Oleh : H. Roni Haldi, Lc*
ABDYA- Pada petang kamis malam jum’at sepulangnya Hamka dari “pelarian membawa hati” dari Medan ke Sumatera Barat, terjadilah musyawarah Muhammadiyah. Dengan gembira, sebagai kebiasaannya, diberitakanlah hasil perjalanannya, pertemuannya dengan pemimpin-pemimpin Sumatera Barat, pengalamanya ditengah jalan ketika kembali ke Medan. Tidak terus ke Jawa, melainkan ke Medan untuk melanjutkan perjuangan membela dan mempertahankan kemerdekaan.
Kawan-kawannya mendengarnya bercerita dengan tenang tanpa ada reaksi gembira dari hati mereka tercermin jelas di raut wajah. Begitu juga tak seorang pun menampakkan kesedihan diraut wajahnya, saat terdengar penggalan kisah sedih. Seakan ada hal berat yang mereka sedang pendam.
Setelah itu, berbicaralah Mohammad Yusuf Ahmad. Dengan sikap yang teguh dan sekali-kali tidak menentang matanya, tangannya kelihatan agak gemetar. Dibacakan suatu mosi, yang isinya menyatakan tidak percaya kepada kebijaksanaan beliau untuk memimpin perserikatan Muhammadiyah di Sumatera Timur. Karena dia meninggalkan kewajibannya di saat perserikatan benar-benar memerlukan kepemimpinannya. Oleh sebab salah satu dari dua opsi harus dipilihnya. Pertama, dia meletakkan jabatan sebagai konsul Muhammadiyah. Pimpinan Muhammadiyah diteruskan oleh Majelis Pimpinan dengan Ketua yang baru, tidak menggunakan konsul. Kalau Hamka selaku ketua berkeberatan meletakkan jawatannya, Majelis Pimpinan semua meletakkan jawatan dengan serentak.
Bagaimana reaksi Hamka selaku ketua yang sah, apakah Buya marah besar sambil memaki-maki? Ternyata tak berubah sedikit pun raut mukanya dan tak rampak gelisah cemas. Dengan senyum Hamka menyambut perkataan kawan-kawannya satu persyarikatan.
“Tuan-tuan, saya mengerti dan paham maksud Tuan-tuan. Saya pun tidak akan membela diri atas kejadian ini. Cuma satu yang kemusykilan. Keputusan saya menjadi konsul adalah dari Yogya sendiri. Saya belum dapat meletakkan jawatan!”
“Kalau begitu kamilah yang mengundurkan diri!”
“Saya minta jangan dulu. Saya lihat tanggal tuan memutuskan mosi yaitu tanggal 26 Agustus, saya berangkat 25 Agustus. Jadi kita keduanya sedang terpesona. Kita keduanya sedang tidak beres.”
Lalu dengan tenang berkatalah M. Yunani Nasution, “Bukan main tinggi mutunya pertemuan kita ini. Selama berkhidmat kepada organisasi dan kepada Pemerintah. Sikap konsul saya puji, tetapi dengan jujur saya hendak berkata, Apakah sikap kami ini salah? Harap Tuan jawab dengan objektif!”
“Sungguh tidak salah! Tetapi saya hendak bertanya pula apakah pendapat saya tentang pemberhentian konsul bergantung kepada keputusan Yogya, pada pandangan Tuan tidak benar pula?”
“Benar, benar! Kami paham!”
“Jadi, saya usulkan lebih baik kita diinginkan soal ini untuk empat hari saja.”
