Wabah Corona kini menjadi momok menakutkan di sejumlah negara di dunia. Sejumlah negara besar lumpuh total, tak kecuali Amerika dan Eropa, sebagai pusat peradaban masa kini.
Tak hanya soal kesehatan dan kematian, virus Covid-19 juga membuat sejumlah ekonomi swasta menjadi lumpuh dan merugi. Jeritan tangis serta kelaparan menghantui sejumlah negara.
Di Amerika dan Eropa misalnya, warga menangis soal minimnya tisu toilet serta popok bayi. Demikian juga stok sembako bagi warga pekerja lepas di sana yang kian hari kian minim. Persoalan ini sempat menjadi hot isu di sana.
Namun mereka memiliki pemerintah yang cepat tanggap. Pemerintah Amerika memberi kompensasi bagi warganya sebesar 50 juta per kepala keluarga selama penanganan Corona.
Di Inggris, pemerintah juga memberi kompensasi sebesar 80 persen untuk setiap kerugian warga yang diderita akibat lockdown. Kompensasi ini untuk pekerja lepas seperti pekerja bar dan pekerja lepas lainnya.
Indonesia kita juga memiliki persoalan yang sama. Semua warga dikarantina di rumah masing-masing. Termasuk di dalamnya masyarakat Aceh. Namun sayangnya, hingga kini tak ada solusi bagi warga yang pekerja lepas. Masyarakat dirumahkan tanpa kesiapan sembako yang memadai.
Kekhawatiran akan kelaparan, mungkin tak akan pernah dirasakan oleh para pejabat negara serta para majikan rakyat atau pejabat SKPA di Aceh. Sebutan ‘Majikan’ lebih layak dari kata ‘Pelayan’ rakyat. Karena pajak yang dihasilkan dari keringat rakyat cenderung disalahgunakan untuk kepentingan pribadi dan golongan. Dan saat paceklik seperti sekarang, gaji mereka tetap lancar meski berada di rumah.
Beda halnya dengan pekerja lepas, seperti petani, tukang, nelayan, pedagang serta berbagai macam profesi mandiri lainnya. Mereka dirumahkan tanpa solusi. Kini mereka terancam kelaparan.
Plt gubernur memang sudah menyurati bupati walikota serta menerapkan aturan bahwa setiap warga yang terkena dampak ekonomi akibat Corona untuk dibantu sembako senilai Rp200.000. Namun realisasinya masih jauh dari harapan.
Keadaan kian sulit ketika pemerintah Aceh menerapkan jam malam. Kegiatan ini kian berimbas bagi pemulung serta sejumlah profesi lainnya.
Tak salah dengan jam malam atau merumahkan warga, tapi harusnya kebijakan tersebut turut disertai dengan kesigapan pemerintah untuk menyalurkan bantuan makanan untuk warganya yang membutuhkan.
Sayangnya, sudah hampir dua pekan sejak pemerintah merumahkan warga, ternyata belum ada aksi nyata dari pemerintah untuk membantu warganya. Mendistribusikan bantuan untuk seluruh warga miskin serta pekerja lepas agar mereka tenang dan nyaman berada di rumah.
Pejabat kita hanya mampu memerintah. Tapi tidak pernah memberi solusi atas paceklik ekonomi yang terjadi. Minimal hingga pekan ketiga aturan diterapkan.
Pemerintah mungkin sedang menunggu ada warga yang mati kelaparan untuk memulai penyaluran bantuan. Kalau ini terjadi, maka zalim lah rezim ini. []