Oleh: Mahzal Abdullah
‘’Kami tahu cara menghidupkan kembali ekonomi. Yang kami tidak tahu adalah cara menghidupkan kembali manusia,” Ucap Presiden Republik Ghana, Nana Akufo Addo usai mengumumkan Lockdown parsial di negerinya, Jum’at (27/3/2020). Ia memutuskan Lockdown parsial di dua wilayah, yakni wilayah Metropolitan Accra dan Metropolitan Kumasi selama dua minggu dimulai dari hari Senin (30 Maret 2020). (dilansir dari CNN Indonesia, Minggu, 29 Maret 2020)
Ucapan dari seorang presiden tersebut menuai banyak pujian jagat maya, dinilai sangat menyentuh dan inspiratif, sehingga warganet ramai-ramai mencuitkan ulang penggalan kalimat tersebut. Komunikasi nan sejuk yang diucapkan sebagai salah satu jalan memperbaiki kondisi yang kian mencekam, adanya ketegasan untuk menyelesaikan persoalan dari seorang pemimpin sangatlah dibutuhkan, tak bisa dipungkiri bahwa setiap pilihan/kabijakan pasti memiliki konsekuensi. Ekonomi, sebagai satu alasan yang paling mendasar yang selama ini kerap muncul di antara analisa pejabat negeri ini.
Ekonomi dan pemenuhan pangan bagi warga sangat mendesak jika menerapkan status Lockdown atau Karantina Wilayah. Miris, Indonesia seakan tak punya konsep yang jelas menghadapi wabah yang bersumber dari Wuhan, Tiongkok itu. Masyarakat dibuat bingung dengan simpang siur sikap dari pemerintah, buruknya komunikasi yang membuat kondisi ini semakin parah.
Achmad Yurianto diangkat oleh Presiden Joko Widodo sebagai Sekretaris Direktoral Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan sebagai juru bicara untuk penangan Covid-19, membuat blunder dengan keterangan pers yang telah disampaikan dihadapan awak media, sehingga publik menangkap sebagai ‘Covid-19 mengenal kasta,’ merupakan cacat komunikasi di tengah semangat demokrasi. Lain lagi dengan juru bicara Pemerintah Aceh, Saifullah Abdulgani atau SAG yang mengeluarkan pernyataan resminya, pemerintah siapkan lahan untuk pemakaman jenazah Covid-19, padahal dikondisi seperti ini masyarakat sedang berharap upaya serius menangani masalah pandemic bukan malah sebaliknya, membicarakan kematian. Biarpun pernyataan tersebut telah ditarik disertai permintaan maaf, terlanjur sudah, masyarakat sudah geram dengan pernyataan ‘gila’ itu.
Sebagai Juru bicara tentunya memiliki kompetensi yang sangat mumpuni menguasai masalah yang disertakan fakta dan data, sebagai orang yang kerjanya memberi keterangan resmi dan sebagainya kepada public agar tidak terjadinya simpang siur informasi. Intinya, komunikasi verbal dan non verbal tetap harus diperhatikan supaya tidak menjadi bulan-bulanan sindiran publik di dunia maya (media sosial).
Jam Malam dan Tetap di Rumah
Pemerintah Aceh mengeluarkan maklumat bersama penerapan jam malam, kebijakan tersebut dikeluarkan guna mencegah penyebaran virus corona. Diantara poin penting dari maklumat tersebut, yaitu menghimbau kepada masyarakat agar tidak melakukan kegiatan di luar rumah pada penerapan jam malam sejak pukul 20.30 sampai dengan pukul 05.30 WIB. Pemberlakuan jam malam tersebut mulai berlaku sejak Minggu malam (29 Maret 2020). Seperti yang dilansir dari Okezone.com (1 April 2020), Kebijakan ini mendapat respon berbeda salah seorang anggota DPRA, Teuku Irwan Djohan menurutnya kebijakan yang tepat adalah menutup akses masuk baik darat, udara dan laut dan hanya memberi pengecualian pada angkutan barang, karena pemberlakuan jam malam telah merenggut pundi ekonomi warga seperti, toko, warung kopi bahkan pedagangan asongan tutup.
Sungguh sangat tidak mungkin warga untuk tidak keluar dari rumah, mereka dipaksakan oleh kebutuhan pokok untuk memenuhi hajatan hidup keluarga, apa yang akan mereka makan tanpa bekerja?
Kita sepakat pada kampanye tetap di rumah #Stayathome terus digaungkan di berbagai media dan mematuhi serta menjalankannya, karena dengan menetap di rumah akan menghabiskan masa inkubasi virus corona (Covid-19) dan memutus rantai penularan. Namun, sangatlah tidak bernurani pejabat pemangku kepentingan negeri ini, banyak warga yang harus keluar demi “asap dapur” dan sesuap nasi. Ini persoalan pangan yang paling mendasar, Tuan!.