Dikisahkan Hamka dalam bukunya Kenang-kenangan Hidup, Cet.I, Jakarta, Gema Insani Press,2018. Setelah empat hari yang disepakati berlalu, Buya Hamka memutuskan bahwa dia tidak dapat berhenti karena mesti menunggu keputusan dari Yogya, maka dipersilahkan kawan-kawannya untuk berhenti dari kepengurusan. Sebuah keputusan teramat berat dirasa Hamka telah dipilihnya. Bekerja memimpin persyarikatan Muhammadiyah Sumatera Timur seorang diri tanpa kepengurusan. Namun pada saat itu bukan Muhammadiyah saja yang ia pikirkan, melainkan revolusi kemerdekaan Indonesia. Walau terasa sakit dari pukulan kawan-kawan sepersyarikatan dirasakannya merasuk hingga ke dalam tulang, namun ia telah menganggap diri “bagai batu, jika telah dilempar mestilah tenggelam ke dasar.”
Keseharian dijalankan Hamka masih sebagai Konsul tanpa anggota terasa hampa, bahkan terasa asing di tengah keramain. Ibarat tamu di rumah sendiri. Kala itu bulan September, ada musyawarah di cabang Medan yang ketuanya adalah M. Yunani Nasution, sahabat sehidup sematinya. Jangankan diberi kesempatan untuk berbicara sebagai Konsul, malah ada sindiran tajam menghina bukan dari sahabat sejatinya itu, tapi dari anggota persyarikatan lainnya yang menukik ke telinga Hamka.
“Kalau orang tidak suka kepada awak lagi, guna apa kita, mendekat juga? Kalau saya, saya tinggalkan tempat itu dan pergi ke tempat lain!”
Hubungan Hamka dengan kawan-kawannya tidak ia putuskan. Bila bersua masih bertegur sapa dan sama-sama tertawa dan sama-sama duduk juga. Walau sebagai pemimpin, orang tidak mengakuinya. Namanya telah disisihkan dari daftar khatib Jum’at, acara pertemuan atau musyawarah tak pernah diundang apalagi dipersilahkan untuk memberi sambutan. Bahkan dalam khutbah pun banyak khatib dari persyarikatan menyindir sikapnya tak mau melepas jabatan.
Banyak sikap tak pantas dan semestinya diterima Hamka dari kawan-kawan persyarikatannya, jika mengingat ke belakang bagaimana jasa Hamka terhadap persyarikatan dibela dan dibesarkannya walau berseberangan dengan para Sultan di Sumatera Timur. Lewat pengaruh ampuhnya dekat dengan Jepang terutama dengan Jenderal Tetsuzo Nakasihma; Gubernur Militer Jepang Sumatera Timur, hidup dan berkembang lah persyarikatan mulai dari Medan hingga ranting-ranting ke pelosok Sumatera Timur. Jika rapat atau pertemuan semasa itu dilarang tidak dibolehkan, namun ada pengecualian untuk Muhammadiyah.
Apa mau dikata, keputusan telah diambil tak mungkin lagi ditarik, sikap Hamka yang keras tegas bagai batu telah nyata dan sikap melalui mosi tak percaya kawan-kawan pun telah bulat mundur mengambil jalan. Memang Hamka dilanda galau berat tatkala terdengar kabar kekalahan Jepang, posisi hebat dan terpandang yang selama ini telah ia sandang sebentar lagi akan habis masanya seiiring habisnya masa penjajah Jepang di Nusantara. Kegalauan dan kebimbangan hati istilah yang telah mendorongnya memilih pindah badan dan hati dari Medan. Sulit diurai dengan kata bagaimana perasaan batin Hamka tak tentu walau sahabat karibnya M. Yunan Nasution telah pun menasehatinya agar bersabar sebentar tetap menetap di Medan.
“Jangan pergi Engku Haji, nanti Engku Haji dituduh lari.”
“Jangan sekarang Engku Haji, belum tepat waktunya untuk pergi.” Ujar M.Yunan Nasution meyakinkan Hamka.
