Oleh : H. Roni Haldi, Lc*
Dunia diciptakan Allah Ta’ala memang sebagai tempat digulirkannya ujian, tak terkecuali semuanya akan diuji menurut kadar kemampuan. Beriman tidak beriman, semuanya akan mendapat jatah menerima ujian.
“yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya dan Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun,” (QS. Al-Mulk : 2).
Ujian yang digulir kepada manusia datang dari berbagai sisi kehidupan. Ada rasa takut yang menghantui, kelaparan kesulitan makanan yang menyusahkan, kekurangan dan kehilangan harta, dan musibah wabah penyakit yang menggoncang jiwa.
“Dan sungguh kami akan mengujimu dengan ketakutan, kelaparan, kekurangan dalam hal harta, jiwa, dan buah-buahan, dan berilah kabar gembira terhadap orang-orang yang bersabar.”(QS. al Baqarah : 155).
Ibnu Hibban meriwayatkan di dalam kitab “Ats-Tsiqat” sebuah kisah tentang ketinggian kesabaran yang berbuah syurga. Kisah imam besar, Abu Qilabah Al-Jurmy Abdullah bin Yazid salah seorang perawi yang meriwayatkan dari Anas bin malik. Dan yang meriwayatkan kisah ini adalah Abdullah bin Muhammad. Berikut kisahnya :
Saya keluar untuk menjaga perbatasan di Uraisy Mesir. Ketika aku berjalan, aku melewati sebuah perkemahan dan aku mendengar seseorang berdoa,
“Ya Allah, anugerahkan aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmatMu yang telah engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku dan agar aku mengerjakan kebajikan yang Engkau ridhai. Dan masukkanlah aku dalam rahmatMu ke dalam golongan hamba-hambaMu yang shalih.” (QS. An-Naml: 19).
Aku melihat orang yang berdoa tersebut, ternyata ia sedang tertimpa musibah. Dia telah kehilangan kedua tangan dan kedua kakinya, matanya buta dan kurang pendengarannya. Beliau kehilangan anaknya, yang biasa membantunya berwudhu dan memberi makan…
Lalu aku mendatanginya dan berkata kepadanya, “Wahai hamba Allah, sungguh aku telah mendengar doamu tadi, ada apa gerangan?”
Kemudian orang tersebut berkata, “Wahai hamba Allah. Demi Allah, seandainya Allah mengirim gunung-gunung dan membinasakanku dan laut-laut menenggelamkanku, tidak ada yang melebihi nikmat Tuhanku daripada lisan yang berdzikir ini.” Kemudian dia berkata, “Sungguh, sudah tiga hari ini aku kehilangan anakku. Apakah engkau bersedia mencarinya untukku? (Anaknya inilah yang biasa membantunya berwudhu dan memberi makan)
Maka aku berkata kepadanya, “Demi Allah, tidaklah ada yang lebih utama bagi seseorang yang berusaha memenuhi kebutuhan orang lain, kecuali memenuhi kebutuhanmu.” Kemudian, aku meninggalkannya untuk mencari anaknya. Tidak jauh setelah berjalan, aku melihat tulang-tulang berserakan di antara bukit pasir. Dan ternyata anaknya telah dimangsa binatang buas. Lalu aku berhenti dan berkata dalam hati, “Bagaimana caraku kembali kepada temanku, dan apa yang akan aku katakan padanya dengan kejadian ini? Aku mulai berpikir. Maka, aku teringat kisah Nabi Ayyub ‘alaihis salam.
Setelah aku kembali, aku memberi salam kepadanya.
Dia berkata, “Bukankah engkau temanku?”
Aku katakan, “Benar.”
Dia bertanya lagi, “Apa yang selama ini dikerjakan anakku?”
Aku berkata, “Apakah engkau ingat kisah Nabi Ayyub?”
Dia menjawab, “Ya.”
Aku berkata, “Apa yang Allah perbuat dengannya?”
Dia berkata, “Allah menguji dirinya dan hartanya.”
Aku katakan, ”Bagaimana dia menyikapinya?”
Dia berkata, “Ayyub bersabar.”
