BAGI Ibnu, ada pola perjuangan yang berbeda jauh antara masa konflik dengan seusai damai. Semuanya bermuara pada komitmen dan daya tahan barisan local terhadap taktik yang sedang berjalan.
Namun, satu hal yang pasti, semua hal tersebut hanya soal waktu untuk kembali ke siklus awal. Pemerintah pusat sendiri tak akan percaya 100 persen dengan komitmen yang disampaikan mantan pimpinan gerakan Aceh merdeka. Mereka sedang bermain catur untuk setidak gerakan yang dilakukan pasukan nanggroe.
Ketika uang sudah pada tahap kepentingan urgen, maka disitulah fase akhir dari perubahan siklus itu sendiri.
Dari ego local, orang-orang di Aceh akan kembali nasionalis. Termasuk mereka yang mengaku para pejuang itu sendiri.
Sama seperti masa lalu, perjuangan Aceh akan selalu kandas jika dihadapkan dengan persoalan uang. Kemudian kesenjangan social akan tumbuh serta berakhir dengan gerakan baru yang lebih dahsyat.
Gerakan baru akan dipimpin oleh mereka yang kecewa dengan perjuangan. Dua orang yang ditemuinya saat ini seperti Lemha dan Aneuk Meuruwa.
Ibnu sendiri merasakan perubahan tersebut. Namun ia enggan untuk terjun ke politik seperti kebanyakan anak syuhada lainnya. Atau bergabung dengan barisan Lemha yang selalu menghubunginya selama ini.
Lemha sendiri berulangkali menghubunginya untuk menyusul mereka ke Malaya. Kabarnya, di sana banyak anak syuhada yang kini bergabung. Entah taktik seperti apa yang sedang dijalankan, namun beberapa di antara mereka, kini ada yang menyeberang ke sejumlah negara untuk belajar.
Sedangkan Ibnu belum tertarik dengan tawaran Lemha. Ia masih mencoba berjalan dengan kemampuan pribadinya. Selain itu, ia juga menjalankan wasiet dari ayahnya untuk menempuh cara-cara yang berbeda untuk Aceh.
Ia percaya tuhan tak akan meninggalkannya. Ia juga percaya bahwa tetua perjuangan sedang melakukan hal yang terbaik bagi Aceh.
Soal beasiswa, Ibnu cuma bisa pasrah ketika Pemerintah Aceh yang sejatinya kini dikomandoi oleh tetua perjuangan, melupakan dirinya.
“Masih banyak yang lebih membutuhkan dibandingkan dengan diriku. Aku bisa menghadapi persoalan ini sendiri. Sebelum ini, banyak masalah besar yang datang silih berganti dan aku bisa melalui semua hal tadi,” gumam Ibnu.
“Aku harus berbaik sangka kepada siapapun. Dengan demikian hidupku akan lebih baik. Ujian ini tidak mungkin akan selalu menghampiriku. Aku hanya harus mampu bertahan dan mencari solusi sendiri,” gumamnya lagi.
Ahmadi mengamati Ibnu dengan seksama. Pria itu seolah penasaran dengan langkah yang akan ditempuh oleh Ibnu saat semua pintu beasiswa tertutup baginya. Demikian juga dari barisan kaum pejuang yang kini jadi penguasa di Aceh.
“Kenapa kau tidak bertemu dengan mereka yang pernah sejalan dengan ayahmu, Nu? Aku yakin mereka pasti akan membantu,” ujar Ahmadi.
“Saat ini hampir semua dinas dan pegawai tunduk atas arahan mereka. Kalau kau tidak mau, biar aku saja yang datang menemui mereka,” kata Siwak lagi.
Ibnu tertawa dengan statemen Ahmadi. Ia tahu jika sahabatnya itu tahu akan jawabannya.
“Saat ditinggalkan ayah dan kemudian ibuku. Usiaku itu 7 tahun. Kemudian hampir 12 tahun bertarung hidup sendiri. Ternyata aku bisa melalui semua kendala tadi hingga seperti sekarang. Aku tak akan mengemis hanya untuk bisa melanjutkan program Magister,” ujar Ibnu.
“Aku yakin tuhan akan memberi solusi terbaik bagiku. Ujian ini hanya untuk membentuk karakterku lebih baik lagi,” katanya. []