma bisa melarang. Orang kaya enak bisa berdiam diri di rumah. Makanan sudah disiapkan, kalau saya sehari tak kerja tak ada uang untuk makan,” ujarnya lagi.
Istri herman sendiri, katanya, kini terpaksa turun tangan untuk jadi tukang cuci pakaian di rumah-rumah warga.
“Yang penting halal. Kena Corona berarti sudah nasib saya,” katanya lagi pasrah.
“Neutuleh berita jeut tapi bek neucok foto, malee lon,” ujar Herman.
Demikian juga dengan status guru honorer yang dirumahkan tanpa adanya solusi dari pemerintah. Beda halnya dengan PNS dan pegawai kontrak.
“Namun Aceh bukan hanya milik PNS. Kami juga butuh makan dan minum. Anak istri kami bukan robot,” kata Sulaiman, 43 tahun, warga Krueng Cut Aceh Besar.
“Pemerintah harusnya juga memikirkan nasib kami. Saat ini beberapa makanan pokok meninggi. Kalau kami tak kerja, besok-besok kami mau makan apa?” ujar Sulaiman lagi.
Menurut Sulaiman, tak hanya dirinya, wabah Corona membuat banyak warga di daerahnya ketakutan.
“Tapi kami harus bekerja, mau tak mau. Pemerintah hanya memikirkan nasib PNS, sementara orang-orang seperti kami tak ada solusi. Jadi mau tak mau harus keluar rumah untuk bekerja,” katanya lagi.