Aku katakan, “Apakah Allah mengujinya cukup dengan itu?”
Dia menjawab, “Bahkan kerabat yang dekat dan yang jauh menolak dan meninggalkannya.”
Lalu aku berkata, “Bagaimana dia menyikapinya?”
Dia berkata, “Dia tetap sabar. Wahai hamba Allah, sebenarnya apa yang engkau inginkan?”
Lalu aku berkata, “Anakmu telah meninggal, aku mendapatkannya telah dimangsa binatang buas di antara bukit pasir.”
Dia berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak menciptakan dariku keturunan yang dapat menjerumuskan ke neraka.”
Lalu dia menarik nafas sekali dan ruhnya keluar, ia pun meninggal. Setelah selesai menguburkannya, Abu Qilabah Al-Jurmy Abdullah bin Yazid kembali ke perbatasan. Lalu, dalam tidurnya Abu Qilabah Al-Jurmy Abdullah bin Yazid melihat lelaki tua itu dalam mimpinya, kondisinya sehat. Aku berkata kepadanya, “Bukankah engkau sahabatku?” Dia berkata,” Benar.” Aku berkata, “Apa yang Allah lakukan terhadapmu?” Dia berkata, “Allah telah memasukkanku ke dalam surga dan berkata kepadaku, ‘Keselamatan atasmu berkat kesabaranmu.’” (QS. Ar-Ra’d: 24). “Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28).
Sungguh kisah yang mengharukan, kesabaran dalam kepapaan dan himpitan kesulitan dilalui dengan lapang hati. Buta matanya, kaki dan tangan pun tiada ditambah lagi kehilangan harta satu-satunya yang dimiliknya; anak semata wayang. Namun iman telah memupuk bibit kesabaran dihati sanubarinya, telah menguatkan kedudukannya seakan ia sempurna sama seperti manusia lainnya.
Imam Syafii dalam sebuah syairnya pernah mengingatkan kita bahwa nilai dari sebuah kesabaran adalah keselamatan.
صَبرا جَميلا مَا أقرَبَ الفَرجا … مَن رَاقَب اللَّهَ فِي الْأُمُورِ نَجَا …
مَن صَدَق اللَّهَ لَم يَنَلْه أذَى … وَمَن رَجَاه يَكون حَيثُ رَجَا …
“Bersabarlah dengan kesabaran yang baik, maka alangkah dekatnya jalan kemudahan itu. Barang siapa yang merasa dirinya selalu berada dalam pengawasan Allah dalam semua urusan, niscaya ia akan selamat.”
“Dan barang siapa yang membenarkan janji Allah, niscaya tidak akan tertimpa oleh musibah. Dan barang siapa yang berharap kepada Allah, maka akan terjadilah seperti apa yang diharapkan.”
Musibah wabah virus Corona atau Covid-19 dalam beberapa bulan ini telah merusak tantanan hidup manusia sehari-hari. Mulai dari ketakutan terserang wabah, hingga ketakutan akan menjadi penambah penyumbang angka kematian. Silaturahim dan pertemuan sdh jarang dan bahkan dihindari dilakukan. Jaga jarak dan tinggal dirumah saja menjadi pilihan yang dianjurkan. Nyatalah bahwa wabah yang tidak tampak ini telah banyak membuat kerusakan dan menyusahkan banyak orang.
Menghadapi kondisi hari yang sangat dibutuhkan saat ini adalah kesabaran disamping ikhtiar berupa pencegahan serta doa sebagai bentuk penyerahan diri kepada Allah SWT. Meraih hingga sampai ke tingkat tinggi sebuah kesabaran diperlukan usaha kuat bernama perjuangan dan pengorbanan. Kesabaran yang awalnya pahit namun diakhir pasti memetik buah manis dari kesabaran. Tanamkan dalam diri bahwa “dunia adalah negeri singgahan tempat diuji dan beramal, akhirat lah kampung tempat kembali yang berkenalan.”
*Penghulu Muda KUA Kec. Susoh, Abdya dan penulis buku Lingkaran Pekat Muslihat