Oleh : H. Roni Haldi, Lc*
*Penghulu Muda KUA Kec. Susoh, Abdya dan Mahasiswa Prodi Hukum Keluarga Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Dalam beberapa hari ini kita disuguhkan di media sosial perdebatan publik, pasca pernyataan Presiden RI Joko Widodo dalam program mata Najwa soal perbedaan antara mudik dengan pulang kampung pada masa pandemi virus Corona atau Covid-19. Bermacam komentar bermunculan. Ada yang pro dan tak sedikit pula yang kontra.
Terlepas dari perdebatan tersebut. Jika kita mau cermati, sesungguhnya kedua istilah yang dikomentari dan diperdebatkan oleh banyak orang tersebut kedua-duanya memiliki hakikat makna disebalik lahirnya yang begitu mendalam perlu dihayati bukan terlalu banyak dan lama dikomentari. Hakikat makna yang mampu menghentakkan keakuan diri dan kerasnya hati seseorang.
Pulang kampung atau mudik adalah dua istilah yang menjadi dambaan setiap orang yang merantau di negeri orang, jauh dari bayang kampung kelahiran. Pulang kampung atau mudik itu suatu tradisi kental mengakar yang begitu sulit ditinggal diabaikan oleh semua orang siapapun jua, termasuk penulis sendiri. Jangan saya, anda dan masyarakat lainnya, bahkan seorang utusan Allah SWT sekelas Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa salam pun merindui untuk mudik pulang ke Makkah kampung halamannya. Ibnu Abbas dalam hadis riwayat al-Tirmidzi menjelaskan betapa cinta dan bangganya Rasul pada tanah kelahirannya. Rasa cinta tersebut terlihat dari ungkapan kerinduan Nabi Muhammad terhadap Mekah; kampung halamannya. Beliau mengatakan, “Alangkah indahnya dirimu (Mekah). Engkaulah yang paling kucintai. Seandainya saja dulu penduduk Mekah tidak mengusirku, pasti aku masih tinggal di sini” (HR: al-Tirmidzi).
Sebuah pepatah Inggris mengingatkan: “It doesn’t matter where you’re coming from; all that matters is where you’re going.” Tidak penting dari mana asalmu, yang penting hendak kemana kau pergi.’’ Sebuah pernyataan sikap begitu pentingnya arti sebuah mudik atau pulang kampung, baik secara arti bahasa maupun hakikat dibalik makna. Setiap yang mengambil langkah mudik atau pulang kampung tentu memiliki arah yang hendak di tuju. Arah yang mestilah jelas dan tepat sasarannya. Jika seorang anak hendak pulang kampung atau mudik tentu yang di tuju adalah kampung halamannya teoatnya rumah orang tuanya. Itulah makna bahasa dari kedua istilah yang diperbincangkan oleh banyak orang. Sedangkan secara hakikat makna, kedua istilah tersebut memiliki kedalaman arti, yaitu suatu tempat yang pasti kita semuanya akan kembali ke sana, yang boleh jadi luput dari persiapan yang terencana, lalai dari penjadwalan yang tersusun padat lagi runut, dan dilupakan dari bagian rencana kehidupan kita selaku manusia. Itulah “Kampung Akhirat” arah tujuan mudik atau pulang kampung sebenarnya semua manusia tak terkecuali siapapun jua.
Mudik atau pulang kampung mengingatkan manusia bahwa segala sesuatu akan kembali ketempat asal semula. Dunia fana ini segalanya kembali berpusat kepada Allah SWT Yang Maha Kuasa Pencipta dari tidak ada menjadi ada. Alam semesta beserta isi hakikatnya adalah milik Allah Subhanahu Wata’ala. Segala kenikmatan yang bisa dirasa oleh manusia berupa rizki hanyalah titipan sementara. Harta, rumah, perhiasan, anak, kendaraan, kesehatan, bahkan umur adalah titipan semata. Adakalanya Allah Subhanahu Wata’ala mengambilnya barang sementara atau bahkan selamanya. Itu semuanya menegaskan bahwa sebenarnya semua kita adalah sosok seorang musafir yang sedang berkelana menuju sebuah titik arah tujuan yang sama, yaitu kampung akhirat. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam kitab Al Fawaid berkata,
“Manusia sejak diciptakan senantiasa menjadi musafir, Batas akhir perhentian perjalanan mereka adalah surga atau neraka.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun sudah lebih dulu mengingatkan akan hakikat tinggal di dunia hanyalah sementara saja. Rasulullah shalallahu alaihi wa salam bersabda :
“Apa peduliku dengan dunia? Tidaklah aku tinggal di dunia melainkan seperti musafir yang berteduh di bawah pohon dan beristirahat, lalu musafir tersebut meninggalkannya.”(HR. Tirmidzi).
