Oleh : H. Roni Haldi, Lc*
ABDYA- Suatu hari, Buya Hamka menerima telepon dari bapak Chaerul Saleh, salah seorang Menteri di Kabinet Soekarno. Pak Chaerul Saleh mengatakan bahwa ia ingin datang bersilaturahim kepadanya sekaligus menyampaikan kondisi terakhir sakitnya Mr. Mohammad Yamin. Beliau jatuh sakit parah dan dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat; RSPAD.
Setelah tiba dan menjumpai Buya Hamka, Chaerul Saleh berkata;
“Buya, sayabmembawa pesan dari Pak Yamin. Beliau sedang sakit parah. Sudah berhari-hari dirawat. Saya sengaja datang menemui Buya untuk menyampaikan pesan dari Pak Yamin. Mungkin ini pesan terakhir dari beliau.” ujar Chaerul Saleh kepada Buya Hamka.
“Apa pesannya?” tanya Hamka.
“Pak Yamin berpesan agar saya menjemput dan membawa Buya ke Rumah Sakit. Beliau ingin menjelang ajalnya, Buya dapat mendampinginya. Saat ini, Pak Yamin dalam keadaan sekarat,” jawab Chaerul Saleh dihadapan Hamka.
Buya Hamka agak terkejut mendengar perkataan Chaerul Saleh. Teringat bagaimana keretakan hubungan antar mereka berdua, dimana Mohammad Yamin sangat membencinya.
“Apalagi pesan Pak Yamin?” Buya Hamka kembali bertanya kepada Chaerul Saleh.
“Begini Buya, Pak Yamin punya keinginan jika beliau meninggal bisa dimakamkan di kampung halamannya yang telah lama tidak dikunjunginya. Ada kekhawatiran dihatinya kalau-kalau masyarakat Talawi, kampung halamannya menolak pemakaman jenazahnya. Biau sangat berharap agar Buya bisa menemaninya sampai ke liang lahatnya.” Ujar Chaerul Saleh dengan wajah penuh harap agar pesan yang diamanahkan kepadanya dalat kiranya dikabulkan oleh Buya Hamka.
Sejenak Buya Hamka terdiam seakan berfikir.
“Kalau begitu, mari antar saya ke RSPAD sekarang juga menemui beliau.” ajak Hamka kepada Chaerul Saleh. Tanpa berlama-lama Chaerul Saleh membawa Buya Hamka ke RSPAD menjumpai Mohammad Yamin yang sedang menunggu kedatangannya.
Di ruangan VIP, Mohammad Yamin sedang terbaring ditempat tidur denga selang dan infus oxygen tampak terpasang. Begitu melihat kedatangan Buya Hamka yang ditemani Chaerul Saleh, langsung tampak berseri di wajahnya. Mohammad Yamin berusaha melambaikan tangan walau sangat lemah tak berdaya seakan ingin memberi isyarat agar Buya Hamka lawan seterunya dulu untuk mendekat. Salah seorang pengunjung meletakkan kursi untuk Buya Hamka duduk di dekat Mohammad Yamin. Lalu Buya Hamka mengulurkan tangannya menjabat tangan Mohammad Yamin yang sedang terbaring tak berdaya, lalu dengan lembut Buya Hamka mencium kening tokoh seterunya yang bertahun-tahun membencinya.
“Terima kasih Buya sudah Sudi untuk datang,” bisik Mohammad Yamin ke telinga Hamka. Dari kedua kelopak matanya tampak tak terbendung air matanya keluar menggenang membasahi pipinya.
“Dampingi saya!” bisiknya lagi penuh harap kepada Hamka. Sedangkan tangannya masih menggenggam kuat tangan Buya Hamka.
Lalu, Buya Hamka membisikkan surat Al Fatihah dilanjuty kalimah thayyibah La Ilaha Illa lah. Dengan lemah Mohammad Yamin mengikuti bacaan Buya Hamka. Kemudian Hamka mengulangi membaca kalimat tauhid sebanyak dua kali ke telinga Mohammad Yamin. Dan pada bacaan yang kedua, sudah tidak terdengar lagi suara Mohammad Yamin mengikuti bacaan Buya Hamka. Hanya ada isyarat semakin kencangnya genggaman tangannya ke tangan Buya Hamka. Dan kali ketiga Buya Hamka mengulang kembali bacaan kalimat tauhid yang dibisikkan ke telinganya. Namun sudah tak ada respon sedikit pun dari Mohammad Yamin. Dan bahkan genggaman tangannya semakin mengendur dan tangannya mulai terasa dingin kemudian perlahan terlepas lah genggaman tangannya. Tak berapa lama, datanglah seorang dokter memeriksa dan kemudian mengabarkan bahwa Mohammad Yamin telah tiada.
Dan Irfan Hamka mengatakan dalam bukunya Ayah, Jakarta, Republika penerbit, 2014, Cet. VIII,hal.259. keesokan harinya sesuai dengan permintaan almarhum Mohammad Yamin agar Buya Hamka menemani jenazahnya hingga ke pemakaman di desa Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat kampung halamannya.
Begitulah dua tokoh bangsa yang berseteru mengambil jalan yang berbeda. Namun tajamnya perbedaan prinsip dan dalamnya jurang pemisah ideologi politik antara kedua tokoh tersebut tak menjadikan keduanya saling membenci sampai mati. Walau berbeda berseteru semasa sehat dan miliki pengaruh besar, namun disaat sakit yang mengantarkan kepada kematiannya Mohammad Yamin ternyata merindukan kehadiran dan bimbingan kalimat tauhid dari Buya Hamka.
Tatapannya begitu tenang. Tak ada rasa benci tersimpan terpendam dihatinya. Tak ada dendam yang mendekam di ubun-ubun kepalanya. Benar-benar menjalani kehidupan dengan lapang dada dan kejernihan pikiran. Seakan Buya Hamka memberi pesan kepada kita dengan mengatakan, “Benci itu hak diri saat disakiti dan dikhianati. Namun benci jangan sampai dibiarkan berlama-lama menancap dalam kemudian berakar, karena benci yang kuat menghujam dikedalaman hati akan tumbuh tinggi pohonnya hingga sampai menguasai akal pikiran. Itulah sebabnya benci mampu mematikan akal pikiran dan merusak pribadi seseorang hingga merubahnya menjadi sosok pendendam.”
Segala sesuatu pasti ada baik dan ada pula buruknya. Namun di mata seorang pembenci hanya ada buruknya, walau baik begitu banyak telah dirasa. Sedikit buruk dihadapan pembenci mampu menguburkan segunung kebaikan yang pernah diterima dirasa. Pembenci bisa berubah menjadi pendendam, dan pendendam bukan pemaaf.
*Penulis adalah Penghulu Muda KUA Susoh, Abdya dan Anggota Ikatan Alumni Timur Tengah (IKAT) Aceh serta penulis buku Mahligai Terindah di Rumah Nan Berkah