Pendirian seseorang memanglah sulit untuk dirubah disamakan apatah lagi sudah menjadi karakter prinsip dalam diri. Walau kadang kala keputusan yang lahir dari karakter bertentangan berseberangan dengan kenyataan pandangan ramai orang. Walaupun Hamka bersumpah ia keluar dari Medan Menuju Sumatera barat bukan lari tapi menyambung cinta kemerdekaan. Siapa yang hendak mau terima dan mau percaya, terlanjur sangkaan buruk kawan-kawan persyarikatannya ditambah lagi gosokan fitnah dari lawan beda pendapatnya semasa memangku jawatan yang didapuk Jepang.
Setiap orang tentu punya jalan hidup yang telah dipilih dan mesti dilalui. Senang bahagia akan dirasa dinikmati tatkala kedudukan dan pangkat jawatan di dapat dimiliki. Namun kedudukan dan jawatan pasti lah tak selamanya berada dipundak dan dalam genggaman. Sesuatu yang diberi sudang barang tentu akan di ambil pulang kembali oleh pemiliknya. Masa bahagia pun telah dirasa, maka masa pahit pun akan datang menjelma menggantikan bahagia. Merasa tinggi lagi berpengaruh saat pangkat kuat menancam di puncak adalah wajar hingga di hati siapa saja yang sedang berpangkat berkedudukan. Namun kesadaran akan ada perubahan dari semua yang berjalan di muka bumi ini mestilah ada pada setiap orang yang berkedudukan dan berpengaruh. Agar sombong tidak diperturut, angkuh tidak merasuki dan tinggi hati tak menghancurkan diri.
Setelah angin badai reda dan langit pun cerah, penjajahan telah angkat kami dari bumi Nusantara. Semua memoar lama menjadi kenangan indah untuk dikenang diingat. Silaturrahim yang dulu telah terlanjur terganggu terputus lantaran nafsu orang muda masing-masing yang tak terbendung sekarang sudah lah bersambung bertaut kembali indah tak berbanding dari sebelumnya. Kasih sayang terpaut berpadu dengan persyarikatan Muhammadiyah di Medan. Kisah bahagia ini terlukis indah pada tahun 1966 saat Hamka bersama istri berkunjung ke Medan setelah menghirup udara bebas dari penjara. Sambutan bedar-bedaran di jalan Kamboja, Haji Bustami meluahkan rasa hati yang terpendam selama ini,
“Dia adalah guru kita… Tidak ada kita yang dapat melupakannya. Bertambah jauh jarak masa perpisahan kita dengan dia bertambah jelas jejak langkah yang ditinggalkannya pada kita. Bertambah jauh tempat tinggalnya sekarang, bertambah dekat dia di hati kita. Ke mana saja kita pergi di daerah ini, yang rampak ialah pimpinannya.” Ujar Haji Bustami sambil air matanya mengalir yang dulu menyindirnya dalam khutbah hari raya idul adha,
Keterbukaan Hamka bertutur cerita jalan hidupnya kepada kita menjadi peulajaran berharga dalam melangkah menapaki hidup. Silap salah adalah sifat dasar dari setiap manusia. Sadar akan kesilapan dan kesalahan diri itulah sebaik-baik manusia. Bangga mengagumi seseorang sampai seorang pemimpin atau seseorang kharismatik adalah normal terjadi, namun kecintaan dan kekaguman yang berlebihan kepada figur seseorang atau sebuah organisasi atau kelompok tertentu sering melanjutkan fanatisme membabi-buta yang menghadirkan ketidakpatutan dalam berfikir dan bertindak. Cintailah seseorang atau sebuah organisasi atau kelompok sewajar-wajarnya bukan berlebihan, karena suatu masa yang paling dicintai akan berubah menjadi yang paling dibenci. Dan membencilah seseorang atau sebuah organisasi atau kelompok tertentu sewajarnya saja, karena yang paling kita membenci bisa jadi di masa lain akan berubah menjadi yang paling kita cintai. Mencintailah sewajarnya saja dan membencilah sewajarnya saja.
*Penulis adalah Penghulu Muda KUA Kec. Susoh, Abdya dan Anggota IKAT Aceh serta penulis buku Semerbak Petuah Ayah.