Takengon- Wabah Covid-19 yang sedang melanda dunia tidak berefek pada pengurangan tindak pelanggaran syari’at. Meskipun memang, dalam kondisi pembatasan sosial, sidang perkara jinayat tetap dapat dilangsungkan dengan teleconference. Buktinya, untuk bulan Maret hingga April 2020, Mahkamah Syar’iyah Takengon (MS Takengon) telah menerima 7 perkara jinayat, 4 di antaranya telah diputus. Bahkan pada 20 April 2020, MS Takengon mendapat pelimpahan 3 perkara jinayat sekaligus dari Kejaksaan Negeri Aceh Tengah, 1 perkara zina dan 2 perkara ikhtilath.
Sampai bulan April 2020, 13 perkara jinayat telah diterima oleh MS Takengon. 10 di antaranya telah diselesaikan. Jumlah penerimaan perkara jinayat per April 2020 tersebut tercatat melonjak tinggi dibandingkan keseluruhan jumlah perkara jinayat yang telah ditangani pada tahun 2019, yang hanya 11 perkara saja. Belum lagi jika ditilik dari jenis jarimah dan korbannya. Dari 13 perkara yang telah diterima oleh MS Takengon per April 2020 tersebut, 4 merupakan perkara pelecehan seksual yang keseluruhan korbannya adalah anak, 4 lainnya adalah perkara zina yang keseluruhan korbannya juga anak, dan 2 perkara pemerkosaan yang korbannya juga anak. Total sudah 10 perkara yang korbannya anak pada tingkat umur bervariasi dari 4, 10 hingga 17 tahun. Sisanya, 2 perkara ikhtilath dan 1 perkara jarimah khamar.
Mencermati kondisi tersebut, Ketua MS Takengon, Drs. H. Zulkarnain Lubis, M.H., mengungkapkan keprihatinan yang mendalam. “Kita berada di daerah mayoritas muslim, tapi pelanggaran syari’at demikian tinggi. Saya khawatir ini menjadi dosa bersama semua tokoh di daerah ini jika tidak dicarikan solusi yang tepat,” tuturnya.
Lebih jauh, Zulkarnain menceritakan bahwa di dalam persidangan perkara pelanggaran jarimah berupa kejahatan seksual yang korbannya anak tersebut, selalu ditemukan fakta kejadian saat tidak ada orang di rumah. Orangtua bekerja ke kebun, anak sendirian, sehingga rentan sekali menjadi korban kejahatan seksual dari orang-orang di sekitarnya.
“Saya rasa peningkatan kasus kejahatan seksual ini sangat erat kaitannya dengan lemahnya kontrol sosial masyarakat, terkait juga dengan kurangnya sosialisasi ke masyarakat tentang nilai-nilai syari’at Islam secara menyeluruh dan pendampingan serta penjagaan yang utuh terhadap anggota keluarga, khususnya anak,” imbuhnya.
Ketua MS Takengon ini menambahkan, lemahnya kontrol sosial masyarakat dan kurangnya penjagaan utuh terhadap anggota keluarga terbaca tidak hanya pada kasus jinayat yang korbannya anak saja, tetapi juga dari tingginya kasus permohonan dispensasi kawin, izin kawin bagi anak di bawah umur, yang telah diajukan ke MS Takengon. Per April 2020, MS Takengon sudah menangani 42 kasus dispensasi kawin. “Begitu juga, dalam persidangan sering kita ketahui sudah pernah berhubungan. Malah ada yang sudah mengandung. Jadi keprihatinan ini bukan saya saja yang merasakan, tetapi juga rekan-rekan hakim yang menangi perkara-perkara tersebut, khususnya hakim anak. Betapa sulit saya mengungkapkan keadaan masyarakat seperti ini. Harus benar-benar dirumuskan solusi yang tepat,” tandasnya.
(Hefa Lizayanti)