Oleh: H. Roni Haldi, Lc*
Tersebut lah suatu kisah sosok kuat berprinsip penuh pertimbangan dalam menyusuri jalan hidup agar tak salah arah kemudi yang akan membawa penyesalan tak terkira di kemudian hari.
Pada tahun 1970, Hamka diundang datang oleh Menteri Agama, Prof. Dr. Mukti Ali ke kantornya. Tiba di sana, Hamka disambut dengan ucapan selamat oleh sang Menteri Agama.
“Dari semua nama yang diusulkan kepada Bapak Presiden, saudaralah yang terpilih untuk diangkat menjadi Duta Besar dan Berkuasa Penuh di Negeri Saudi Arabia.” Kata Menteri sambil tersenyum dan menyodorkan tangan sebagai ucapan selamat.
Apakah Hamka langsung menerima mengiyakan isi dari ucapan selamat tersebut? Apakah Hamka senang hatinya menerima sebuah jabatan sangat bergengsi lagi penuh prestise yang tak pernah ia sangka sebelumnya? Bagaimana sikap yang diambil Hamka?
Simaklah nasehat Siti Raham binti Rasul Sultan, pendamping hidup nan setia dari Buya Hamka sebagaimana dinukilkan Irfan Hamka dalam bukunya; Ayah, Cet. VIII, Jakarta, Repubika, 2018.
“Angku Haji, umat mulai semarak saat ini. Dakwah yang makin semarak itu semua dimulai dari Angku Haji. Di Masjid ini, apa yang angku Haji bina telah terpancar dan dicintai umat. Apa semua yang baru ini akan ditinggalkan begitu saja dan diganti dengan kegiatan sebagai Duta Besar? Sebagai Duta Besar, hampir tiap malam nanti Angku Haji harus menghadiri jamuan yang diadakan oleh pada Duta Besar yang berada di Arab itu. Lalu kapan waktu tersedia untuk Angku Haji mengaji Al Qur’an yang tidak pernah ditinggalkan sejak kecil? Kapan waktunya untuk membaca, menambah ilmu? Kapan pula waktu untuk menjalankan hasil ilmu yang Angku Haji dapatkan dari membaca itu?
Dari kalimat-kalimat yang disampaikan, nampak sekali kalau istri Buya Hamka berat menyetujui tawaran jabatan sebagai Duta Besar Berkuasa Penuh Saudi Arabia.
“Lebih baik Masjid di depan rumah ini saja Angku Haji kelola dengan baik. Pahalanya dapat dirasakan oleh umat dan sekaligus Insya Allah diridhai oleh Allah.” Sambung Siti Raham dengan lembut.
Mendengar pandangan hati teman hidupnya yang setia, dengan tulUs dan lapang hati Buya Hamka menerimanya. Lalu Buya Hamka datang keesokan harinya menjumpai Menteri Agama. Menyampaikan secara halus bahwa beliau menolak tawaran Presiden sebagai Duta Besar RI Berkuasa Penuh untuk Arab Saudi.
Tak hanya sekali itu saja Hamka diberi tawaran berupa jabatan dan pangkat. Sebelumnya pada tahun 1960, Buya Hamka pernah diundang oleh Jenderal Nasution; Panglima ABRI sekaligus Menteri Pertahanan dan Keamanan RI. Dalam peetemuan tersebut, ayah ditawari pangkat Mayor Jenderal Tituler oleh Pemerintah Republik Indonesia. Sebuah pangkat kehormatan yang memiliki fasilitas sama dengan yang diberikan kepada seorang Mayor Jenderal Karir.
Apakah Buya Hamka langsung mengangguk mengiyakan menerima pangkat penghargaan tersebut? Ternyata, Buya Hamka meminta waktu untuk berfikir. Berfikir yang Buya maksud adalah berunding meminta pendapat sang istri tercinta. Apa kata istrinya, “Lebih baik Angku Haji tetap berperan di Masjid Agung al Azhar, lebih terhormat di harapan Allah.” Dan setelah itu Buya Hamka menemui Jenderal Nasution untuk menyampaikan jawaban berupa penolakan halus atas tawaran pangkat kehormatan itu.
Menurut pengakuan anaknya dalam bukunya; Ayah, Cet. VIII, hal. 201. Jakarta, Repubika, 2018. Ayah, sebenarnya Buya Hamka sudah punya jawaban untuk kedua tawaran pangkat dan jabatan tersebut. Dan pun Buya Hamka sudah yakin betul jawaban yang akan diberikan oleh istrinya jika ia kabarkan tentang kedua tawaran jabatan dan pangkat itu. Karena Siti Raham bukan tipe seorang perempuan ambisius, mencari popularitas atau ingin mencari menambah kekayaan melalui jabatan yang ditawarkan Pemerintah. Sejak dirumah Menteri Agama dan Jenderal Nasution Buya Hamka ingin menjawab bahwa ia menolak atas tawaran jabatan dan pangkat itu. Namun karena cintanya yang dalam dan rasa sangat menghargai istri yang sangat dicintainya membuat Buya Hamka menunda dan meminta waktu untuk memberi jawabannya.
Tampaklah oleh kita sebuah gambaran keluarga yang memiliki pandangan hidup yang berlandaskan kesucian jiwa. Seorang suami dan seorang istri yang punya konsep dalam menanggapi dan menerangkan setiap masalah di dunia ini. “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” (QS. Al Fatihah : 5). Selama hidup bertolak dari Allah Taala, maka akan kembali bermuara kepada-Nya. Pandangan hidup yang tak menjerumus jiwa jadi tamak dan tak mendorong diri menjilat memohon pangkat jabatan. Karena jiwa dan diri sudah memiliki ukuran rasa akan batas keridhaan atau kemurkaan Allah. Menjalankan atas apa pun posisi beramal yang telah diberi, bukan mencari cara agar bertambah amanah atau tanggungjawab di dunia tapi melenceng jauh dari orientasi akhirat bahkan bisa saja menjerumus diri ke jurang terdalam neraka jahannam.
Benarlah apa yang diungkapakan Buya Hamka dalam bukunya Tasawuf Modern, Jakarta: Panjimas, 1983, hlm. 114). Tetapi kekayaan dan kebahagiaan di dalam badan, itulah kekayaan sejati yang bertambah lama tidak bertambah usang, tetapi bertambah murni bercahaya, asal saja pandai menjaga, sebab dia pemberian khalik yang suci. Kalau kita pupuk, uratnya akan teguh, buahnya akan lezat sehingga kita jatuh kasihan melihat seisi dunia, sejak dari raja kepada menteri, orang kaya dan orang berpangkat lantaran tidak merasa nikmat dengan kelezatan ini. Inilah kekayaan dan kerajaan hakiki yang tidak lekang di panas dan tak lapuk di hujan.
Punya mata tapi tak silau dengan gemerlapnya cahaya dunia. Punya nafsu tapi tak diikuti dituruti menjerumus diri. Dunia itu penting posisinya, tapi takkan mampu menyaingi bahkan mengalahkan kepentingan akhirat yang abadi. Ibarat petuah hadits yang bermakna ; “letakkan dunia di genggaman tangan mu jangan pernah engkau masukan dalam hatimu.”
*Penulis adalah Penghulu Muda KUA Kec. Susoh, Abdya dan Anggota IKAT (Ikatan Alumni Timur Tengah) Aceh.