H. Roni Haldi, Lc*
*Penghulu Muda KUA Kec. Susoh dan Anggota Ikatan Alumni Timur Tengah (IKAT) Aceh
Imam Ibnu Majah rahimahullah dalam karyanya, Sunan Ibnu Majah, mengisahkan tentang dua orang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam yang salah satunya lebih sungguh-sungguh dalam beramal dibandingkan temannya. Sahabat tersebut ikut dalam pertempuran jihad hingga akhirnya menjemput mati syahid. Sedangkan sahabat satunya, amalan ibadahnya biasa-biasa saja, dan masih hidup setahun kemudian. Ia ditakdirkan meninggal di atas ranjang.
Sahabat Thalhah bin Ubaidilah radhiyallahu ‘anhu bermimpi melihat keduanya berada di pintu surga. Lalu orang yang meninggal belakangan dan mati di atas ranjang justru dipersilakan masuk surga terlebih dahulu. Setelah itu barulah dipersilakan masuk temannya yang lebih sungguh-sungguh dalam ibadah dan memperoleh syahid di medan pertempuran.
Thalhah menceritakan mimpi tersebut kepada orang-orang. Cerita itu kemudian mengundang keheranan para sahabat radhiyallahu ‘anhuma.
Selanjutnya berita mimpi Thalhah dan keheranan manusia kala itu pun sampai kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam.
Nabi pun berkata, “Bukankah orang yang mati di ranjangnya itu masih hidup setahun setelah kematian temannya yang terbunuh di jalan Allah?”
Para sahabat menjawab, “Benar.”
Rasulullah bertanya lagi, “Dan ia mendapati bulan Ramadhan lalu ia berpuasa dan shalat sekian dan sekian dalam setahun?”
Para sahabat menjawab, “Benar, ya Rasulullah.”
Rasulullah pun bersabda, “Sungguh, jarak (derajat) antara keduanya sebagai jarak antara langit dan bumi.”
Umur yang panjang merupakan nikmat Allah yang sangat berharga. Ia merupakan modal utama beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Namun, umur seseorang tak mengenal siaran tunda. Cerdas memanfaatkan umur adalah kemenangan awal yang membuat jarak yang jauh di antara hamba-hamba-Nya.
Hidup hanya sekali. Maka, hiduplah yang berarti. Waktu dan umur yang kita lewati, sekali berlalu pergi, tak akan pernah kembali. Ia pergi dengan membawa sejumlah catatan yang telah digoreskan. Berbuatlah dalam kebajikan, sekecil apa pun! Semoga kebaikan yang kecil itu menambah berat amal timbangan kebaikan kita di akhirat kelak.
Ya, hidup tak mengenal siaran tunda, maka bekerjalah dalam kesungguhan dan keikhlasan. Sekali waktu yang telah berlalu, maka tak akan pernah kembali. Setiap detik jarum panjang yang bergeser berpindah dari jam, telah menjadi sesuatu yang lampau dikira. Ia pergi dan kita masih di sini, dengan sejuta persoalan yang membelenggu diri kita.
Seorang penyair sufi berkata, “Tidaklah fajar hari ini terbit, kecuali ia akan memanggil, ‘Wahai anak Adam, aku adalah ciptaan yang baru dan aku akan menjadi saksi atas setiap pekerjaanmu, maka mintalah bekal kepadaku. Karena bila aku telah berlalu, aku tak akan kembali hingga hari kiamat tiba’.”
Sering kali sebagian kita mudah berkeluh kesah dalam hidup ini. Padahal, keluh kesah kita tak menyelesaikan persoalan sedikit pun. Hakikatnya manusia memang tak lepas dari berkeluh kesah, karena keluh kesah adalah jati diri manusia. Banyak lebih nikmat didapatkan, keluh kesah hadir takut kekurangan bahkan cemas kehilangan banyak nikmat yang telah didapatkan. Sedikit kekurangan nikmat apalagi, yakni makin menegangkan urat keluh kesah diri.
Mari kita renung sejenak dalam pemahaman yang sama. Apa saja yang sudah kita khidmatkan dalam hidup kita ini? Bersegeralah! Sebab, hidup tak mengenal siaran tunda.
Merenunglah sejenak suatu keharusan, namun jangan terlalu lama dan panjang dalam renungan. Karena menghabiskan waktu hanya untuk merenung juga tak baik tanpa berbuat sesuatu untuk perubahan. Kata orang bijak, bertafakur satu jam lebih baik daripada bekerja sepuluh jam tanpa tahu makna dan arti. Lihatlah sekelilingmu, dan segera setelah itu pasti engkau akan bersyukur. Lihatlah bagaimana Allah menciptakanmu dengan penuh kesempurnaan. Lihatlah bagaimana Allah memberimu begitu banyak nikmat.
وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لا تُحْصُوهَا إِنَّ الإنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ (٣٤)
Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (Q.s. Ibrahim [14]: 34)
Dengan bertafakur, tersadarlah bahwa kita—alhamdulillah—diciptakan sempurna. Tak kurang suatu apa pun. Yang telah berlalu, biarlah ia pergi bersama waktu. Suka atau tidak, setiap kita punya kenangan dengan masa lalu. Berapa banyak di antara kita yang asyik merenung kejayaannya masa lalu, padahal ia telah menjadi arsip sejarah hanya untuk dikenang-kenang. Masa lalu adalah periode yang tak mungkin kita kembali kepadanya. Yang telah berlalu, biarlah ia pergi berlalu bersama waktu.
Cukup jadikan ia sebagai iktibar berharga untuk masa yang akan datang.
Masa lalu adalah kenangan, ia tak mungkin kembali. Jika engkau seorang jenderal yang sudah pensiun, tetaplah engkau pensiunan jua. Tak ada lagi tongkat komando, tak ada pula ajudan dan pengawal. Jika engkau seorang pejabat yang sudah pensiun, tetaplah engkau disebut pensiunan. Tak ditanya lagi Nomor Induk Pegawai apalagi pangkat golongan, bahkan lazim hanya dipanggil “bapak” atau “ibu” tanpa embel-embel tambahan ketika menunggu antrean mengambil uang pensiunan. Masa lalu adalah cermin untuk kita belajar. Tak lebih dan tak kurang. Sebab, sekali lagi, hidup tak mengenal siaran tunda. Belajarlah dari para penguasa yang telah berlalu dalam kelaliman. Mereka memupuk harta, namun saat mati tak membawanya sedikit pun ke alam baka.
Penyair Arab menulis:
Mana para raja zaman dahulu
Tinggalkan istana-istana yang sepi
Mengumpulkan harta dengan segenap kesungguhan
Harta-harta itu ternyata tetap apa adanya
Carilah mereka, apakah engkau dapati mereka
di rumah-rumah mereka
Tidak, kecuali tulang belulang yang telah usang.
Warnailah hari-hari dirimu, sebab hidup tak mengenal siaran tunda. Jadikan ia merah, kuning, biru, coklat, ungu, putih dan jingga—seperti warna pelangi—dalam aktivitas keseharian. Cerialah, sebab senyumanmu untuk saudaramu bernilai sedekah. Kebahagiaan tak dapat kau beli dengan uang, tapi ia dapat kau ciptakan dengan mensyukuri setiap keadaan dari keberadaan.
Sebab hidup tak mengenal siaran tunda, bersegeralah mewarnai hari-hari dengan kebaikanmu. Segera tunaikan shalat sesaat setelah azan berkumandang. Itulah kebaikanmu hari. Warnai pula silaturahim dengan sahabat, handai tolan. Mereka yang rajin bersilaturahmi niscaya dipanjangkan umur dan kesempatannya. Bersedekahlah walaupun kau dalam keadaan susah! Warnai pula kebaikanmu dengan menjenguk tetangga yang sakit, saudara yang malang, dan tetangga yang mengundang. Hak-hak seorang Muslim atas Muslim lainnya ada enam: kala berjumpa, ucapkan salam; diundang, penuhi undangannya; perlu nasihat, nasihatilah ia; bersin, ucapkan “semoga Allah menyayangimu”; sakit, kunjungi; dan jika meninggal dunia, antarkan ia hingga ke kuburannya.
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam dalam sabdanya telah mengingatkan umatnya tentang umur batas hidup di alam fana:
أعمار أمتي ما بين ستين إلى سبعين وأقلهم من يجوز ذلك
“Umur umatku antara 60 sampai 70 tahun, dan sedikit sekali yang melampaui umur tersebut.” (H.r. Tirmidzi)
Ketahuilah, seluruh waktu dalam bilangan-Nya takkan mengenal siaran tunda, termasuk Ramadhan. Ramadhan adalah hari-hari yang berbilang yang pasti akan pergi meninggalkan kita. Demikianlah kehidupan dunia yang sementara yang akan membawa kita kepada kehidupan yang abadi. Dan Muslim yang cerdas adalah yang memahami hakikat kehidupan dunia, sehingga ia menjadikan dunia sebagai sarana dan ladang amal untuk memperoleh kehidupan abadi di akhirat kelak. Ia tidak melalaikan kehidupan yang sebenarnya, yang kekal abadi, karena menyadari bahwa umur manusia sangatlah singkat di dunia. Ramadhan adalah waktu tepat untuk menyadari akan kepastian akan keyakinan bahwa hidup takkan ada siaran tunda. Maka, manfaatkanlah hitungan hari-hari selama Ramadhan dengan amalan yang berguna. []