Oleh : H. Roni Haldi, Lc*
*Penghulu Muda KUA Kec. Susoh, Abdya dan Mahasiswa Prodi Hukum Keluarga Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Waktu kita adalah usia kita. Terkadang banyak orang yang terlena tertipu dengan guliran waktu. Pagi menghilang petang pun dapat, malam hadir menyelimuti pagi pun menjelang. Perputaran waktu terus berulang-ulang pagi menyapa malam pun menjelma. Perjalanan waktu itulah masafat (jarak tempuh) umur manusia hidup di dunia.
Terkadang, acapkali manusia lupa bahwa bagian hidupnya telah hilang setiap harinya? Entah karena terlalu terlena pada gemerlapnya dunia? Atau disibukkan dirinya mengejar mengumpulkan pundi-pundi dunia? Padahal nikmat itu begitu yang singkat dan sementara sifatnya? Allah SWT telah bersumpah atas masa dalam firmannya yang berbunyi:
“Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr : 1-3)
Rahmat dan kasih sayang Allah Ta’ala sungguh luas tak terkira kepada kita hamba-Nya. Tak cukup diberi nikmat usia, diingat dinasehati agar tetap dalam kesabaran dan kebenaran. Bahkan Allah SWT tambahkan lagi dengan kesempatan paling mulia terwujud dalam sebuah paket istimewa bernama “Syahru Ramadhan Mubarak”. Bulan mulia dalam satu tahun yang di tunggu-tunggu kedatangannya oleh orang-orang yang beriman karena didalamnya Allah hamparkan janji-Nya berupa keampunan dari segala dosa-dosa hamba-Nya.
Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan pengharapan, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Muttafaqun ‘Alaih).
Bulan Ramadhan adalah bulan taubat nasuha dari segala bentuk dosa. Keimanan yang dikuatkan oleh pengharapan penuh itulah jalan agar ampunan Allah SWT menyapa kita. Sadari diri tak sempurna selalu salah terjerembab dalam kubangan dosa. Bukan hanya meratapi menangis menyesali perbuatan dosa yang telah digoreskan catatan keburukannya oleh malaikat Raqib dan ‘Atid, tapi sebuah kesungguhan sangat penuh pengharapan agar diampuni dosanya oleh Allah SWT mesti diganti dan ditutup dengan amal shalih pengganti dosa dan keburukan.
Berkacalah dari kisah mulia kehidupan para Salafuna shalihin sebelum kita. Sufyan bin Husain Al-Wasithi berkisah : “Aku pernah menyebut seseorang dengan kejelekan di sisi Qadhi Bashrah, yaitu Iyas bin Mu’awiyah Al-Muzani. Lalu beliau melihat wajahku dan berkata : ”Kamu pernah memerangi Romawi ?” Aku jawab : “Tidak.” Beliau bertanya kembali : “Kamu pernah memerangi Sindu, India, dan Turki ?” Aku jawab : “Tidak.” Beliau berkata : “Negeri Romawi, Sindu, India, dan Turki selamat darimu, tapi saudaramu sesama muslim tidak selamat dari kejelekanmu ?!”.
Sufyan berkata : “Setelah itu aku tidak pernah mengulangi lagi, maksudnya menyebut kejelekan seseorang atau menghibahnya.”
Kisah di atas dinukil oleh Imam Ibnu Katsir dalam “Al-Bidayah wa An-Nihayah” (9/336) pada biografi Iyas bin Mu’awiyah Al-Muzani.
Dalam kitab “Tartibul Madarik” (3/240) karya Al-Qadhi ‘Iyadh disebutkan, bahwa imam Abdullah bin Wahb Al-Qurasy Al-Mishri berkata : “Setiap aku menghibahi seseorang, maka aku mengharuskan diriku untuk puasa sehari (sebagai penebus dosa). Maka ini masih mudah bagiku (karena beliau ahli ibadah). Lalu (aku ganti), setiap aku menghibahi seseorang, aku sedekah satu dirham. Maka hal ini memberatkanku, akhirnya aku bisa meninggalkan ghibah.”
Perlu diketahui, bahwa Abdullah bin Wahb adalah seorang ahli hadits, ahli fiqh, dan ahli ibadah yang sangat zuhud. Beliau sahabat Imam Malik bin Anas, imam Al-Laits, imam Sufyan Ats-Tsauri dan lainnya.