Negara harus hadir pada kondisi seperti ini, memberi kepastian dan solusi pencegahan yang bijak. Bukan malah membuat masyarakat menambah penderitaan. Mungkin pejabat kita sudah sangat paham akan tumpah darah negeri yang berfalsafah Pancasila ini. tidak perlulah diajari lagi cara bernegara yang baik dan memahami pasal 33 UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 bagi tiap pejabat negeri ini.
Permasalahan lain yang sangat penting sebagai garda terdepan sangat mengiris hati dan menyesakkan. Sektor kesehatan, dokter dan para tenaga medis kekurangan APD (Alat Pelindung Diri), Thermometer digital infrared, dan kurangnya fasilitas kesehatan lainnya di tiap rumah sakit rujukan Covid-19. Serius pemerintah cegah Covid-19?
Harus kita akui, kebijakan jam malam dan tetap di rumah memiliki sisi positifnya, namun kajian tersebut sebelum dijadikan kebijakan harus sangat komprehensif berkenaan dengan hajat hidup masyarakat banyak.
Sebenarnya Indonesia sudah punya regulasi UU Penanggulan Bencana Tahun 2007 dan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan ini disahkan oleh Presiden Joko Widodo.
Dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan pada pasal 55 ayat 1 Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat. Tanggung jawab ini dilakukan dengan melibatkan Pemerintah Daerah dan pihak terkait (Pasal 55 ayat 2).
Pemandangan hari ini dalam penanganan virus terebut sangatlah berbeda, Presiden Joko Widodo berencana menerapkan Darurat Sipil untuk mengatasi penyebaran Covid-19. Provinsi Aceh ‘baru saja’ melaksanakan darurat sipil, Polisi dan Militer berkeliaran dengan pentungan mengawasi masyarakat yang keluar pada saat jam malam, ingatan masyarakat Aceh kembali mencuat pada tahun 2000-an silam saat konflik bersenjata melanda Aceh Darussalam.
“Entah mengapa Perppu 1959 yang dirujuk. Padahal ada regulasi UU Penanggulangan Bencana tahun 2007 dan UU yang dibuat oleh Presiden Jokowi, yaitu UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan,” kata Ahli hukum dari UGM Yogyakarta, Oce Madril. (dilansir dari detikcom, Selasa, 31 Maret 2020).
Nah, dalam hal darurat seperti ini, kehadiran Negara sebagai pemangku kepentingan sangat berpengaruh, segera mengambil langkah seperti yang telah diperintahkan dalam UU Kekarantinaan Kesehatan, memperhatikan kebutuhan pangan masyarakat, sehingga masyarakat tidak meremehkan keberadaan Negara dalam menjaga tumpah darahnya, tafsiran negatif sebagai upaya Pemerintah Pusat dan Daerah untuk ‘menghindari’ dari tanggung jawab seperti yang diamanahkan akan hilang dengan sendirinya, Toh sekarang sudah tiga pekan Aceh melawan Covid-19, Negara baru hadir pada pembatasan gerak.
Sejatinya, Provinsi Aceh memiliki gelontoran dana yang melimpah, serba cukuplah jika pemerintah berniat baik untuk ‘sedikit’ berbagi pada rakyatnya yang sedang dalam paceklik luar biasa ini, kalau tidak pada saat seperti ini membantu rakyat, kapan lagi wahai, Pak Plt. Gubernur Aceh.
Naas rasanya bagi masyarakat yang berprofesi bukan Aparatur Sipil Negara (ASN)/Pegawai Negeri Sipil (PNS), mereka harus keluar rumah, mencukupi kebutuhan susu buat anak-anaknya, popok, bahkan kebutuhan ‘asap dapur’ untuk bertahan hidup, jangan sampai masyarakat mati kelaparan, bukan karena Covid-19. Ini konyol bagi bangsa sekaliber Indonesia yang katanya punya perekonomian maju baru-baru ini, dan Aceh yang punya otonomi khusus.
Memang, semangat Meuseuraya (gotong royong) masih sangat kental keberadaannya di tengah masyarakat, mereka bergerak berdonasi, saling peduli sesama anak bangsa, namun kepalan tangan tersebut sangatlah lemah. Seharusnya pemerintah bergerak cepat mengulurkan ‘tenaga’ untuk rakyatnya, gelontorkan segala kebutuhan untuk rakyat. Aceh rindu dan sangat berharap untuk bisa mencicipi Dana Otonomi Khusus Aceh dalam kondisi sakit ini.
Ulurkan tangan untuk rakyatmu, Pak Plt. Gubernur Aceh!.
Bantulah kami dengan dana dari keistimewaan Aceh, Dana Otonomi Khusus Aceh jika nasional belum bersikap. Supaya kita bisa menyukseskan kampanye tetap di rumah dan jam malam yang sudah bapak berlakukan sejak kemarin untuk memerangi wabah tae’un ini. Semoga segera kita bangkit dari wabah Covid-19, menuju Aceh yang adil dan makmur. Amiin
*Penulis adalah Ketua Umum HMI Cabang Sigli 2019 dan Pemerhati Isu Sosial dan Politik.