IBNU seakan tidak percaya dengan apa yang disampaikan Ahmadi. Ia tidak percaya bahwa selama ini ia mencintai anak seorang tentara. Riska ternyata anak seorang tentara. Sementara dirinya adalah korban konflik yang memiliki sejarah kelam di masa lalu, saat Aceh masih berkonflik.
Tak salah Riska memang jika dia lahir dari keluarga tentara. Tapi untuk melupakan masa lalu juga sangat sulit bagi Ibnu.
Ia mungkin tak memiliki ideologi kuat seperti anak GAM pada umumnya. Tapi ingatan tentang masa lalu tetap menghantui hidupnya.
Selama ini, Ibnu begitu terus terang kepada Riska bahwa ia membenci seragam loreng. Hati Riska pasti remuk. Namun sosok itu masih tetap tersenyum ke arahnya.
“Haruskah aku terus menyimpan dendam ini?” gumam Ibnu dalam hati.
Ia kemudian terdiam. Ia terdiam lama. Hatinya hancur dengan kenyataan yang disampaikan Ahmadi.
Ibnu tak peduli jika Riska adalah keturunan Jawa. Ayahnya semasa hidup tak berjuang melawan suku Jawa tapi ketidakadilan dari pemerintah pusat yang berada di Jakarta.
“Riska pasti sakit hati,” gumam Ibnu lagi.
Ahmadi hanya mengamatinya dengan seksama. Ia seperti seorang ayah yang membiarkan anaknya berpikir usai melakukan kesalahan fatal.
“Riska menceritakan semua tentangnya kepadamu, Wak. Kenapa ia tidak melakukan hal yang sama agar aku tak melakukan kesalahan seperti sekarang,” kata Ibnu akhirnya. Ia menatap Ahmadi dalam-dalam.
Sementara Ahmadi, ia tahu jika pertanyaan tersebut akhirnya akan meluncur dari bibir Ibnu.
“Riska tidak siap kehilanganmu, Nu. Ia memiliki ketakutan yang sama seperti dirimu. Atas dasar itu, aku memintanya untuk menyembunyikan indetitasnya hingga kamu siap. Ia mungkin juga tak menyangka jika kamu akhirnya melihat dengan mata sendiri,” ujar Ahmadi.
“Aku tahu jika kau memiliki masa lalu yang suram serta trauma yang mendalam dengan baju loreng. Tapi kau juga harus tahu jika Riska juga mengalami hal serupa denganmu di masa lalu.”
“Kakeknya meninggal dalam perang di Aceh belasan tahun lalu. Ia juga korban. Konflik yang membuat dua kubu ini berperang di masa lalu. Kini Aceh sudah damai. Aku berharap kau bisa melupakan masa lalu itu,” kata Ahmadi.
Ibnu hanya tertunduk lesu. Ia terdiam dengan kata-kata yang meluncur dari mulut Ahmadi. Kalimatnya seakan menohok dirinya.
“Aku juga tak ingin seperti ini, Wak. Tapi masa lalu seakan menjerat kepalaku dengan amarah. Tubuhku bergetar setiap melihat baju loreng,” kata Ibnu.
“Berulangkali aku menyakinkan diri bahwa semua itu telah selesai. Namun berulangkali pula batinku menjerit saat melihat baju loreng,” ujarnya lagi.
Keduanya kemudian terdiam. Ahmadi kehabisan kata-kata untuk menarik Ibnu dari keterpurukan batinnya. Namun ia sepertinya gagal.
“Hanya kau yang bisa menghapus masalalumu, Nu. Satu hal yang perlu kau ketahui, Riska itu gadis spesial. Ia tetap bersamamu saat kau menghina kebanggaannya. Jika kau menjauhinya hanya karena ketakutanmu, maka kau tidak akan pernah memiliki orang seperti Riska lagi di masa depan,” kata Ahmadi.
“Ia gadis langka. Kalau kau tidak melawan ketakutanmu, kau akan kehilangan dia. Bukankah wasiet terakhir ayahmu untuk melupakan dendam di masa lalu,” ujar Ahmadi lagi.
Kali ini, kata-kata Ahmadi seperti menusuk jantungnya.
[Bersambung]