“Aku kena,” ujar Teungku Fiah. Mulutnya berlumur darah.
Wajah Ridwan terlihat panic. Mustafa juga memegang dada yang berlumuran darah.
“Aku juga teungku. Mungkin ini akhir dari perlawanan kita,” ujarnya.
Ridwan mencoba mengurangi kecepatan kemudian berbelok ke jalan kampung untuk menghilang dari kejaran patroli tentara republic. Langkahnya cukup jitu. Mereka lolos dari sergapan musuh. Namun pendarahan Teungku Fiah cukup deras. Demikian juga dengan Mustafa.
Keadaan ini membuat Ridwan kian panik. Ia membuka bajunya untuk menahan pendarahan yang dialami oleh Teungku Fiah. Namun pria tua itu justru memberikan kepada Mustafa.
“Aku tak mungkin tertolong lagi. Selamatkan Mustafa saja,” ujarnya dengan nafas terpotong-potong. Ia kemudian meletakan baju di dada Mustafa.
“Antarkan aku ke depan rumah dan kemudian larikan Mustafa ke dokter Ichsan di Bireuen. Ia bisa mengobati Mustafa,” ujar Teungku Fiah lagi.
Dalam keadaan panic, Ridwan mengangguk. Tapi dia masih ingin menyelamatkan kedua tentara nanggroe itu. Menempuh jalan kampung, mereka akhirnya tiba di rumah yang ditempati Sakdiah.
Saat tiba di lokasi, Ridwan bergegas mengetuk pintu dan menarik Sakdiah ke luar rumah. Hal ini membuat wanita tua itu ikutan panic. Istri Mustafa ikutan keluar dengan wajah kalut. Istri Mustafa sedang hamil besar.
“Kak kami disergap di jalan. Teungku Fiah dan Mustafa tertembak. Saya ingin membawa keduanya ke dokter. Ayo ikut,” ujarnya.
Sakdiah mengangguk. Ia membangunkan Ibnu dan mengajak bocah itu untuk ikut bersama. Demikian juga dengan istri Mustafa.
Namun ketiganya menjerit saat melihat mengalir deras dari tubuh Teungku Fiah dan Mustafa. Darah membasahi mobil Kijang tersebut.
“Jangan panic. Ridwan bergegas pergi,” ujar Mustafa.
Mustafa memeluk istrinya. Sedangkan Sakdiah merangkul suaminya yang sedang sekarang. Ibnu menatap wajah ayahnya dengan kaku.
“Ayah mungkin tak sanggup bertahan lama Nak. Jaga ibumu baik-baik jika ayah menghembus nafas terakhir nanti,” ujar Teungku Fiah sambil menatap Ibnu. Ia mencoba menahan rasa sakit akibat butiran peluru yang menembus dada dan perutnya.
Pesan Teungku Fiah membuat Ibnu menangis. Demikian juga dengan Sakdiah.
“Jangan menangis. Ada dua abangmu yang menanti ayah di sana. Kalian berdua harus tegar. Jangan mudah menyerah dan putus asa. Sekolahlah yang tinggi. Lihatlah dunia dengan cara yang berbeda dengan ayahmu ini,” ujar Teungku Fiah lagi.
“Berbaktilah untuk Aceh dengan caramu sendiri. Kelak ketika kau dewasa, buatlah ayah bangga,” katanya lagi.
Tubuh Teungku Fiah kaku usai berkata-kata dengan Ibnu. Nafasnya terputus. Keadaan ini membuat suasana kian kalut. Air mata Sakdiah dan Ibnu tumpah. Mereka memeluk Teungku Fiah dengan erat meski darah membasahi baju mereka.
Sementara Mustafa hanya menatap dengan pandangan kosong.
“Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.”
[Bersambung]