Demikianlah rasa takut para ulama pendahulu kita dari dosa mencela dan menghibahi sesama muslim. Saking takutnya, begitu mereka melakukannya, langsung mereka iringi dengan melakukan amalan shalih sebagai penebusnya. Hal ini berbanding terbalik dengan kita yang hidup di zaman ini, zaman serba mudah dan cepat dengan media komunikasi yang terbuka. Kemudahan dan kecepatan sarana berupa media sosial yang ada; apakah Facebook, WhatsApp, tweeter atau media online lainnya, bukan dimanfaatkan agar silaturrahim dan tautan hati antar sesama makin kuat terikat, malah jari jemari kita begitu mudah menghibah, menuduh, mencela, menfitnah, dan menjatuhkan kehormatan saudara sesama muslim. Bahkan lebih parahnya, ada yang merasa puas dan bangga dengan hal ini, na’udzubillah.
Kehadiran kita di Ramadhan tahun ini tak ada yang bisa apalagi mampu memberikan garansi berupa jaminan bahwa kita akan sampai dipenghujungnya dan bersua dengan hari raya idul Fitri. Lihatlah di sekelilingmu, mereka yang tahun lalu masih bersamamu dalam menyambut dan mengisi Bulan Ramadhan. Kini tak semua orang yang sama masih di sisimu. Satu per satu telah dijemput kematian Bahkan ada yang baru saja masih berdiri dengan sehat di sampingmu. Namun, Allah telah menetapkan takdir yang lain. Jadi, bagaimana dengan dirimu? Sudah siapkah ketika masa tiada lagi kesempatan untuk memohon ampunan?
Bila ini Ramadhan terakhir, masih sanggupkah dikau menahan air mata untuk tetap tidak memperdulikan sisa usiamu yang semakin berkurang? Setelah sekian lama engkau diberikan waktu oleh Allah untuk mempersiapkan diri pada kematian yang datang. Andai dikau tahu ini adalah Ramadhan terakhir, tentu dikau akan meraung berdoa menengadahkan tangan. Tiada jemu bertadarus, mendirikan sholat dengan khusyu’ serta tawadhu’ serta senantiasa memohon ampunan. Andai dikau tahu puasa ini adalah saat terakhir, pasti dikau sibuk berlomba-lomba dalam kebaikan, membuang segala keegoisan dan keacuhan. Tidak tertarik pada lelapnya tidur, melaksanakan ibadah dengan penuh keikhlasan. Andai dikau tahu ini adalah jatah terakhirmu untuk bernapas pada Bulan Ramadhan, tentu hatimu akan selalu terjaga untuk mencintai-Nya dalam kesabaran. Bersimpuh untuk selalu mengingat nama-Nya, menyingkap dunia yang tak henti menyibukkan.
Bila ini Ramadhan terakhir, sudah sejauh mana perolehanmu dalam meraih keutamaan Ramadhan? Sudah siapkah dikau untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatan? Sadarkah dikau bahwa pernak-pernik dunia sering membuat kita terlena akan penghujung usia? Lupa bahwa kematian bisa datang kapan saja dan di mana saja. Tenang bermaksiat seakan tahu kapan ajal menjemput, sehingga siap untuk kembali ke jalan-Nya. Salah!!!
Usia adalah misteri. Optimalkanlah Ramadhanmu untuk memperbaiki dan membersihkan diri dari segala dosa agar dirimu tidak menjadi orang-orang yang merugi. Hadirkanlah perasaan bila ini kesempatan terakhir menemui Ramadhan. Seakan-akan berpuasa dan ibadah lainnya adalah wujud perpisahan.
“Celakalah! Celakalah orang yang bertemu dengan bulan Ramadhan, namun dosanya masih belum diampuni oleh Allah!” (HR. Ath-Thabarani)
Marilah kita isi Bulan Ramdhan yang penuh rahmat ini dengan tekad dan semangat untuk beribadah sebaik-baiknya, seperti memperbanyak doa dan memohon ampunan, menanamkan niat baik sebanyak mungkin, melakukan berbagai amal shalih pemberat mizan. Hadirkan di diri kita, bila ini Ramadhan terakhir agar kita tidak kehilangan momentum emas untuk bertaubat nasuha. Mari raih kemuliaan Ramadhan seolah akan terjadi perpisahan. Supaya kita senantiasa terhindar dari kemaksiatan. Semoga Allah meridhai kita dan mengakhiri usia kita dalam keadaan beriman.