Banda Aceh – Pemberlakuan jam malam di Aceh dinilai mengingatkan tentang masa darurat militer di Aceh. Kondisi ini tentunya akan menghadirkan trauma bagi masyarakat, apalagi tindakan yang dilakukan melibatkan aparat keamanan yang dipersenjatai rotan.
Hal ini diungkapkan ketua Yayasan Aceh Kreatif, Delky Nofrizal Qutni kepada media ini, Kamis 2 April 2020.
Menurut Delky, tindakan berlebihan dari Pemerintah Aceh tentunya dikhawatirkan justru berimbas kepada psikologis masyarakat Aceh.
“Jika masyarakat terus ditekan seperti ini dengan berbagai larangan tidak logis dan tidak diimbangi dengan solusi kongkret, maka dikhawatirkan masyarakat justeru akan trauma dan stres. Ketika secara psikologis masyarakat terganggu, maka imunitasnya akan turun dan rentan terserang penyakit. Kita khawatirkan masyarakat Aceh tidak meninggal karena pendemi corona tapi akhibat tingginya tekanan pemerintah yang berujung kepada stres dan trauma, serta akhibat kelaparan,” ujarnya.
Menurut Delky, Corona itu bukan kalong yang berkeliaran di malam hari. “Emangnya korona itu kalong, jika malam keluar dan menyerbu. Tidakkan, jadi jangan aneh-anehlah. Ini meanset masyarakat sekarang seakan dijepit oleh dua opsi yang diberikan pemerintah menekan psikologis, seakan masyarakat dihadapkan dengan opsi kena pukulan dengan rotan atau telah disediakan tanah kuburan,” imbuhnya.
Delky menyebutkan, presiden Jokowi telah mengintruksikan agar Kemendagri tegur kepala daerah yang tetap melakukan pemblokiran jalan.
“Kita minta Pemerintah Aceh segera cabut pemberlakuan jam malam dan pemblokiran jalan. Jika tidak, maka kita berharap pimpinan daerah yang ngotot juga dicambuk pakai rotan. Jadi imbaskan bukan masyarakat saja terus-terusan jadi korban,” ucapnya.
Dia juga mengingatkan agar para pedagang dan pelaku UMKM tidak ditertibkan dengan cara kekerasan. ” Laporan masyarakat pelaku UNKM, ada pemberian denda jika tetap melakukan usaha, ada yang disepak pantat hingga kena hukuman dan rotan. Ini seakan menunjukkan Aceh sedang kembali bertransformasi ke era konflik. Jelas-jelas ini tidak bisa dibiarkan kembali terjadi setelah penandatanganan MoU Helsinki. Seharusnya ada upaya pencegahan lain, misalkan dengan melakukan kegiatan sanitasi di tempat usaha pelaku UMKM dan seterusnya, bukan malah memberikan ancaman dan penekanan belaka. Para pelaku UMKM ini juga kebingungan, jika mereka harus tutup tempat usaha, mereka kasih makan apa untuk anak istri, jika mereka buka mereka justru dihadapkan dengan sejumlah tekanan, sungguh kondisi ini memilukan. Akhirnya, nasib pelaku UMKM ibarat buah simalakama, maju kena, mundurpun kena,” cetusnya.
Delky berharap hadirnya langkah-langkah yang bijaksana berbarebg solusi nyata dalam penanganan dan pencegahan Covid 19 di bumi Aceh pusaka.
“Jika penekanan seperti itu terus dilakukan maka itu sama artinya pemerintah sedang mencoba memberlakukan kembali KTP merah putih yang dulu nya pernah diberlakukan di Aceh. Lebih bijaksana dikitlah kebijakannya, jangan kebijakan dikeluarkan dengan kondisi panik dan berujung hadirnya kepanikan berlebihan,” ujar mantan Kabid Advokasi Forum Paguyuban Mahasiswa dan Pemuda Aceh(FPMPA) itu.