Sekarang coba renungkan, ketika perjalanan mudik atau pulang kampung,
“Apakah kita bisa membawa banyak bekal?”
“Apakah semua yang ada di perantauan kita bisa bawa semuanya ke kampung?”
“Seberapa banyak bekal dari perantauan yang mampu kita raih bawa pulang?” Pertanyaan terakhir, “Sudah siapkah diri kita untuk mudik atau pulang kampung ?”
Demikian juga perjalanan kita ke kampung akhirat, tidak ada dari kekayaan dunia dan kemegahannya yang akan kita bawa. Yang kita bawa adalah amal kebaikan kita saja. Amal ini tidak terlihat, tidak ada bendanya di di dunia, tempat perantauan sekarang. Ketika manusia akan dibawa ke kubur kelak, semua akan mengikutinya yaitu keluarga, harta, dan amalnya. Dua akan kembali tak tinggal menemani yaitu keluarga dan harta, sedangkan yang tetap setia tinggal menemani bersama kita hanyalah amal shalih semasa hidup di dunia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
“Yang mengikuti mayit sampai ke kubur ada tiga, dua akan kembali dan satu tetap bersamanya di kubur. Yang mengikutinya adalah keluarga, harta, dan amalnya. Yang kembali adalah keluarga dan hartanya. Sedangkan yang tetap bersamanya di kubur adalah amalnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Cobalah ambil pelajaran dari perkataan Al-Fudhail bin ‘Iyadh. Beliau pernah mengatakan pada seseorang,
“Berapa umur yang telah kau lewati?”
Ia menjawab, “Enam puluh tahun.”
Fudhail menyatakan, “Selama 60 tahun ini engkau sedang berjalan menuju Rabbmu dan sebentar lagi engkau akan sampai.”
Orang itu menjawab, “Segala sesuatu milik Allah dan akan kembali pada Allah.”
Fudhail balik bertanya,
“Apa engkau tahu arti kalimat yang engkau ucapkan tersebut?”
Fudhail lantas melanjutkan, harusnya engkau katakan pula, “Sesungguhnya aku adalah hamba di sisi Allah dan akan kembali pada-Nya. Siapa saja yang mengetahui Allah itu memiliki hamba dan akan kembali pada-Nya, maka tentu ia tahu bahwa hidupnya akan berakhir. Kalau tahu hidupnya akan berakhir, tentu ia tahu bahwa ia akan ditanya. Kalau ia tahu akan ditanya, maka ia tentu akan mempersiapkan jawaban dari pertanyaan yang ada. ”
Orang itu bertanya pada Fudhail, “Adakah alasan yang bisa dibuat-buat untuk melepaskan diri?” Fudhail menjawab, “Itu mudah.” Ia balik bertanya, “Apa itu?” Fudhail menjawab, “Hendaklah beramal baik di sisa umur yang ada, maka akan diampuni kesalah-kesalahanmu yang terdahulu. Karena jika engkau masih berbuat jelek di sisa umurmu, engkau akan disiksa karena kesalahanmu yang dulu dan sisa umurmu yang ada.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2: 383)
Imam Hasan Al Basri berkata : “Seorang mukmin di dunia seperti orang asing. Tidak pernah gelisah terhadap orang yang mendapatkan dunia, tidak pernah saling berlomba dengan penggila dunia. Penggila dunia memiliki urusan sendiri, orang asing yang ingin kembali ke kampung akhirat punya urusan sendiri.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam
Mudik juga mengingatkan kita, bahwa kita semua akan kembali ketempat akhir muara manusia yaitu kampung akhirat. Bila ajal telah tiba tak kuasa manusia berkat-kata. Semua manusia akan kembali keharibaannya. Digiring satu persatu tanpa ada yang terselip barang satupun. Mudik ke akhirat tak mengenal waktu dan usia. Tidak ada pengumuman terlebih dahulu. Tidak harus sakit, tidak menunggu tua renta. Kapanpun dimanapun bila ajal tiba. Maka saat itulah malaikat datang menjemput.
Pastikan perjalanan mudik kita aman dan selamat sampai tujuan. Hidup bukan barang mainan yang dihabiskan untuk mainan. Hidup adalah pertanggungjawaban yang besar. Berbekallah dengan taqwa. Pakailah sabuk pengaman. Sebaik-baik ‘sabuk pengaman’ adalah iman. Berhati -hatilah dijalan kehidupan. Tengok kanan dan kiri. Tengoklah mana yang halal dan haram. Kenalilah petunjuk jalan. Al-Quran dan As-Sunnah sebaik-baik dan sejelas petunjuk jalan.Sampai jumpa semoga kita ketemu di surgaNya
Sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memikirkannya? (Yusuf: 109).